14 May 2013

Kami Tak Ingin Kehilangan Mas Usman

Usman Hamid | Foto: Kompas.com - Dhoni Setiawan

Hari ini, 14 Mei, lima belas tahun yang lalu. Saya ingat hari itu bersama seorang teman, saya duduk di sebuah halte di sekitar Galur, dekat Pasar Senen, Jakarta Pusat, sekitar pukul 10.00. Kami membawa satu kardus Aqua gelas, logistik buat teman-teman yang keliling Jakarta memantau perkembangan situasi kerusuhan. 

 Kami lalu keliling Jakarta naik vespa dan sempat menyicipi indahnya melaju di jalan tol dalam kota dengan naik vespa. Jalan tol melompong tanpa penjaga. Kerusuhan masih berlangsung di mana-mana. Kerusuhan itu menandai zaman baru negeri ini: reformasi.

Hari ini, 14 Mei 2013, tanpa sengaja saya menemukan tulisan ini. Cerita tentang kawan saya Usman Hamid yang akhirnya menolak pinangan Partai Demokrat. Membaca lagi cerita Usman, saya salut dengan putusannya itu. Saya termasuk satu orang dari 1.500 orang yang dikiriminya SMS. Lewat SMS saya katakan, saya mendukung jika ia ingin bergabung masuk partai, ada ruang yang lebih luas untuk memperjuangkan cita-cita kemanusiaan.

Tapi, toh Usman menolak. Saya senang, bukan karena ia tidak bergabung di partai, tapi karena alasannya penolakannya sangat luar biasa buat saya. Saat reformasi dibajak politik pragmatis, ada hati nurani yang belum tergadai.
______________________________________________________________________

Mulanya, bulat sudah keputusan Usman Hamid, aktivis hak asasi manusia, menerima pinangan Partai Demokrat. Kamis (17/6/2010) dini hari di salah satu sudut kantor Kontras, Usman didampingi sejumlah aktivis Kontras berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.Wajah Anas terlihat semringah.

Dini hari itu, di tengah rinai gerimis seusai Swiss mengalahkan Spanyol 1-0, Anas berhasil memenangkan hati Usman setelah hampir dua jam meyakinkan Usman bahwa Partai Demokrat membuka ruang seluas-luasnya kepada Usman untuk memperjuangkan apa yang selama ini mereka perjuangkan, yaitu keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.

"Anas berhasil meyakinkan bahwa Partai Demokrat bisa digunakan sebagai ruang politik yang lebih luas untuk memperjuangkan korban," ucap aktivis Kontras, Papang Hidayat, dalam perbincangan dengan Kompas.com, Jumat kemarin.

Pinangan Demokrat datang sekitar tiga pekan lalu. Anas sendiri yang menghubungi Usman menyampaikan tawaran ini. Selama tiga pekan itu pula Usman dan Kontras sibuk "berpikir". Meski tawaran itu sifatnya personal, Usman merasa secara moral ia tidak bisa memutuskan sendiri.

"Saya adalah Koordinator Kontras. Mau tidak mau saya adalah representasi dari aktivis hak asasi manusia. Apa pun keputusan saya sedikit banyak pasti berpengaruh terhadap citra perjuangan HAM. Maka, bagi saya, ini bukan lagi urusan personal saya dengan Partai Demokrat. Saya merasa berkepentingan meminta pertimbangan dari banyak pihak," tutur Usman.

Tak kurang dari 1.500 pesan pendek (SMS) dikirim Usman kepada relasi-relasinya di segala lapisan masyarakat. Ada rekan aktivis, akademisi, tentara, polisi, pejabat pemerintahan, anggota Dewan, pengacara, aktivis partai, tokoh masyarakat, dan tak lupa para korban yang selama ini didampingi Kontras.

"Kami di Kontras lantas melakukan analisis atas berbagai masukan itu. Hasilnya, mayoritas pendapat dan nasihat tidak menabukan partai politik. Sebagian besar mengatakan tawaran ini adalah kesempatan untuk melembagakan perjuangan Kontras dalam koridor demokrasi yang lebih luas, yaitu melalui partai politik," ungkap Usman.

Beragam masukan ini dan pemaparan Anas yang bersedia datang ke kantor Kontras menjelang tengah malam menebalkan keyakinan Usman untuk menerima pinangan. Namun, ketetapan hati Usman runtuh hanya dalam beberapa jam. "Seusai shalat subuh saya mendapat telepon dari Pak Rahardjo Utomo, ayah Petrus Bima Anugerah, korban penculikan aktivis 98. Kata-kata Pak Utomo membuat saya menangis," tuturnya.

Usman mencatat kata-kata Utomo dalam secarik kertas: Kami pada dasarnya tidak mengerti politik. Kami menyampaikan ini sebagai orangtua karena Mas Usman sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Kalau Mas Usman bergabung di pemerintahan, kami mendukung karena kami yakin Mas Usman ada pada posisi yang bisa memengaruhi sebuah keputusan. Tapi, kalau di partai kami tidak rela. Kami telah kehilangan Petrus. Kami juga telah kehilangan teman-teman aktivis yang bergabung di partai. Kami tidak rela harus kembali kehilangan. Kami tak ingin kehilangan Mas Usman. Di Demokrat mungkin Mas Usman mendapat sesuatu yang lebih secara pribadi. Sementara berjuang bersama kami tak ada yang bisa kami janjikan. Kita telah berjuang bersama selama belasan tahun, kalaulah kita belum menghasilkan apa-apa, janganlah Mas Usman merasa lelah. Kalau Mas Usman pergi, siapa lagi teman kami? Semoga Mas Usman tetap menjadi ikon perjuangan kami.

"Pesan Pak Utomo seperti mengorisinalisasi kembali eksistensi Kontras. Kami ada karena korban. Dan, suara mereka adalah faktor determinan keputusan saya. Saya memutuskan untuk tetap bersama mereka di luar sistem. Saya menghargai tawaran Mas Anas dan saya berharap kerja-kerja Mas Anas di dalam partai dan kami di luar partai bisa saling mendukung untuk menjadikan politik sebagai ruang kebajikan memuliakan martabat manusia," papar Usman.

Kamis siang, satu jam sebelum Anas mengumumkan susunan pengurus Partai Demokrat, Usman menemui Anas di kantor DPP Partai Demokrat, Rawamangun, Jakarta Timur. Akhirnya, nama Usman pun tidak tercantum dalam struktur baru kepengurusan partai yang disampaikan Anas di hadapan para wartawan.

Dimuat di Kompas.com , Sabtu, 19 Juni 2010 | 06:51 WIB

No comments: