19 December 2008

"Behind the Scene" (4): Habibie, Presiden Pintar yang Tidak Pernah Mau Kalah

Meski sekian lama menjadi bagian dari masa Pemerintahan Soeharto dan menganggap Soeharto adalah guru sekaligus bapaknya, gaya kepemimpinan Habibie jauh bertolak belakang dengan orang yang dihormatinya itu. Muladi, mantan Menteri Kehakiman di era Orde Baru, menuturkan, sidang kabinet yang dipimpin Soeharto selalu berlangsung dalam suasana mencekam. Para menteri takut angkat tangan mengajukan diri untuk bicara. Sementara itu, di zaman Habibie, para menteri justru berebut mengacungkan jari. Muladi menggambarkan, susana sidang kabinet seperti sebuah seminar: riuh, panas, kadang gebrak-gebrak meja seperti mau berkelahi.

Habibie sendiri yang merangsang suasana seperti itu karena dia memang senang berdebat. Semakin didebat, ia semakin bersemangat. Karena semua menteri boleh bicara dan perdebatan dibuka seluas-luasnya sebelum diambil keputusan, sidang kabinet bisa berlangsung sampai larut malam.

Habibie, menurut Tjipta dalam bukunya “Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, adalah seorang extrovert. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Semua orang terkejut, terutama Almarhum Ali Alatas yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ketika Habibie tiba-tiba mengumumkan kepada dunia internasional tentang pemberian opsi kepada rakyat Timor Timur: tetap bergabung dengan Indonesia atau melepaskan diri sebagai negara merdeka.

Tjipta menganalisa, biang keladi dari keputusan besar ini adalah sepucuk surat Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard, yang ditujukan kepada Habibie pada Desember 1998. Menurut penuturan Juwono Soedarsono, Habibie marah membaca isi surat Howard yang meminta Indonesia mempertimbangkan hak politik rakyat Timor Timur untuk menyatakan penentuan nasib sendiri.

Habibie merasa surat itu seperti tantangan sekaligus kritik terhadap Pemerintah Indonesia. “Karena Habibie mempunyai tabiat tidak mau kalah dengan siapa pun maka tantangan itu pun secara spontan dijawab,” tulis Tjipta.

Dalam sidang kabinet 27 Januari 1999, kebijakan pemberian opsi ini dipertanyakan oleh Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. “Kalau plebisit kalah, bagaimana? Siapa bertanggung jawab? Ini kan nanti akan terjadi eksodus, eksodus dari para transmigran yang sudah 25 tahun di sana. Siapa yang bertanggung jawab?” cecar Hendro seperti ditulis dalam buku itu.

Habibie dengan sigap menjawab, ”Saya bertanggung jawab.”

Fahmi Idris, Menteri Tenaga kerja kala itu, segera menimpali, ”Tanggung jawab apa, Presiden?”

Wajah Habibie tampak merah. Seorang menteri dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lantas menengahi situasi panas ini. (halaman 154)

Bagaimana dengan SBY?

Selanjutnya, bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Tjipta menilai, SBY adalah sosok yang perfeksionis. Ia selalu tampil rapi dengan tutur kata yang tertata. SBY pasti sadar bahwa ia seorang pria yang dikaruniai Tuhan dengan wajah cukup ganteng, dan ia betul-betul memanfaatkan ketampanannya setiap kali tampil di depan pers. Seolah kegantengannya dan penampilannya yang dandy merupakan daya tarik tersendiri yang harus selalu ‘dijual’ kepada publik setiap kali ia tampil.

”Pakaian yang dikenakan—apakah berupa setelan jas atau batik—selalu berkualitas No. 1 dengan warna, motif, dan ukuran mantap, mencerminkan seleranya berbusana yang tinggi. Ketika itu ia mungkin lebih pas diberikan predikat sebagai ‘foto model’ atau ‘aktor’ daripada seorang ‘kepala negara’,” tulis Tjipta.

Sebagai seorang perfeksionis, lanjut Tjipta, SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Namun, gaya bahasanya sering kali high-context, cenderung berputar-putar, terutama ketika ia belum siap dengan keputusannya.

