07 January 2005

Kerdil

“Kami menolak langkah-langkah adopsi yang dilakukan terhadap anak-anak korban gempa tsunami Aceh. Kami khawatir adopsi merupakan kegiatan pemurtadan secara terselubung.”

Jelas dan terang kalimat itu saya dengar meluncur kata demi kata dari seorang tokoh agama terkemuka. Saya mencatatnya lengkap kata demi kata. Darah saya mendidih!

Lekat saya tatap lelaki tua yang mulutnya mengucapkan kata-kata itu. Ingin sekali saya menamparnya. Betul! Ingin sekali saya menamparnya. Lelaki itu seusia kakek saya dan saya ingin sekali menamparnya.

Di sebelahnya duduk seorang perempuan berkerudung. Ketika saya meminta perempuan itu untuk menuliskan namanya pada notes saya, Ia tulis besar-besar gelar di depan namanya: Prof. Dr. ….. Darah saya makin menggelegak. Saya ingin menampar kedua orang itu. Paduan usia tua dan intelektualitas tidak menjamin orang menjadi dewasa dan bijaksana.

Saya setuju agar tidak dulu dilakukan adopsi terhadap anak-anak itu. Pula, saya setuju agar seyogyianya adopsi dilakukan oleh mereka yang memiliki kultur dan tradisi yang sama. Tapi, kenapa pernyataan permurtadan itu harus sebutkan sebagai konsumsi publik? Sebuah prasangka yang mengendap dalam kekerdilan menyeruak saat semua orang bersatu atas nama kemanusiaan.

Kenapa kita sulit sekali memandang manusia hanya sebagai manusia. Kenapa kita selalu memandang manusia dari atributnya sebagai kelompok ini dan itu. Sepertinya, identitas kelompok itu adalah sesuatu yang paling hakiki mengatasi kemanusiaan kita. Tidakkah bencana ini telah menyatukan seluruh kemanusiaan kita?

Tidak ada orang bule, tidak ada orang melayu. Tidak ada orang hitam, tidak ada orang putih. Tidak ada agama itu dan tidak ada agama ini. Bencana itu tidak saja meluluhlantakkan sebuah kota tapi juga meluluhlantakan seluruh sekat yang selama ini ada, tidak cuma di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.

Tidakkah kita telah menyatu dalam satu air mata, air mata kita sebagai manusia. Lukamu saudaraku, dukamu saudaraku, adalah luka dan dukaku; luka dan duka kita; luka dan duka manusia. Belum robohkah juga tembok prasangka yang kerdil itu?


Matamu berlumur darah
karena kau tidak memiliki biji mata
Mulutmu berbusa
karena hatimu adalah air liur serigala
Ada bau busuk dari luka-luka bernanah
yang akut pada langit-langit mulutmu

Kau pikir ada surga
dalam kepalamu yang pecah oleh prasangka
Sesungguhnya, bumi menjadi keji
karena neraka kau lahirkan sendiri
dari rahimmu yang nista.

06 January 2005

Selamat Tahun Baru 2005

Selamat Tahun Baru 2005.Tahun baru beriring duka dan airmata, beriring lolong tangis kematian. Aku diam dan menatap langit. Ada gemericik kembang api memecah sekali-sekali. Langit menjadi terang dan kemudian gelap lagi. Samar tapi tegas aku melihat bayangan sayap-sayap kabut melukis dinding malam yang gelap. Sepasang malaikat muncul dari ujung semesta dan menari membentuk garis bintang-bintang. Setetes basah mengalir membentuk sungai pada wajahku. Airmata menjadi anggur pesta dalam alunan kecapi surga.

Jarum-jarum waktu yang berputar pada selempeng bundar bernama jam adalah ilusi. Kematian adalah juga ilusi. Matahari tidak pernah terbenam. Pula, tidak pernah matahari terbit atau lahir. Tidak ada malam. Tidak ada siang. Kita tengah berenang-renang dalam kekinian yang abadi. Sekarang. Di sini. Kekinian yang abadi. Tuhan Maha Besar. Allahu Akbar. Allabare. Alleluia. Pujilah nama Tuhan. Masihkah ada tahun baru ketika kamu tidak lagi memiliki waktu?