23 December 2003

la vita e bela

but sometimes we can’t see…




“Aku capek harus sendiri lagi Mbonk, dan tampaknya harus begitu…”


Ini bukan kali pertama dia mengeluh seperti itu. Pikiranku buntu, kenapa kesendirian begitu menakutkan baginya. Aku berpikir barangkali bukan kesendiriannya yang ditakutkan, tapi rasa kehilangannya itu. Menurutku, wajar saja bukan bahwa orang akan limbung ketika bertemu dengan pengalaman kehilangan itu.


“Apa artinya kata-kata cinta yang pernah dia katakan padaku. Dia bilang aku begitu berarti baginya. Dia juga bilang bahwa dia tidak pernah merasakan cinta seperti yang dia alami bersamaku.”


Lepas dari apakah kata-kata cinta itu suatu ungkapan tulus atau rayuan gombal belaka, aku belajar bahwa cinta bukan segala-galanya. Pada akhirnya orang juga menempatkan rasio sebagai variabel utama lain, selain cinta, dalam pilihan yang mereka ambil tentang siapa yang bakal mereka pilih menjadi pasangan hidup mereka. Ketika seseorang akhirnya memilih salah satu dari dua pilihan yang ada di hadapannya, bukan berarti bahwa dia tidak mencintai orang yang tidak dipilihnya itu.

Terlintas tiba-tiba di benakku sebuah ungkapan yang aku baca dari sebuah majalah remaja saat aku SMA: cinta sejati adalah cinta pertama, karena cinta berikutnya memakai logika. Aku tertawa sendiri sekarang, teringat cinta pertamaku yang memang tanpa logika itu….hahhahaha….


“Dia lelaki berkuda putih yang aku impikan sejak masa kecilku. He is my some one out there that I am waiting for….”


Oooo….romantis sekali. Adakah orang yang tidak menjadi romantis sekaligus melankolis saat ia jatuh cinta? Temanku tidak habis pikir bagaimana ia pernah bisa menulis puisi sedemikian indahnya. Ia tertegun saat membuka-buka kembali buku hariannya kala SMA. Ia tak pernah lagi menulis puisi sejak memilih hidup membiara selepas SMA. Novita, gadis manis adik kelas, itu jawabnya.


“Rasanya mau mati saja…Jangan kamu bicara tentang harapan, Mbonk, aku sudah gak punya tenaga….aku letih…”


Hari-hari pertama, minggu-minggu pertama, juga bulan-bulan pertama dadamu pasti terasa sesak. Letih dan pedih itu manusiawi. Tapi, berpikir bahwa kepedihan dan keletihan karena kehilangan adalah akhir dari segalanya, dan karena itu hidup ini harus diakhiri, menurutku, itu ketololan yang paling sempurna.

Gak peduli apakah kamu hanya akan melihat langit biru sebagai awam hitam, hidup akan terus berjalan. Apakah kamu ingin mengerangkeng dirimu dalam kepedihan? Apakah bagimu persoalan pasangan hidup cuma satu hal yang bisa memberi warna pada hidupmu? Apakah orang setalent dan secerdas kamu cuma berpikir segera menikah dan punya anak? Omaigat. Life is richer than it.

Kasihan sekali dimensi kehidupan kamu yang lain: bakat-bakat kamu, hobi-hobi kamu, teman-teman kamu, keluarga kamu. Mereka ternyata gak lebih dari sekedar sampah di pojok ruang hatimu. Kalau mereka memang gak lebih dari sekadar onggokan busuk yang gak bisa menggoreskan sedikitpun warna pada hidupmu, ambil saja Baygon dan katakan selamat tinggal pada kehidupan yang ternyata telah salah memilih kamu untuk memelihara dan mengembangkanya. Tapi, sebaiknya jangan Baygon. Temanku punya ide lebih cemerlang. Cari orang untuk kamu ajak bercinta, mintalah kepadanya untuk mencekik kamu saat kamu orgasme.


“Kamu gak mengerti Mbonk. Kamu gak mengerti apa yang aku rasakan. Sama seperti yang lain, kamu selalu menganggap bahwa aku akan kuat menghadapi ini….”


Kamu selalu berpikir bahwa kamu harus mendapatkan apa yang kamu inginkan. Untuk itulah kamu menghabiskan seluruh energimu pada hasrat keharusan itu. Persoalannya, kita acapkali tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Hidup sering tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita itu. Ada kenyataan-kenyataan yang tidak bisa kita ubah. Bagian itu memang bukan wilayah kita. Selalu ada garis demarkasi atas kemanusiaan kita. Saat kita bertemu dengan situasi dimana kita tidak bisa mengubah kenyataan itu, satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengubah harapan kita.


“Aku sudah katakan kalau aku tidak lagi punya harapan. Apa lagi yang harus aku ubah?”


Bulshit! Kamu masih mematok ekspektasi kamu setinggi langit. Kamu tidak rela menurunkannya barang seinci. Kamu menutup ruang keikhlasan di hatimu. Untuk keduakalinya kamu membohongi diri kamu sendiri.

………
………
………
………

la vita e bela,
but sometimes we can’t see…

19 December 2003

saya betul-betul ingin libur!!!

Lima belas jam hari kemarin saya berkutat dengan tumpukan kertas, buku-buku, dan tuts komputer. Delapan jam saya duduk di depan komputer dan hanya menghasilkan tiga paragrap yang tidak bermutu. Proses yang panjang untuk sekedar menghasilkan empat lembar tulisan catatan akhir tahun.

Ide menulis baru muncul jam delapan malam setelah saya tidur, mandi, dan nonton tv. Proses yang mudah untuk menyelesaikannya kemudian meski diselingin nonton siaran misteri di televisi.

Tapi saya belum bisa lega, masih ada satu tulisan catatan akhir tahun lain yang harus selesai hari Sabtu ini. Sial, saya belum melakukan riset sedikit pun. Selain itu saya masih harus menyelesaikan tiga tulisan lain lagi. Yang terakhir ini lebih mudah ketimbang dua tulisan catatan akhir tahun yang membutuhkan riset seabrek itu. Pffuiiihhh...baru kali ini saya eneg melihat deretan abjad berserakan di depan mata saya.

Saya betul-betul ingin libur!!!

12 December 2003

kucuri sinar bulan

Ing,...
kucurikan untukmu
sinar bulan
tadi malam

jangan bilang siapa-siapa
aku menyimpannya di saku baju
persis di sebelah jantungku

11 December 2003

rumah di tepi telaga

Ing,...
ingin kubuatkan
rumah untukmu
di tepi telaga
seperti sering
engkau bercerita

Juga, ingin kutanam untukmu
bunga kembang sepatu
yang kan menyapamu
tiap kali kau membuka pintu

Kau buatkan kopi untukku, Ing
dan, kita menikmati senja
dari beranda rumah itu

09 December 2003

obrolan suatu malam

Temanku yang satu ini luar biasa. Sampai sekarang aku gak habis pikir darimana dia mendapatkan energi sebesar itu. Semangatnya tak pernah pupus menyulut bara-bara perlawanan pada tiap komunitas yang ditemuinya.

“Lo sadar gak sih, Mbonk. Situasinya genting lho. Militer dan Orba sekarang ada dimana-mana. Gua kemarin ditelpon temen gua. Dia sekarang jadi operator Cendana. Dia minta bantuin gua untuk Tutut masuk ke korban gusuran. Gila! Dia pikir gua udah gak waras apa?” dia bicara berapi-api seperti biasanya.

“Sekarang coba lo pikir,” dia melanjutkan, “Kekuatan mana yang betul-betul reformis sekarang ini. Siapa yang betul-betul melanjutkan perjuangan kita kemarin. Kita mahasiswa memang betul-betul bodoh. Kita seharusnya tidak ragu melakukan revolusi saat itu. Sekarang, kalau kita gak segera bergerak, semuanya akan terlambat. Gerakan restorasi yang mereka lakukan sungguh sempurna. Mereka menjelma seperti siluman dan ada dimana-mana,” abu rokoknya yang panjang pada batang Marlboro di sela jarinya jatuh di celananya yang kumal. Dia mengibaskannya asal.

“Kita harus segera melakukan konsolidasi,” dia belum berhenti. Disulutnya lagi sebatang rokok. “Dan, menyiapkan agenda aksi perlawanan. Situasinya sudah sangat genting. Mereka menyusup sedemikian rupa dan kita telah tercerai berai. Partainya Hartono itu mesin cuci uang,” dia menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Bagaimana pendapat lo?,” tanyanya.
“Blis, apa sih kekhawatiran real dari kembalinya mereka, militer dan orba?” aku balik bertanya.
“Represifitas dan otoritarianisme!”
“Lo yakin bahwa masyarakat bodoh dan struktur demokrasi yang ada sekarang tidak bisa menjadi kontrol atas kekhawatiran itu?”
“Kita pantas khawatir karena tak ada respon secuil pun tentang kemunculan Hartono dan Tutut. Megawati tidak memuaskan. Kebijakan-kebijakan tidak ada yang berpihak pada masyarakat. Rakyat kecewa. Kerinduan akan masa lalu pelan-pelan tumbuh subur. Ini titik kritis!”
“Apa yang rakyat pahami tentang demokrasi, represifitas, dan otoritarianisme? Bukankah yang penting bagi mereka bisa beli beras murah, ongkos gak naik, lapangan pekerjaan banyak, gak ada gusuran….”
“Itu, Mbonk…itu! Kita harus membumikan gagasan-gagasan kita tentang demokrasi, represifitas, dan otoritarianisme ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita harus menterjemahkan itu semua dalam bahasa yang dekat dengan kehidupan mereka. Gerakan kita harus kita bangun dari sana.”
“Dari mana kita memulainya?”
“Kita kumpulin lagi kawan-kawan 98.”
"Trus?"
"Kita omong-omong aja dulu, brainstorming."
"Trus?"
"Kita lihat, apa yang bisa kita lakukan dari sana."

Aku menuangkan teh poci yang cukup lama aku diamkan. Teh poci. Ya, teh poci. Dengan siapapun aku nongkrong di tempat itu, aku selalu pesan minuman beraroma ini. Lumayan masih hangat. Aku sempat khawatir obrolan kami membuat teh ini menjadi dingin. Aku menyukai teh yang jenis ini. Teh celup bagiku terasa hambar. Meski produsen sebuah perusahaan teh mati-matian mencitrakan produknya sebagai simbol kebersamaan, bagiku ini soal rasa, bukan citra yang dikesankan.

“Lo gak pengen cari kerjaan yang lebih baik, Blis?” sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari mulutku.
“Maksud lo pindah ke perusahaan yang lebih kapitalis?” dia tertawa sesaat untuk kemudian tersenyum kecut.
“Cukuplah 1,2 juta ini buat gua,” sambungnya. “Gua gak ingin dibeli terlalu jauh oleh kaum kapitalis.”
“Tapi kan suatu saat nanti lo akan menikah, mikirin rumah, punya anak, biaya susu, sekolah, dan lain-lain.”
“Mbonk,” dia menggeser tubuhnya dan menatapku tajam. “Gua miskin sejak gua kecil. Gua pernah dipenjara. Kehidupan ini telah merampas semuanya dari gua, tapi gak ada yang bisa merampas hati dan semangat gua. Kalau kemudian gua menggadaikan idealisme ini, apa lagi yang gua punya?”

Aku terdiam. Tahun 1995 temanku, Iblis –demikan kami memanggilnya–, ditahan lima hari oleh tentara. Tuduhannya menghina kepala negara. Di ruang interogasi, orang-orang berperawakan kekar berambut cepak menuntut penjelasan atas foto-foto yang mereka buat pada kamar mandinya. Pada dinding kamar mandinya ia memasang foto Soeharto. Di bawah foto itu, ia merangkai huruf-huruf yang diambilnya dari potongan-potongan surat kabar: “orang tua ini hanya pantas berada di ruangan ini”. Bagian yang paling pribadi dalam hidupnya dirampas. Tahun 1996, ia kembali ditahan empat bulan. Tuduhannya: dalang kerusuhan 27 Juli.

01 December 2003

here i am

Here I am...

...Will You send me an angel

Here I am...

...or Jibril I need you to come

take me to the stars

27 November 2003

saya tidak suka senja

Senja Gunung Salak. Aku memandangnya sore kemarin dari sebuah kafe di kawasan Paledang, Bogor. Sepertinya aku tidak menyukai senja, meski Seno* selalu bicara seperti mengagungkan senja.

Bagiku senja seperti seorang pencuri. Ada sesuatu yang hilang dari diriku tiap kali memandang semburat jingga itu di atas mega-mega. Ada rasa miris yang sulit dilukis. Sunyi yang mencekam, menggigit jantungku.

Matahari bersembunyi di balik bukit seperti menyembunyikan sesuatu. Sinarnya yang jingga seperti ejekan sebelum dia lenyap dan hari menjadi gelap. Malam tanpa bulan dan bintang. Gerimis jatuh membawa angin dingin. Senja berubah menjadi ngilu merayap pada tulang sendiku.

-------------------------
Seno Gumira Ajidarma banyak menulis cerita tentang senja. Dia mendeskripsikan senja dengan teliti. Pada sebuah ceritanya dia menggambarkan senja dengan bias matahari yang menerobos dedaunan seperti jalinan benang-benang tipis.

25 November 2003

sad massages at night

several days ago, my phone "nutnut" for received two massages.

mbonk, ini k***a! gue tau
lo bukan orang yang religius.
tapi, gue mo minta tolong bisa gak?
tolong beritahu temen-temen lo
yang religius untuk novena
3x salam maria selama 9 hari berturut-turut jam 6

sender: 0811881***

intensinya: untuk nyokap gue.
dia kena kanker stadium lanjut
usus besar, paru2+hati.
dokter udah angkat tangan.
I'm trying to believe miracle here.
please help, tengkyu

sender : 0811881***


k***a, gue gak ingin ngibulin elo dengan bilang
gue bakalan bisa novena jam 6. but, I'll do it
at 00.00. be strong man

send to: 0811881***


thank's mbonk! I appreciate it a lot.
lucu deh…
tiap orang yang mereply sms gue tadi
SEMUANYA mengakhiri sms dengan
"be strong man". seakan-akan mereka semua
1 orang dengan 1 otak. aneh.


then, I forwarded those massages to my friend


bantuin doa ya…
gue baru dapet sms ini dari temen sma gue.
bokapnya meninggal beberapa tahun lalu
karena kecelakaan.
sekarang nyokapnya lagi kritis

send to : 0815887****


dengan sepenuh hati. nama mamanya siapa?
biar aku doain di kelompok doaku.

sender: 0815887****


k***a, temen gue tanya, siapa nama ibu lo?
mo didoain di kelompok doanya

send to : 0811881***


Antonia Maria Yatnti Samtomo
tengkyu banget, mbonk, tengkyu

sender : 0811881***



for those who believe in God whatever He is called….

for those who believe that no border between religions

for those who believe that reliousity and conscience unify us as human being

let us pray for mama Antonia Maria Yatnati Samtomo and her family

..........
..........
..........


amen.

18 November 2003

kotak pandora

"Aku merasa dekat denganmu, tapi selalu hanya merasa meraba bayang-bayangmu. Ada sesuatu dari dirimu yang tidak dapat aku masuki. Kamu seperti menyimpan sebuah kotak pandora dalam hatimu," begitu suatu hari sahabatku berkata kepadaku. Aku merasa dia seperti sedang mencoba masuk menelisiki hatiku.

Aku hanya tersenyum.
"Kamu bukan orang pertama yang berkata begitu," kataku.
"Aku tidak ingin menyangkal bahwa ada bagian dari diriku yang tidak pernah kuijinkan disentuh oleh orang lain. Sesuatu yang berat, pekat, sekaligus gersang. Aku kerap dibuat sulit bernapas karenanya."

"Aku sahabatmu, kenapa kamu tidak mencoba membaginya denganku?" dia bertanya.
"Apakah kamu yakin kamu bakal sanggup memanggul sebagian isi kotak pandoraku?"
"Aku kira aku sanggup. Bukankah akan menjadi lebih ringan jika sebuah beban ditanggung oleh dua orang?"
"Mungkin kamu sanggup, tapi aku tidak. Beban itu akan menjadi lebih berat ketika aku mulai membukanya dan mengeluarkan isinya."
"Bagaimana kamu bisa berkata begitu. Kamu belum mencobanya untuk berbagi denganku."
"Kamu pasti tidak akan membuktikan bahwa kamu akan mati kalau terjun dari lantai 46," aku menarik napas panjang. Ada sesuatu yang berat di dadaku yang ingin aku lepaskan.

Kamu sahabatku, kataku dalam hati, justru karena kamu sahabatku aku tidak bisa berbagi tentang isi kotak itu. Ada bagian-bagian yang perannya tidak bisa dimainkan oleh seorang sahabat. Pada setiap hal selalu ada garis demarkasi.

Aku teringat perkataan seorang Rabbi. "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan dinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." Aku tidak mengatakan bagian ini padanya. Aku khawatir dia salah mengerti.

Kepekatan itu, dia semakin berat menggantung di langit-langit kamarku, seperti kelembaban yang menghambat tarikan napasku. Aku berusaha tidak mempersoalkan hal ini pada diriku sendiri. Aku menerimanya sebagai bagian dari hidupku, seperti seorang pengembara yang menerima langit sebagai atap rumahnya dan rumput sebagai alas tidurnya.

07 November 2003

cemburu

Temanku bercerita bahwa anjingnya baru saja melahirkan anak tujuh ekor. Enam diantaranya ia berikan kepada teman dan sanak saudara. Hanya satu yang ia rawat sendiri. Ia menamai anjing kecilnya itu Brownie.
“Iiiihhh…lutu banget deh mbonk. Kulitnya coklat semua. Matanya belo,” kata dia menceritakan anjing kecilnya dengan mata berbinar.

Aku sebenarnya sulit membayangkan kelucuan seekor anjing. Pengalaman masa laluku membentuk citra yang negatif atas diri hewan yang kerap disebut mahluk paling setia terhadap tuannya itu. Selucu apapun orang bercerita tentang seekor anjing, bagiku hewan itu menakutkan. Aku lebih senang memakannya daripada mengelusnya. (sadis!).

Temanku melanjutkan ceritanya. Suatu hari pacarnya datang. Namanya Dani, lelaki sederhana dan baik hati. Mereka bercengkerama di ruang tamu. Sambil ngobrol, temanku membawa Brownie dalam pelukannya dan mengelus-ngelusnya dengan kasih. Entah karena merasa diabaikan atau entah karena apa, Dani yang biasanya lembut itu berbicara ketus kepada temanku ini.
“Kok, aku gak pernah dielus-elus semesra itu sih?” Matanya tajam menatap mata Brownie yang sudah kiyep-kiyep mengantuk. Sepertinya Brownie merasakan tatapan tidak bersahabat itu. Matanya membesar dan ia menggonggong.
“Aduh, kamu kenapa sih?” kata temanku kepada kekasihnya itu. “Kamu kan terlalu gede untuk aku gendong-gendong dan aku elus-elus begini.”

Kemudian, dalam kesempatan wakuncar berikutnya, mengetahui bahwa menyertakan Brownie dalam kencan mereka hanya membawa suasana yang tidak mengenakkan, temanku membiarkan Brownie bermain di luar sementara mereka bercengkerama di dalam rumah.

Entah mereka sedang melakukan apa --temanku tidak bersedia menceritakan bagian detailnya meski sudah sedemikian keras aku merayunya—tiba-tiba Si Brownie lari ke dalam rumah sambil menggonggong keras-keras. Ia menggigit sambil menarik-narik ujung celana Dani. Dengan gigitan di ujung celana itu, Dani digiring ke luar rumah. Setelah Dani berhasil di giring ke luar rumah, Brownie berlari ke arah temanku dan dengan sigap melompak ke pangkuannya. Dengan manja ia menggesek-gesekan kepalanya ke dada temanku. Temanku tertawa sementara Dani memandang mereka dengan muka masam dari depan pintu rumah.

“Sekarang gue bingung nih, Mbonk, perselisihan di antara mereka sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan,” ujar temanku. “Bayangkan, mereka saling membuang muka setiap kali berpapasan.”

“What should I do?” she asked me seriously.

“Begini Bel,” terlintas sebuah ide cemerlang di benakku.
“Mendingan kita potong aja si Brownie. Enak tuh, masih muda, dagingnya empuk.”

PLETAAAKK!!!! Sebuah jitakan mendarat di kepalaku.

____________________________________
*sampai detik ini aku masih tidak habis pikir kenapa ideku itu masih dianggap tidak cemerlang…..*

02 November 2003

Ode Kesedihan untuk Perempuan yang Mengagungkan Cinta

H I D U P K U penuh dengan kesedihan – karena itu aku selalu mengembara. Aku selalu berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat entah di mana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata, memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada di dalam diri kita. Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan itu akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah terjadi. Ada segaris luka dalam hatiku yang telah mendorong aku pergi jauh dari kampung halamanku dan sampai sekarang belum pernah kembali.

Mungkin aku tidak akan pernah kembali meskipun kesedihanku suatu hari akan hilang. Aku sudah telanjur tidak pernah merasa punya rumah, dan tidak pernah merasa harus pulang ke mana pun dan aku menyukainya. Barangkali kesedihanku tidak akan pernah hilang. Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin memanjakan perasaan. Aku sudah selalu membiasakan diriku hidup bersama dengan kesedihan. Apa salahnya dengan kesedihan? Apa salahnya dengan duka? Apa salahnya dengan luka?

Setelah mengembara bertahun-tahun lamanya, aku belajar hidup bersama dengan kesedihan, kesepian, dan keterasingan. Semua itu tidaklah mudah. Tapi, apalah yang bisa dibuat oleh seorang perantauan? .....


[Seno Gumira Ajidarma, "Negeri Senja", Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2003, hal 3]

31 October 2003

perempuan yang mengagungkan cinta (2)

Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku


“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya sebelum dia melemparkan dirinya ke laut.
“Tolonglah. Aku tidak ingin membawa bekas bibirnya di bibirku ke dasar laut. Tolonglah hapus.”

“Lakukan! Lakukan!” kata mereka.

Aku menghampiri wanita yang telanjang itu. Orang-orang di pintu geladak berlari ke arah kami. Mereka menutup kami dengan selimut. Di dalam selimut kucari daun telinga wanita itu.

“Masih adakah bekas yang lain darinya di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.


Hamsad Rangkuti. “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”. Baru setengah aku membaca, mataku sudah lelah. Pk 23.30 WIB. Aku ingin tidur. Aku sudah pernah membaca cerita ini beberapa tahun lalu. Aku membacanya lagi setelah belum lama ini beruntung mendapat kumpulan cerpen Rangkuti dalam sebuah bursa buku murah Gramedia.

Cerita yang liar. Idenya didapat Rangkuti di atas geladak kapal feri Merak-Bakahuni. Tidak tampak orang lain di atas geladak itu kecuali seorang wanita cantik, kata Rangkuti. Wanita itu memandang laut sementara Rangkuti memandanginya. Imajinasinya melihat wanita itu membuang segala yang dia miliki, padahal ia tidak membuang apa-apa; sampai akhirnya Rangkuti melihat wanita itu tidak mengenakan sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.

***


“Aku tidak bisa menghapus bekas bibir lain di bibirnya,” gadis itu berkata padaku dari ujung telepon. Suaranya murung. Dia menelponku lewat tengah malam.
“Aku telah memutuskan juga bukan dia yang akan menghapus bekas bibir lain di bibirku,” katanya. lagi.Aku tidak punya kata-kata. Jam dinding di rumahku berdentang dua kali. Kami kemudian larut dalam diam. Desah napasnya tidak teratur. Gadis itu menangis. Aku mendengar gerimis jatuh di atas genting. Malam yang sunyi.

“Hidup macam apakah yang aku jalani ini,” dia berkesah dalam isak.
“Ketulusan yang tumbuh dalam hatiku selalu dikoyak-koyak. Apakah cinta masih punya makna, Mbonk?”
“Mmmmm…..Aku gak tahu,”jawabku. “Mungkin cinta sedang tumbuh di tempat yang salah.” Sejujurnya aku tidak tahu apa itu cinta. Aku merasa awam dalam urusan yang satu ini.

Sekelebat bayangan gadis lain melintas dalam benakku. Aku terkenang pengalamanku sendiri. Sepenggal kisah tentang harapan yang hanya menjadi sejarah. Harapan! Seperti kuncup melati dia tumbuh di pagi yang basah oleh embun. Tapi, tak ada kesegaran. Pagi yang dingin seperti malam, membawa kekosongan yang panjang. Harapan yang tak pernah kau semi terus tumbuh seperti rumput liar di luar pagarmu.

Aku mencatat cerita lalu itu sebagai sejarah, karena sejak awal aku tahu semua hanya akan menjadi sejarah. Tak terbayang kelak saat kau buka lembaran-lembaran yang menguning dari laci almarimu, engkau pernah menjalani masa-masa seperti ini. Sebuah masa dimana harapan hanya jadi sebuah catatan, tanpa pernah kau mengecapnya. Lucunya, kau menjalaninya dengan kesadaran.

“Aku gak boleh begini,” tiba-tiba dia memecah kesunyian. Suaranya bergetar. Ada sesuatu yang dipaksakan dalam hatinya.
“Mbonk, tolong ingatkan aku bahwa hidup ini terlalu indah untuk ditangisi.”
“Bukankah aku sudah mengatakan itu padamu saat pertama kamu menangis kemarin?”
“Iya, tapi aku kerap lupa. Tolong ingatkan lagi setiap kali kamu melihat aku menangis.”

Aku pernah mengatakan padanya bahwa kesedihan hanya salah satu sudut dari taman kehidupan. Kesedihan hanya membutakan matamu dari rekah bunga matahari dan kepak sayap angsa di kolam taman. Air mata adalah sesuatu yang pantas disyukuri karena dengan itu kita masih menjadi manusia. Maka, menangislah jika kamu ingin menangis hari ini.

Tapi, air mata tidak boleh jatuh terus. Hanya dibutuhkan sedikit niat untuk menghapus air matamu tidak jatuh lagi esok hari, untuk melihat bahwa kamu berdiri di sudut taman yang lembab. Di depanmu ada taman bunga dan burung-burung dara berebut remah roti di tengah plasa. Dan, hanya dibutuhkan sedikit niat untuk melangkahkan kakimu pergi dari sudut taman yang lembab itu.

“Aku ngantuk, Mbonk, mau tidur. Doakan semoga besok aku sudah bisa menghapus airmataku. Terimakasih mau mendengarkan aku malam-malam begini,” gadis itu menutup telepon.

***


Di dalam kamar, rasa kantukku hilang. Buku kumpulan cerpen Rangkuti tergeletak di atas meja. Aku meneruskan cerita yang belum habis aku baca tadi.

“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?

Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam kabut yang basah. Tidak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.

“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.

Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku.

“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang,” bisiknya.


----------------------**************--------------------


*Belum lagi aku tuntaskan cerita itu, aku ketiduran. Dalam tidurku aku bermimpi: melihat gadis itu terbang di atas awan-awan. Ia mengenakan gaun putih panjang. Ujung-ujung gaunnya melambai-lambai ditiup angin. Ia berkata berulang-ulang, seperti mengucap mantra, “Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku. Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku. Aku tidak bisa menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku.”……….

28 October 2003

perempuan yang mengagungkan cinta (1)

Dituntaskannya potongan roti bakar terakhir, setangkup roti coklat keju. Aku tidak lapar dan hanya memesan teh poci.

"Aku orang yang terlalu mengagungkan cinta. Mungkin buatmu irasional, tapi aku rela bersakit-sakit demi cinta."

Busyet!

"Suatu saat kamu akan belajar bahwa kesakitan adalah bagian dari keindahan. Itulah cinta."
"Wah, bagian itu aku belum tahu, belum sempat mengambil SKS-nya," aku menjawab asal.

Gadis itu memandang ke arahku. Dia tersenyum, namun urung mengatakan sesuatu. Matanya kemudian memandang jauh. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Teh poci yang kupesan mulai dingin. Gula batu yang besar di dalam gelas membuat rasa manis yang berlebihan.

"Pernahkah kamu mempertimbangkan bahwa dirimu adalah seorang pengecut?" Gadis itu bertanya. Matanya tajam menatapku.
"Yah, mungkin aku seorang pengecut. Tapi, aku lebih senang memilih untuk tidak menyakiti diriku sendiri dan orang lain."
"Aku tahu bahwa aku menyakiti diri sendiri dan orang lain. Tapi, apakah aku salah? Perasaan ini datang begitu saja. Aku tidak tahu, tiba-tiba saja aku mencintainya."
"Ya, kalau begitu nikmati keindahan cintamu itu."

Kami terdiam. Pandanganku tertuju pada seorang lelaki pengamen berperawakan ceking di warung kopi tidak jauh dari tempat kami duduk di pelataran taman itu. Aku mendengar teriakan melengking pengamen itu melantunkan lagu Ebiet. Aku penyuka Ebiet, jadi aku hafal liriknya.

Ternyata mengagungkan cinta
Harus ditebus dengan duka lara
Tetapi akan tetap kuhayati
Hikmah sakit hati ini
Telah sempurnalah kekejamanmu

Bagiku jatuh cinta itu soal pilihan. Kita bisa memilih untuk jatuh cinta atau tidak jatuh cinta. Ini cuma masalah kejujuran pada diri sendiri. Banyak orang terlalu angkuh untuk mau bercengkerama dengan batinnya sendiri.* Mereka selalu berdalih, "Cinta itu datang dan pergi seperti angin. Kita tidak tahu kapan datangnya. Tiba-tiba saja ia mengoyak hati kita."

Ya, kalian memang tidak tahu kapan datangnya. Tapi, kalian sebenarnya tahu bahwa pintu rumah kalian masih terbuka.

"Apakah kamu menutup diri terhadap cinta?" gadis itu menyentak lamunanku seolah membaca pikiranku.

"Aku tidak menutup diri, cuma kebetulan saja selama ini aku tahu kapan harus membuka dan menutup pintu. Angin yang datang menghampiriku selalu membawa derajat panas yang tinggi. Aku belum berniat untuk mengambil SKS-nya."

"Kamu pengecut yang sombong!"

"Hahahaha….betul sekali. Aku pengecut yang sombong. Eh, kalimatmu itu bagus sekali. Aku suka mendengarnya. Sumpah. Hahahaha…tepat sekali kata-katamu. Aku adalah seorang pengecut yang sombong."

Pengamen ceking itu tiba-tiba ada di depan kami.

"Permisiiii...."

**Masih sanggup untuk kutahankan
Meski telah kau lumatkan hati ini
Kau sayat luka baru di atas duka lama
Coba bayangkan betapa sakitnya

Hanya Tuhanlah yang tahu pasti
Apa gerangan yang bakal terjadi lagi
Begitu buruk telah kau perlakukan aku
Ibu menangislah demi anakmu

Sementara aku tengah bangganya
Mampu tetap setia meski banyak cobaan
Begitu tulusnya ku buka tanganku
Langit mendung, gelap malam untukku

Ternyata mengagungkan cinta
Harus ditebus dengan duka lara
Tetapi akan tetap kuhayati
Hikmah sakit hati ini
Telah sempurnalah kekejamanmu

Petir menyambar, hujanpun turun
Di tengah jalan aku sempat merenung
Masih adakah cinta yang disebutkan cinta
Bila kasih sayang kehilangan makna

___________________________________
*Aku bersahabat baik dengan diriku sendiri, dengan kesunyian malam, secangkir kopi, dan starmildku. Tapi, bagian ini, aku berpendapat, bukan pilihanku, melainkan fait acompli yang disodorkan Tuhan dalam hidupku. Mahluk yang bernama Tuhan itu memang seringkali kurang ajar, bersikap seenak jidat-Nya sendiri. Setiap kali aku bertanya pada-Nya, dia selalu menjawab (juga seenak jidat-Nya), "Ah, nanti kamu kamu juga dapat berkahnya." (Aku dan Dia bersahabat baik. Hanya orang yang bersahabat baiklah yang bisa saling mengucapkan kata-kata kasar tanpa merasa sakit hati…hahhaha…)

** Seberkas Cinta yang Sirna, dari Album Camelia IV, 1980 Jackson Records

25 October 2003

seperti dongeng

Seperti dongeng, kisahmu ingin kutulis pada catatan buram dinding kamar yang muram. Tapi tak usai kau tuturkan gurindam, sejuta kata tersekat di kerongkonganmu, diam.

Aku mendengar suara lonceng. Senja yang panas. Ada sepi yang getas. Aku merasakan gelisahmu dalam cemas

“Aku menanti lelaki berkuda putih,”
“Datanglah, kan kuberikan kuntum selasih untukmu kekasih,"
kamu berkata lirih

Aku melihat seorang rahib berdiri di ujung menara biara yang sunyi. Tengah malam, jalanan sepi, selaksa gerimis berdenting melantunkan doa menembus getsemani.

11 October 2003

Buat Sas...

Aku tidak sedang menghakimi kamu, Sas. Apakah kesan subjektif yang ditangkap orang dan tersimpan di hatinya harus disebut sebagai sebuah penghakiman. Kamu ingat, Sas, satu malam kamu pernah berkata padaku, “Orang itu terlalu gelap buatku.” Ada kalimat yang tak usai kau katakan. Apakah kamu bermaksud menghakimi orang itu?

Aku juga tidak sedang memusuhi kamu. Tidak ada alasan, Sas. Juga tidak ada rasa sakit sehingga kamu harus minta maaf siang kemarin.

Sejumlah orang memandangnya sinis. Mereka menasihati aku untuk menjauhinya. Mereka khawatir aku hanya akan disakitinya. Ah, teman-temanku baik sekali.

“Percaya deh, tidak ada rasa sakit barang secuil pun,” kataku pada mereka.
“Rasa sakit adalah ketika kamu naik terlalu tinggi dan jatuh terhempas ke tanah. Aku belum naik barang sejengkal pun sampai aku memutuskan untuk tidak jadi naik ke pohon itu.”

Apakah ini juga penghakiman menurut kamu, Sas: memutuskan untuk tidak lagi menyusuri lorong kecil menuju rumahmu? Bukankah juga begitu, saat kamu mengatakan pada dirimu sendiri, “Bukan bandar itu tempatku akan bersandar.” Dan, tentu kamu punya alasan kenapa tidak memilih bandar itu.

Haruskah kamu selalu membicarakan alasanmu itu pada pemilik bandar? Mungkin alasan itu salah. Tapi apa yang harus dibicarakan lagi ketika kamu tahu tidak ada lagi bara yang meletik di hati kamu.

Maka, Sas, ini hanya persoalan bahwa kamu tahu benakku dan aku tidak tahu benakmu. Ini juga hanya persoalan bahwa aku lebih dulu menentukan pilihan.

Hapus airmata kamu, Sas. Aku berharap bisa tertawa bareng lagi melihat rambut kamu yang dicukur lucu itu…

01 October 2003

siapa mencari cinta

Siapa mencari cinta?
Dewi Amor sedang pergi
menitip gelisah
pada seorang gadis
di sudut kamar.
Airmatanya jatuh,
membayang sepi yang jauh.

Kau melihat butiran-butiran air
menetes dari atas genting.
Terbayang di benakmu
lelaki tua menarik pedati
di jalan desa yang tandus.

Siapa mencari cinta?
Liang lahat menunggumu menabur mawar
dan air melati basah di ujung kepalamu...

29 September 2003

wanita itu

Wanita itu, dia menelponku lagi pagi tadi dan malam ini. Aku sudah mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak mengingatnya lagi. Keputusan ini sudah lama aku bulatkan, ketika aku tahu dunianya begitu bising oleh derap langkah kaki sejumlah lelaki yang datang mengetuk pintu kamarnya. Aku terlalu sombong utuk menjadi bagian dari mereka. Aku menilai, dia memelihara lelaki-lelaki itu agar dirinya tetap menjadi ratu untuk kemudian dijatuhkannya undi atas mereka. Maaf, Sas, saya terlalu mahal untuk sebuah undian; Saya terlalu sombong untuk jatuh iba pada airmatamu....;Saya terlalu berharga untuk ikut serta dalam permainanmu.

26 September 2003

TOMAT

Sebuah sms masuk di HP-ku, “Jangan ketawa ya..imelku tomatto_chayang@…..com” Hahahahaha…. Siapa yang bisa nahan ketawa mbaca imel seganjen itu?! Seketika, tergambar di benakku sosok gadis itu. Pipinya tembem bersemu merah karena panas matahari.

Aku bertanya tentang imelnya karena berjanji mengirim sesuatu yang dia minta. Ketika dia menelponku beberapa hari lalu, dia urung memberikan alamat imelnya karena menurutnya aku pasti tertawa. Aku tak mampu meyakinkannya bahwa aku tidak akan tertawa.

“Semua orang selalu tertawa. Aku nggak yakin kamu gak akan ketawa. Udah ah, ntar aku sms-in aja,” katanya.
“Kalopun nanti kamu tertawa, yang penting aku gak denger,” tandas dia.

“Hahahaha……,” aku tak kuasa menahan tawa mendengar nada suaranya yang seperti menyimpan kecemasan.
“Tuh, kan, belum dikasih unjuk aja udah ketawa.”
“Ya, kalo gak mau diketawain, ganti donk imelnya,” kataku.
“Nama itu bersejarah tau!”

Kemarin malam, di teras rumahnya yang asri, Si Tomat bercerita tentang sejarah nama itu. Ketika dia berjuang menyelesaikan skripsinya di Universitas Diponegoro Semarang, ibunya khawatir akan kondisi kesehatannya.
“Waktu itu, ibu menemani aku di kost. Dia khawatir banget sama anaknya yang hampir tiap hari cuma tidur 2-3 jam. Kadang aku ketiduran di meja gambar lho,” tuturnya.

Melihat betapa keras putri sulungnya berjuang, Si Ibu membelikan tomat. Maksudnya, supaya ada suplemen tambahan buat sang putri tercinta. Tapi, dasar anaknya gak doyan makan buah, tomat-tomat itu tetap tersimpan di kulkas.
“Setiap hari ibu ngingetin aku untuk makan tomat. Tapi, karena sibuk dan emang dasarnya aku gak suka makan buah, aku selalu lupa,” kata dia.

Suatu pagi, saat Si Tomat masih tidur, si Ibu pergi keluar untuk suatu keperluan. Namun, ia tak lupa untuk mengingatkan anaknya tentang tomat yang belum tersentuh itu. Caranya: dia menulis besar-besar “TOMAT” di pintu kamar anaknya.

Terang saja tulisan itu mengundang sejuta tanya dari teman-teman se-kost, what the maksud? Kebetulan, pagi itu, cowok Si Tomat dateng ke kost. Dia juga bingung melihat tulisan dengan spidol merah di pintu kamar kekasihnya itu. Diketuknya pintu kamar Si Tomat. Saat Si Tomat keluar dengan wajah kusut bangun tidur, serentak teman-teman sekostnya berteriak “TOMAAATTTTT…..”

“Trus, abis itu cowokku bilang, mulai sekarang aku panggil kamu Tomat ya….,” katanya sambil tersenyum.

Kisahnya belum usai.
“Aku membaca Anand Khrisna, Anthony de Mello, Khrisnamurti, Tuesdaylobsangrampa, James Redfield. Aku pernah bergabung dengan Komunitas Subut. Namun aku menemukan apa yang kucari di Karmel,” ujar dia.

Malam semakin larut, meski satu hari belum tutup. Bab lain dari kisahnya yang panjang masih tersimpan untuk esok hari. Angin yang dingin berdesir lembut. Aku pamit pulang. Gemericik air dari pancuran kayu di taman depan rumahnya yang mungil lamat terdengar saat aku menjauh meninggalkan rumahnya di pojok Selatan Jakarta.

23 September 2003

HOW IRRATIONAL LOVE IS

Berth called me last night. As usual, she told me about Jim angrily. She said that she hated him. Jim is not actually her boyfriend. They have become friends for some time but they have no commitment for a more serious relationship.

"I hate him. He makes me very angry from time to time. I swear, I will never call him anymore. It is over," she remarked, emotionally.

You know, it was not the first time she said that. Usually, she would call me again one week later and said," I miss him." Then, they reconciled.

The strange thing is they often make fuss about something unimportant. Their last debate, which was incited by a message, exemplified it well.

Berth sent a sms to Jim, reading "Hi honey, what are you doing now?" Her message was not replied in 30 minutes. Impatient, she sent another one: "Are you too busy to reply my message?"

He replied her last message immediately. "We both are grown up. I don't think you have to send me a message like that. I am not a child, do I make myself clear?"

Berth got angry and sent a message to him: "I will not send you a message for whatever the reason is and I will not call you anymore."

Having sent the message, she set her cellular phone off.

"What is wrong with my message? I love him very much. I care about him. I can't ignore this feeling. I missed him that day and wanted to know what he was doing. Am I wrong?," she cried.

Is love always meant to hurt each other?

Berth knows how bad Jim is as a man. He often makes love with a prostitute. Jim tells her about it.

One night, he even called Berth only to say, "I am in a hotel and having sex with a prostitute. Don't be angry. I am doing it because you have never allowed me to have sex with you."

Berth could say nothing. She called me and cried, bitterly. "Do you think I should give my virginity to him?"

I told her, "Give it to him and you will be a garbage. Berth, leave him. Open your heart, open your mind, open your eyes, the world is not as small as you think."

I don't know whether Berth leaves Jim away this time. I am not sure. I am still waiting for her next call. I guess, she would say, "Mbonk, I miss him", as usual.

20 September 2003

Terkenang Dien...

“Mungkin aku gak bisa merasakan motor barumu, karena aku nanti sudah akan naik mobil…..,” ujar Dien. Matanya nakal mengerling mengejekku…

Hahahahahhaha……senang sekali mendengarnya. Aku berdoa untuk kamu Dien. Meskipun pasti akan ada yang hilang, tapi aku berdoa supaya kamu selekasnya bisa naik mobil. Andai aku bisa menentukan pilihan itu, sekarang juga akan kuubah garis tanganmu.

*** Itu sepenggal cerita setahun lalu. Di sudut lobby di sebuah hotel di Jakarta kami saling bertutur tentang mimpi.***

“Aku tak pernah mau bicara tentang berandai-andai. Itu hanya akan membawa rasa sakit,” Dien berujar pelan. Matanya menerawang. Aku tahu, dia mempersempit aliran harapan yang berdesakan di dadanya. Dien takut kecewa. Gadis kecil itu seperti tidak pernah memberi tempat pada mimpi. Baginya kehidupan seperti roda bola api yang melayukan daun-daun. Tak ada ruang bagi tumbuhnya harapan. Yang ada cuma kepasrahan yang lunglai di sudut jalan menunggu datangnya keajaiban

***Tapi keajaiban itu datang. Dien sekarang bekerja di tempat yang dia impikan itu. Ia tidak lagi berpanas-panas dan berhujan-hujan mbonceng motorku. Tapi ia masih sempat merasakan motor baruku selama beberapa bulan.***

Keajaiban. Ia belum datang menghampiriku. Pernahkah kamu berada pada sebuah garis demarkasi yang tidak bisa kamu langkahi. Garis itu adalah batas antara titik maksimal perjuangan dan mimpimu. Pada batas itu yang bisa kamu lakukan cuma menunggu. Ya, menunggu. Cuma menunggu. Karena sepertinya hidup ini adalah paduan antara perjuangan dan keajaiban itu tadi. Sekeras apapun kamu berjuang tapi kalau keajaiban itu sedang tidak bersahabat dengan kamu, kamu tidak bisa berjabat tangan dengan mimpi di seberang garis demarkasi yang tidak bisa kamu langkahi itu.

***Sebatang rokok. Secangkir kopi. Malam yang dingin saat aku terkenang Dien.***

18 September 2003

Cuma Cinta Semusim

tak lagi kuingat
ada mangkuk teratai
di pinggir perigi
jarum-jarum jam di menara kota
mematuk-matuk pantat
menghembuskan energi yang melilit
ah, cuma cinta semusim pikirku
lihat: burung walet pun pergi dengan tak acuh

17 September 2003

Happy Birthday Dad

Today is my father's birthday. He turns 63 years old. I has bought him a watch. His seiko, which he had bought at Rp 10,000 in 1970,has broken.

"Happy Birthday, Sir?"

"What is it Son?" he asks, curiously, when i am handing over a gray box to him this morning.

"Open it Sir. I hope you will like it."

"Hahaha....I am curious to know..."

I have never given any gift to him before, even in his B'day. Actually, celebrating birthday is not our family's tradition.

This morning, I want the old man feels special in his special day....

He opens the box slowly..

"Wow..." His eyes open wide.

"You know Son, my Seiko has broken two years ago..."

"I know sir. That is why I bought it for you to change your Seiko."

He stays silent and says nothing for a moment. His tears are falling down as he hugs me warmly....

Happy Birthday Dad...

12 September 2003

Doaku tak mampu menjawabnya…..

Apa yang kau harapkan dari sepenggal kehidupan yang tak memberimu kepastian? Rasa sakitkah? Di sini. Dalam. Menancap, sesak! Seperti menjepit setiap tarikan napasmu.

Ada padamu separuh kisah yang tak sempat kau tulis. Baunya wangi seperti kuntum bunga matahari. Kau merajutnya dalam tiap tarikan napasmu sepanjang hari. Membaui mimpi di kucir rambutnya yang hitam, kau melihat peluh di dahinya. Jantungmu berdetak meninggalkan kebekuan pada jarimu yang tak sanggup menyentuhnya.

Dimanakah letaknya harapan? Di sini, di kedalaman hati yang menyimpan ketakutan. Seperti burung migran, hatimu tak ubahnya sebuah musim. Ada penantian yang kau tak tahu kapan datangnya. Kau tak bisa mendusta pada kejujuran. Kedamaian dan kesunyian demikianlah adanya.