Sayang, tidak banyak hal tersembunyi yang terungkap dalam analisis terhadap gaya komunikasi politik SBY. Tjipta banyak menggunakan contoh dari pemberitaan di media massa. Mungkin para pembantunya belum ada yang berani bicara terbuka karena Bapak Presiden masih berkuasa./*



(Selesai)
Heru Margianto

------------
*Tulisan ini ditayangkan di kompas.com,
Rabu, 17 Desember 2008 | 12:09 WIB

"Behind the Scene" (3): Gus Dur Menggebrak Meja Hingga Meraung-raung

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah Presiden Indonesia keempat. Masa kepemimpinannya tidak lama, hanya 21 bulan (20 Oktober 1999-23 Juli 2001). Ia dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipimpin Amies Rais dan digantikan Megawati Soekarnoputri.

Meski rentang kepemimpinannya paling singkat dalam sejarah Indonesia, sepak terjangnya banyak menuai kontroversi. Manuver-manuvernya sulit dipahami. Gayanya yang ceplas-ceplos menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Tjipta menyebut dalam bukunya Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, Gus Dur tidak bisa memisahkan statusnya sebagai kiai dan Presiden Republik Indonesia. Statusnya sebagai kiai bahkan kerap lebih menonjol daripada sebagai Kepala Negara. Akibatnya, komunikasi politik Gus Dur kacau. Sebagai kiai Gus Dur adalah sosok yang terbuka terhadap siapa saja, termasuk terbuka terhadap segala informasi yang dibisikan kepadanya. Celakanya, Gus Dur sering percaya begitu saja pada bisik-bisik orang tanpa pernah lagi mengeceknya. Gara-gara bisik-bisik ini pula ada orang kehilangan kesempatan emasnya berkarier di luar negeri.

Laksamana Sukardi, kala itu Menteri Negara Badan Urusan Milik Negara, menuturkan dalam buku tersebut, suatu kali dipanggil Gus Dur ke istana. Gus Dur menyampaikan, ada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan reputasi sangat baik. Ia masih muda dan pintar. Gus Dur ingin Laksamana mencarikan posisi untuk orang itu. “Dia pintar sekali. Lalu dia mau ditarik ke New York. Kan sayang kalau ada anak muda yang pintar, masak kerja di luar negeri. Tolong, deh,” ucap Gus Dur seperti ditirukan Laksamana.

Tak lama setelah hari itu, Laksamana kembali menghadap Gus Dur. Ada posisi lowong sebagai Direksi Indosat. “Gus, ingat enggak ini orang, anak muda yang tempo hari Gus titipkan kepada saya? Dia lebih cocok di Indosat Gus,” kata Laksamana.

Gus Dur rupanya sudah lupa. Setelah berpikir agak lama, tiba-tiba ia menjawab lantang, ”Enggak bisa itu orang!” “Lho, kenapa, Gus?” Laksamana terperanjat.
”Dia bawa lari istri orang.”

Laksamana kaget setengah mati. Pasalnya, ia sudah menyuruh orang itu keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, bahkan diminta secepatnya keluar karena ada perintah Presiden. Orang itu pun sudah ada di Indonesia. Laksamana kemudian meminta orang itu menghadap ke kantornya.

”Mas, kok Gus Dur bilang kamu bawa lari istri orang?” tanya Laksamana.
”Demi Allah Pak! Saya masih dengan istri saya yang sekarang,” jawab orang itu.

Usut punya usut, ternyata Gus Dur mendapat bisikan dari orang tertentu tentang anak muda ini. Dan, faktanya bisikan itu tidak benar. Anak muda bergelar PhD ini akhirnya bekerja di sebuah bank swasta. Laksamana merasa kasihan. Bagaimana tidak! Kariernya di perusahaan luar negeri itu sudah bagus, tapi gara-gara seorang pembisik nasibnya jadi kacau balau (hal 207).

Gus Dur menangis meraung-raung

Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang emosional. Bila marah, ia bisa menggebrak meja dan kata-kata keras meluncur dari mulutnya. Salah seorang mantan menteri yang tidak bersedia disebutkan namanya menuturkan, ia pernah dimarahi habis-habisan. Ceritanya begini, ada seorang kerabat Gus Dur duduk dalam pemerintahan. