13 August 2004

saya mengurus kepulangan Ing

Maaf teman-teman, sekian bulan saya tidak mengurus ruang kecil saya di jagad maya ini. Saya tengah sibuk mengurus kepulangan Ing. Dia pergi lama dan jauh sekali, sehingga ada banyak hal yang harus saya siapkan menjelang kepulangannya. O, iya, kalian juga boleh memanggilnya Iwed. Saya senang memanggilnya Iw-iw. Sekarang dia sudah ada di rumah, di sini, di samping saya. Saya memintanya untuk tidak pergi lagi. Dia berjanji pada saya untuk tidak kemana-mana lagi. “Aku sangat merindukanmu. Dan, aku tidak ingin pergi lagi,” katanya seraya memeluk saya.

Begitulah, akhirnya saya serahkan sinar bulan yang saya curikan untuknya di malam-malam yang saya lewati seorang diri. Lama, saya simpan sinar itu di saku saya. Sekarang sinar bulan itu disimpan di saku bajunya, persis di sebelah jantungnya. Saya senang melihat sinar bulan itu acapkali berpendar di matanya. Ada rasa hangat yang menjalar di nadi saya tiap kali saya memandang mata itu.

Ing, kucurikan untukmu
sinar bulan tadi malam
jangan bilang siapa-siapa
aku menyimpannya di saku baju
persis di sebelah jantungku

Jika Tuhan mengijinkan, saya ingin segera membangun rumah di tepi telaga seperti sering ia bercerita. Saya pernah berjanji mendirikan rumah untuknya di sana. Juga saya pernah berjanji menanam bunga kembang sepatu di depan rumah itu.

Kami ingin menetap selamanya di rumah itu, menikmati semburat jingga pada setiap senja (selain hujan, saya mulai menikmati senja sekarang), membayangkan anak cucu kami tumbuh dan besar di sana. Tidak ada lagi kekosongan pada tiap senja yang jingga. Tidak cuma ada gelap pada langit malam. Tidak cuma ada dingin pada hujan yang jatuh di atas tanah.

Ing, ingin kubangun untukmu sebuah rumah
di tepi telaga seperti sering engkau bercerita

Juga ingin kutanam untukmu
bunga kembang sepatu
yang kan menyapamu
tiap kali kau membuka pintu

Kau buatkan kopi untukku, Ing
dan kita menikmati senja dari beranda rumah itu

01 June 2004

Saya Mencintai Puteri Bungsunya

Semalam, di atas motor, saya berbicara begini pada langit gelap. "Pak Narso, saya ingin bertemu Bapak. Jika Bapak berkenan, hadirlah dalam sebuah kesempatan yang membuat saya tidak takut." Saya membayangkan angin menyampaikan niat hati saya.

Kemudian malamnya saya bermimpi. Seorang lelaki setengah baya dengan rambut yang memutih menghampiri saya yang tengah duduk sendiri di sebuah taman. Saya belum pernah bertemu dengan orang tua ini. Saya hanya pernah melihat fotonya yang di gantung pada dinding kamar.

Dalam mimpi saya, orang tua ini mengenakan pakaian seperti jubah berwarna putih. Airmukanya segar. Seulas senyum yang damai disunggingkan ketika dia mengambil duduk di sebelah saya. Tanpa berbasa-basi saya katakan kepadanya betapa saya sangat mencintai puteri bungsunya. Dia hanya mengangguk, tersenyum, dan menepuk-nepuk pundak saya sebelum sosoknya lenyap serupa kabut. Ketika saya bangun pagi hari, saya masih merasakan tangannya di pundak saya.

22 May 2004

kamu memakan kupingku, dan aku memakan bibirmu

“Kalau kamu sedang suntuk, kamu boleh memakanku,” Iwed menawarkan tubuhnya untuk aku makan. Tadi siang, ia meminta ijin padaku, apakah dia boleh memakan tubuhku. “Aku lagi sebel, sayang. Aku ingin makan orang. Aku boleh memakan kuping kamu ya…” pintanya merajuk. Aku mengangguk. Dan, dengan lembut, ia memakan kupingku sebelah kanan.

“Tadi siang, aku memilih kupingmu untuk aku makan. Sekarang, kamu mau memakan bagian mana dari tubuhku?” dia bertanya.
“Aku mau memakan bibirmu.”
“Kenapa bibirku?”
“Dari seluruh bagian tubuhmu, aku paling suka dengan bibirmu.”
“Kenapa begitu?”
“Sebab bibirmu bagus. Warnanya merah muda, dan selalu terlihat basah.”
“Hihihihihi...” Iwed tertawa manja. Mukanya tersipu, merona kemerahan.
“Ini, makanlah bibirku. Tapi makannya pelan-pelan ya,” gadis cantik mungil di depanku itu kemudian memejamkan matanya. Bibirnya setengah terbuka menantiku untuk melumatnya. Aku merengkuh kepalanya dengan lembut, membawanya dalam pelukanku. Perlahan, kudekatkan bibirku ke bibirnya.

Belum lagi kusentuh bibirnya, ia membuka matanya.
“Sayang, kalau kamu memakan bibirku, aku nanti tidak punya bibir lagi. Aku hanya memakan satu kupingmu sehingga kamu masih memilikinya satu lagi,” katanya setengah berbisik.
“Kalau begitu, aku hanya akan memakan sebagian saja dari bibirmu. Aku hanya akan memakan bibir bawahmu sebelah kanan saja,” napasku memburu. Jantungku berdegup keras. Tak kutunggu ia memejamkan mata waktu kulumat bibir merah mudanya yang basah. Rasanya manis dan hangat. Aku lupa kalau aku berjanji hanya akan memakan bibir bawahnya sebelah kanan.

12 May 2004

pergilah ke mana hati membawamu

dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.....Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. lalu, ketika hatimu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu.....

va' dove ti porta il cuore

11 May 2004

angin membawa kita pergi

ada kelopak mawar yang mati di sudut taman di depan gubuk itu. daunnya menghitam dan jatuh luruh di atas tanah. sekarang memang bukan musim bunga, bukan musim kekawin, cuma cinta semusim dari hati yang renta. tidak ada yang hilang dari sepotong ingatan yang tak pernah kita kenang. sebab, angin telah membawa kita pergi. aku ke utara. kamu ke selatan.

embun pagi bertebaran di atas rumput saat aku mencium bau laut. di kejauhan aku mendengar kepak camar yang mencicit girang memanggilku pulang. aku membayangi tiang sampan dan sepotong layar dari kain belacu tua berkibar-kibar ditiup angin. Di sini, Ing, di saku baju, persis di sebelah jantungku, masih kusimpan sinar bulan yang kucurikan untukmu kemarin malam.

28 April 2004

have no idea

.....
I have no idea
.....

14 April 2004

tidak ada judul

aku tidak mempunyai judul untuk postingan kali ini. seperti halnya, aku tak menemukan judul untuk sepenggal kisah yang ingin kuceritakan. aku tidak tahu apakah kami duduk di beranda rumah yang sama. kehangatan yang diberikannya setiap sore menelurkan kerinduan untuk selalu mengulangi ritual-ritual yang sama: duduk di samping jendela, menghisap rokok, dan bercerita tentang kisah-kisah sepanjang siang.

entah siapa yang menciptakan sepotong cerita yang kami tidak tahu bentuknya ini. percayalah, aku tidak pernah mempretensikan semua ini terjadi. serpihan-serpihan cerita ini datang satu per satu, terbang dibawa angin, dan hinggap di pangkuanku. percayalah, tidak ada api yang membakar dan hasrat yang memburu. tiba-tiba saja muncul bara dan kehangatan itu menjalar di batinku.

sejak awal aku selalu mengatakan, ini cuma sebentar. ini cuma perhentian melepas penat. jika saatnya tiba, entah kapan, kami akan pergi lagi sendiri-sendiri. aku mungkin ke utara. dia mungkin ke selatan. aku tidak ingin berharap bahwa kami akan melanjutkan perjalanan ini berdua, seperti halnya aku tidak pernah berharap bahwa kami akan bertemu di perhentian ini. angin yang membawa cerita ini datang, biar pula angin yang membawanya pergi.

08 April 2004

........

sepi yang menggigit jantungku
seperti pisau
yang kau tancapkan
pada urat nadiku





(Ia merasa sedih, takut, dan kesepian.
"Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya."

"Ya Bapa, jika Engkau berkenan, biarlah cawan ini berlalu daripadaku; tetapi bukan menurut kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.")

-Kamis Putih yang sepi-

03 April 2004

kita harus share dengan Tuhan

Kita harus share dengan Tuhan. Ya, ada bagian-bagian dalam hidup ini yang harus kita share dengan Tuhan. Kita cuma bintang kecil dari sebuah ledakan besar. Meski kita bintang kecil yang hidup, itu gak boleh membuat kita sombong, karena toh kehidupan si bintang kecil itu juga datang dari-Nya. Terimakasih Tuhan, karena bintang kecil kau berikan ruang untuk ikut serta menggoreskan takdirnya sendiri.

Kita harus share dengan Tuhan, karena hidup tidak selalu menjadi seperti apa yang kita pikirkan. Kita seringkali berada pada titik-titik kehidupan di mana rasionalitas kita tidak mampu untuk memahaminya.

Kita harus share dengan Tuhan, karena selalu ada garis demarkasi atas kemanusiaan kita. Kita tidak bisa melewati batas garis itu. Dengan rendah hati, kita harus mengakui bahwa ada ruang-ruang dalam hidup kita yang bukan merupakan kewenangan kita untuk menentukannya. Biarkan ruang-ruang itu tetap menjadi milik-Nya. Berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya; dan berikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar.

Dan kau, Ing, berdiri di seberang garis batas itu. Kau sunggingkan senyum dan rambutmu berkibar-kibar ditiup angin. Sosokmu serupa kabut di remang cahaya bulan.

Ing,...
Kusebut namamu dalam doaku tadi malam
Sebaris doa tanpa asap dupa dan wangi bunga
Angin datang membawa cinta,
dan wajahmu mengendap di kepala

Ing,...
Kusebut namamu dalam doaku tadi malam
Cuma sebaris doa
Semoga angin membawamu pulang
Dengan seikat bunga

22 March 2004

ini tentang mimpi, Jeng

Ini tentang mimpi, Jeng, tentang pil pahit yang enggan kita telan. Aku rasa kita semua punya pengalaman tentang mimpi dan pil pahit itu. Dan, aku tuliskan ini untukmu sambil menyeruput kopi. Pagi yang indah. Ada kupu-kupu hinggap di cangkir kopiku.

Tentang pil pahit itu, Jeng, kita mungkin mengatakan bahwa kita telah menelannya, tapi kita tahu bahwa kita masih menyimpannya di balik lidah. Apakah batas dunia mimpi dan kenyataan itu, Jeng? Batasnya adalah kejujuran pada diri sendiri. Kamu pasti tidak suka. Aku juga tidak suka. Entah kenapa kehidupan selalu merangkai kejujuran pada bingkai yang perih. Tapi, kita tidak bisa berhenti. Matahari tetap terbit besok pagi.

Tentang mimpi itu, Jeng, aku katakan padamu bahwa aku pernah enggan bangun dari tidur panjangku. Usai kamu menutup telepon, aku membongkar lagi catatan harian dari masa lalu. Buku bersampul hitam di pojok lemari, aku masih menyimpannya. Ya, aku masih menyimpan seluruh catatan-catatan yang kugoreskan sejak aku SMA.

Tentang buku bersampul hitam itu, aku menemukan tulisan ini di salah satu lembarannya yang mulai menguning. Aku kutipkan untuk kamu cerita tentang mimpi, tentang keengganan untuk bangun meski hari sudah siang.

Ketika kita memilih untuk bermimpi, kita enggan membuka jendela kamar kita. Padahal, kalau saja kita mau membuka jendela, dunia ternyata tidak sesempit kamar kita yang pengap. Di balik jendela, di kebun depan rumah, ada bunga mawar yang tengah mekar. Pada kelopaknya ada tetes air bekas hujan semalam.

6 Maret 2003

Aku takut Dien. Malam ini aku takut. Dan, aku tahu kamu hanya akan mencibiri ketakutan itu. Apakah aku berdoa agar ketakutan itu tidak terjadi? Tidak. Aku pasti berdoa agar ketakutankulah yang terjadi. Seperti pahlawan ya….klise! Dan, kamu akan menjawab, “Pret!” Begitulah, kamu akan berlari menjadi bayang-bayang yang jauh menghilang di balik ufuk.

Pernah gak, Dien, kamu mengalami keadaan dimana kamu sadar kalau kamu sedang bercengkerama dengan mimpi. Kamu sadar betul kalau itu adalah kebodohan dan kesia-siaan, tapi kamu tetap memilih berada dalam kebodohan dan kesia-siaan itu. Karena, buatmu itu adalah saat-saat paling indah dalam hidup kamu. Setiap hari, kamu gak mau mengakhirinya; kamu gak mau bangun dari mimpi kamu. Pernah gak kamu mengalami kamu merasa bahagia dengan kebodohan dan kesia-siaan. Kamu mengorbankan nyaris seluruh hidup kamu dalam kebodohan dan kesia-siaan itu. Lucunya, kamu menjalaninya dengan sadar.


Begitu, Jeng, sebuah catatan tentang satu hari di masa lalu….Itu sinar matahari menunggu di depan pintu….Kamu masih enggan bangun?

16 March 2004

aku kehujanan

Selamat pagi, Jeng. Tadi malam aku kehujanan. Angin kencang, udara dingin, dan aku menggigil di jalanan. Aku membayangkan kamu memelukku dari belakang. Kau sandarkan kepalamu pada punggungku, Jeng, lenyap angin dan udara dingin. Sampai di rumah, aku tidak mandi. Aku takut kehangatan itu pergi. Bersama pelukmu dalam diam aku tidur sampai hari pagi. Terimakasih, Jeng, telah menemaniku tadi malam.

14 March 2004

hujan

Aku lebih menikmati hujan ketimbang senja. Pada senja, langit yang merah melahirkan kekosongan dalam hatiku. Pada hujan, bumi yang basah membawa kesegaran.

Demikian sore ini, aku menikmati hujan dari beranda rumah nenekku. Butiran air bening jatuh membentuk garis-garis lurus seperti benang-benang tipis yang terentang antara langit dan bumi. Satu-satu jatuh pecah di atas tanah seperti kaki-kaki malaikat kecil menari, berloncatan membentuk ritmis pada ronce gerimis.

Dan, kau Ing, bersembunyi di balik gunung-gunung batu di belakang rumah nenekku. Kau dengar rinduku memburu pada nyanyi hujan yang pecah di atas tanah.

11 March 2004

jika Yesus datang lagi sekarang

Saya baru saja menonton film The Passion of Christ. Adik saya mendapatkan bajakan dvd-nya di Blok M. Dia beli dengan harga Rp 15 ribu. Di Glodok mestinya lebih murah. Penasaran memang, ingin sekali tahu seperti apakah film yang diributkan banyak orang itu.

Sebagai film, karya Mel Gibson ini menurut saya biasa saja. Untuk menikmati sebuah film, jauh lebih menarik menonton Cold Mountain atau The Lord of The Rings, atau seperti yang terakhir kemarin saya beli, Cinema Paradiso. The Passion seperti visualisasi jalan salib. Adegan dibuka dengan cerita di taman Getsemani. Yesus manusia terlihat cemas dan alone di taman yang gelap. Seperti cerita dalam kitab suci, Ia mendapatkan Petrus, Yakobus, dan Yohanes tertidur. Selanjutnya, film bertutur tentang adegan jalan salib yang menampilkan gambaran penderitaan seorang Yesus yang disebut-sebut paling eksplisit yang pernah digambarkan dalam sebuah film.

Ia ditangkap oleh imam-imam Yahudi. Mereka mencari celah untuk mendorong Yesus dalam koridor hukum Romawi yang memungkinkan hukuman mati. Imam-imam Yahudi gerah. Pemuda gondrong berusia tiga puluhan tahun itu tiba-tiba muncul di tengah masyarakat mereka dan bicara pedas tentang tradisi dan keyakinan iman mereka.

Sekadar sharing, film ini merangsang kontemplasi kita. Sepanjang 2 jam 6 menit menonton film itu, kepala saya dipenuhi pertanyaan: Seperti apakah kejadiannya seandainya Yesus untuk keduakalinya datang kedunia sekarang ini?

Saya berimajinasi, Yesus tidak datang dari langit yang terbelah; tidak dengan cahaya gemerlap dan nyanyian malaikat surga. Tiba-tiba saja ada orang muda berusia tigapuluhan tahun mengaku-ngaku Yesus. Ia menyatakan dirinya sebagai juruselamat.

Orang muda ini tidak berjubah. Seperti layaknya orang muda, kadang ia pakai jins, kaos oblong, sandal jepit. Rambutnya tidak gondrong. Rapi, malah kadang dicat coklat, ungu, atau merah. Dia suka jalan ke mal. Kadang-kadang nongkrong di Café. Ia penyuka pesta, kadang-kadang mabuk pula. Ia orang yang penuh dengan kegembiraan, penuh semangat hidup. Kata-katanya keras mengkritik Gereja dan para pastur.

Ia mengecam para pastur yang disebutnya seperti kuburan yang dilabur putih, sebelah luarnya memang putih tapi sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Ia datang ke gereja dan menjungkirbalikan meja-meja pendaftaran ziarek. Ia mengecam gereja sebagai istana gading yang angkuh, pusat seremonial formal yang kehilangan roh.

Ia mungkin menerbitkan sebuah buku dan memberi tafsiran baru atas sabda-sabda Yesus di Kitab Suci. Tasfiran-tafsiran yang ia kemukakan sungguh berbeda dengan tafsiran yang diyakini oleh umat krisitani sekarang ini. Ia membongkar seluruh gagasan kita tentang doa, misa, gereja, rosario, santo-santa, bahkan gereja sebagai sebuah strukstur sosial.

Meski gaul, namun sosoknya mencerminkan empati kemanusiaan yang dalam. Namanya populer di antara kaum gembel di Jakarta. Ia tinggal di pinggir kali dan ikut-ikut demo waktu Sutiyoso melakukan penggusuran.

Ia ada ditengah-tengah kita tanpa embel-embel agama tertentu di KTP-nya. Ia tidak punya agama, kalau yang kita maksud agama adalah seperti yang kita cantumkan di KTP. Ia bicara tentang TUHAN tapi tidak punya agama. Ia tidak peduli dengan apa yang disebut oleh kita sebagai agama.

Selama menonton film itu saya bertanya-tanya, apakah benar tafsiran iman yang diyakini sekarang ini? Paham tentang keselamatan? Menebus dosa manusia? Gereja? Misa? Rabu Abu? Jalan Salib? Kamis Putih? Kebangkitan? Kekristenan? Katholik?

Bagaimana jika tiba-tiba ada orang yang "mengaku-ngaku" Yesus dan berteriak lantang, bukan seperti yang dipahami sekarang?! Seperti apakah Gereja akan "menyalibkannya"?

03 March 2004

tidak cukup berharga

Seringkali, sesuatu yang paling mahal dari dirimu tidak memiliki harga untuk sesuatu yang kau inginkan. Tak apa. Adakalanya pilihan terbaik yang bisa kauambil adalah menitipkan mimpimu pada bintang-bintang di langit, biar ia menjadi keabadian di tempatnya yang sejati. Kau bisa menengoknya setiap malam kau membuka jendela.

20 February 2004

tentang hidup

Pada apakah kamu mendedikasikan hidup kamu yang cuma sekali ini? Atau begini, hidup macam apa sih yang ingin kamu jalani? Menjadi terkenal? Populer? Kaya? Bahagia?.....

Bahagia?! Seperti apakah kamu mendefinisikan kebahagiaan? Pernahkah kamu membayangkan suatu saat nanti, ketika kamu mati, kamu mati dengan tersenyum, dengan perasaan damai karena hidup yang kamu tinggalkan tidak menyisakan kebohongan. Kehidupan yang tulus. Kebaikan dari hati yang bersih tanpa pamrih. Ya, kebaikan tanpa pamrih surga dan neraka. Kebaikan yang tidak berpretensi pada iming-iming sebuah konsep absurd tentang surga.

Apakah pahala? Menjilati pantatnya TUHAN? Nampaknya kita harus menggagas ulang tentang konsep surga dan neraka. Aku sudah menghapus jauh-jauh hari gagasan tentang siksa api dan dayang-dayang peri.

16 February 2004

dua puluh delapan kilometer

"Hi, saya Mbonk. Sorry, telat."
"Gak papa," dia tersenyum sambil mengulurkan tangan.

Alamak! Saya tersihir. Dua puluh delapan kilometer. Itu angka yang tertera pada speedometer motor saya. Saya berjuang meyakinkan diri untuk tidak memikirkan apapun. Yang terjadi, terjadilah. Seperti daun kering yang ditiup angin. Seperti air yang mengalir. Tidak tahu hari esok. Juga tidak berharap apapun tentang hari esok. No mind. No hope. And, no words.

14 February 2004

valentine, cinta sebagai komoditas

Valentine’s day. Duh, hingar bingar deh. Orang-orang bicara tentang cinta. Lagu-lagu di radio jadi melankolis. Film-film di tv menawarkan kisah-kisah penguras air mata. Mal-mal menyulap dandanannya dengan nuansa merah muda. Tak lupa, bunga mawar merah dan ornamen sebentuk hati bertebaran di mana-mana. Café-café gak mau kalah. Sejumlah sajian khusus ditawarkan untuk pesta satu malam hari ini. Ayo-ayo, mari merayakan cinta.

Tidak begitu penting mengusut asal-asal pesta hari ini. 14 Februari telah menjadi artefak sejarah dalam perjalanan panjang modernisme. Ia adalah produk kultural, gaya hidup, sebuah simbol dari gagasan abstrak tentang cinta dan kasih sayang.

Hari ini seperti sebuah keniscayaan ketika ritual konsumerisme selalu membutuhkan kejadian, momentum. Valentine adalah kejadian atau momentum untuk menyelenggarakan ritual itu. Kapitalisme mencitrakannya sebagai komoditas yang harus kita beli. Dan, masyarakat modern memang tidak lagi mengkonsumsi sesuatu berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas, tapi berkaitan dengan unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol tertentu. Hari ini kita tidak sedang mengkonsumsi cinta dan kasih sayang. Kita tengah mengkonsumsi simbol dan makna-makna sosial di balik tanggal 14 Februari.

Met valentine ya...

12 February 2004

capek sekali...

Gila! Hari ini capek sekali. Akbar Tandjung bebas dan saya tidak punya kata-kata. Poster. Speaker. Retorika. Dan, keletihan tersisa. Semoga, yang tertinggal hanyalah hati nurani dan kelapangan hati agar mendung kali ini betul-betul punya arti.

06 February 2004

tentang yang tidak ideal itu...

Ada banyak hal yang tidak ideal dalam hidup ini. Kehidupan selalu satu paket: senang-susah, menangis-tertawa, baik-buruk, cantik-jelek, enak-tidak enak, dan seterusnya. Kita tidak bisa memilih hanya menjalani satu bagian dari paket-paket kehidupan itu.

Ada banyak hal yang tidak ideal dalam hidup ini. Siapakah kita ini sehingga bisa mengatur jalannya kehidupan. Kita cuma setitik debu di jagad raya. Kita hanyalah bagian kecil dari sebuah dentuman besar, begitu dikatakan dalam Dunia Sophie. Tapi, kita adalah bintang kecil yang hidup. Bintang kecil yang diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari ketidakterhinggaan jagad ini. Kita boleh berkarya, berpikir, berencana, bekerja, dan menancapkan cita-cita sebagai manusia.

Ada banyak hal yang tidak ideal dalam hidup ini. Melengkapi yang satu berarti kekurangan untuk hal yang lain. Memaksakan semuanya kerapkali malah memperpanjang daftar keruwetan. Tapi, apakah artinya menancapkan cita-cita kala semua hal menjadi mudah tanpa masalah? Apakah ada yang disebut kebanggaan kala semua yang kita inginkan cukup didapatkan hanya dengan mengedipkan mata?

Syukurlah bahwa ada banyak hal yang tidak ideal dalam hidup ini. Sebab, dengannya kita boleh bercita-cita. Dengan bercita-cita kita boleh belajar tentang perjuangan. Dengan perjuangan kita boleh memberi arti pada kehidupan. Dan, ketika saatnya tiba, kita boleh tersenyum dan berterimakasih karena diberi kesempatan untuk menjadi sebuah bintang kecil yang hidup.

Biarlah kesusahan hari ini cukup untuk hari ini. Memikirkannya terus dan hanyut di dalamnya toh tidak akan menyelesaikan persoalan. Sementara, kesusahan berikutnya sudah menunggu esok pagi.

05 February 2004

seraut wajah

seraut wajah pada jendela gedung berlantai lima itu adalah kamu. catatan usang dari sejarah panjang hari-hari yang berjalan perlahan. itu, daun-daun akasia jatuh di pinggir jalan waktu kita santap siomay di warung jajanan.

03 February 2004

di sini, Ing...

Ada di sini untukmu, Ing,
masih kusimpan dalam jarik lurik
yang kau berikan malam kemarin.
Sepasang kupu-kupu terbang dekat pundakmu
waktu kupagut mulutmu dari kisut mantelmu yang kusut.

Aku masih di sini, Ing,
menunggumu datang dengan sebingkai senyum.
Aku melihat wajahmu pada dinding bulan,
cukup untuk mengobati rinduku tadi malam.
Tak apa dengan hari-hari yang panjang.
Sebab, apakah hidup jika kau tak punya harapan.

Masih untukmu, Ing,
belum ada yang mencurinya.
Tapi, penaku kehabisan kata-kata
sebelum usai kusebut satu nama.

11 January 2004

masih harus menghilang

sulit mencari warnet di daerah pelosok. saya ke pelosok jambi, bengkulu, dan transit sebentar di lubuk linggau. semua serba tergesa-gesa, bahkan untuk pergi mengheningkan diri sejenak seperti kemarin. akhirnya, setelah beberapa hari saya seperti diburu oleh waktu dan sejumlah peristiwa yang mengejutkan, ada waktu juga untuk pergi menyepi. saya ke bumi sumatera untuk beberapa hari. mau berhenti sebentar, sekedar menengok ke belakang jejak macam apa yang sudah saya buat di belakang. mau beristirahat, mengumpulkan tenaga karena perjalanan ke depan masih panjang.

mohon pamit teman-teman. maaf, lama saya tidak berkunjung dan menyapa Anda. nita, ida, dan atta, terimakasih atas sapaan kalian yang hangat sepanjang tahun kemarin. terimakasih boleh mengenal kalian sebagai sahabat di dunia maya ini.

Sepertinya saya masih harus menghilang...heheh...balik ke jakarta, setumpuk pekerjaan resmi dan tidak resmi sudah menunggu. doakan semoga saya bisa menuliskan semua pengalaman 'mengejutkan' di penghujung tahun kemarin. see u (lagi)...:)