Tapi musim kemarau terlalu panjang, melayukan daun-daun di pinggir jalan. Cuma ada sisa ranting kering yang patah diinjak orang. Kapankah pergantian musim akan datang?…

Doaku tak mampu menjawabnya…..

09 September 2003

manusia...

Apa yang membuat manusia berbeda? Manusia adalah manusia. Lelaki dan perempuan. Suku, agama, ras, dan golongan tidak pernah bisa mengingkari kemanusiaan ini. Tapi, kenapa manusia tak acap duduk satu meja atas nama manusia. Kenapa masih ada manusia yang tidak mencintai anak manusia atas nama manusia.

Masih perlukah kita bicara saya katholik, kamu muslim, engkau budha, dikau hindu. Masih perlukah masyarakat memicingkan mata saat memandang manusia lain yang pada dompetnya tertera tidak satu agama.

Apakah agama itu menyatukan manusia? Omong kosong. Religiusitaslah yang menyatukan. Menyesatkan air liur para ulama dan pendeta yang otak dan hatinya dangkal seperti selokan.


menatap bulan, katamu, beda dengan menatap bintang
tapi kita menengadah ke atas mendongakkan kepala
membiarkan urat darah menggumpal
pada nadi di leher kepala

aku membaca mantra
kamu menyemat dupa
masih perlukah lagi kata-kata
saat air liurku berbusa menawarkan racun
pada tulang sendimu yang patah

lihatlah anak kecil di tetek ibunya
dia tidak pernah memilih menjadi anak siapa
baginya kehidupan adalah paripurna
murni seperti susu ibu yang mengalirkan nirmala

aku khawatir kita sedang berdusta
menunggu ibu hawa tidak mengulang dosa

08 September 2003

takdir

Lembayung tua di ujung Barat
wajahnya pucat
menanti dupa kau semat
di mezbah doamu

Tuhan tidak menunggumu
dengan takdir tergores
di telapak tangannya
Dia menunggumu berlari
menggores takdirmu sendiri
dengan belati di atas bumi

Jangan bermimpi
bunga mawar tumbuh di belakang rumahmu
Ambilah rabuk
Lemparkan ke atas langit
Angin dan bintang-bintang tahu
kepada siapa harus
memberi restu

06 September 2003

My Friend Ron

My friend, Ron, told me about a new business he wanted to do: to be a fresh tea distributor. I said to him, it was not an easy business. He had to go around Jakarta to find a stall that would take his fresh tea. More than that, it was a small change business.

“I know,” he said. “But, I have no choice. I must do something. I need money. I can’t stay at home all day without doing anything. Do you have another choice for me to earn money?”

I could not answer that question.

Ron was my old friend. We had live together at the dormitory for one year in senior high school. We had not met for many years and got close just only in the last of two years. He taught me to appreciate my life.

***

Ron father died when he was child. His mother had worked hard to support her three children. Ron had grown up as a naughty boy. He was a king of absence and had repeated class in junior and senior high school. I had never heard about him after passed senior high school.

***

In the year 2000, we met again. Ron changed. He looked calmer and come of age.
“I work at a telecommunication company while taking evening classes,” he told me.

It was surprising that Ron used to hate academy was taking evening classes.

***

Ron finished his program.

***

One night, Ron told me that he had a problem in his relationship with his girlfriend, Win. His would-be parents-in-law had demanded that he had a house of his own before marrying their daughter.

The good news was they had given help to buy a house on hire purchase. They had advanced the money for deposit of the house. So, Ron and Win had just to pay for the loan every month.

The bad news was that the house which had been taken by Win’s parents was too expensive. They had taken a type 72 house. Ron and Win had to spent Rp 1,4 million a month for the credit. Win did not work yet. She has been specializing as a dentist.

So, for the sake of love, Ron spent Rp 1,2 million while his salary only Rp 1,6 million a month and Win bore the rest. For the sake of love, Ron had to struggle with Rp 400 thousands a month.

***

One night, Ron told me some good news. He got a new job at high salary as an assistant manager in a chemistry company. For that job, he got Rp 6 million a month.
“Congratulation Buddy,” I said.

***

One night, holding a bottle of Tequila in his hand he told me sadly, ”I am fired.”

It was only three months ago when I said to him “Congratulation Buddy” and that night I saw him drunk.
“I didn’t pass the probation period,” his voice became soft and deep.

His boss thought, he was not the right man for the position.

***

One week later, Ron sent me a message to my cellular phone.
“I am starting a fresh tea business. I am trying to be a distributor.”

I tried not to imagine his would be parents-in-law, his girlfriend Win, and their type 72 house.

05 September 2003

jangan percaya dien...

jangan percaya pada cinta dien...
sebab cinta adalah kebisuan malam
yang mati di ujung riak sayap lelawa betina

jangan percaya pada rindu dien...
sebab kerinduan adalah wajah ibu
di ketiaknya seorang lelaki bangun
melongok gadis kecil berjingkat dari mimpinya
ia melihat tatoo kupu-kupu terbang
dari punggung kesunyian

juga, jangan percaya pada kecupan dien...
sebab bulu yang bergidik dikeningmu
tak lain kegigilan dari bayang-bayang batu kali
tempatmu mengaduh dalam sebuah melankoli

04 September 2003

Mimpi...

Seperti apakah rasanya bahagia? Adakah manusia yang bertemu dengan mimpinya kala ia bangun dari tidur. Mimpi seperti sketsa yang kau ukir pada dinding bulan.Bilur-bilur garisnya akan hilang waktu pagi menjelang. Mimpi itu seperti bayang-bayang. Kau bisa menciptakannya, namun, kau tak pernah sanggup memegangnya.

Terlukis dibenakmu, gadis mungil berbaju putih. Seperti merpati, malu-malu di dahan pohon jambu. Padanya kau berkata betapa pedihnya kejujuran yang kau simpan.
"Aku tak percaya ada orang yang mampu menghargai kejujuranku," kataku.
"Karena itukah kau berikan kejujuranmu hanya padaku?" tanya dia lugu.
"Aku percaya, kau mau menyimpannya."

Begitulah, aku berikan kejujuran itu padanya. Ketika kamu mencintai seseorang, hanya yang terbaiklah yang akan kau berikan pada orang itu. Setelah aku menimbang cukup lama, sesuatu yang terbaik yang aku miliki adalah kejujuranku.

Tapi toh, itu tak mampu membeli mimpiku malam ini. Hari pagi selalu datang. Mimpiku hilang di balik awan. Kudengar kicau burung Murbai. Mereka nampak girang. Aku curiga mereka mencuri mimpiku setiap malam. Aku ambil senapan anginku. Biar mereka tahu, bagaimana rasanya menjadi teman sarapan pagiku.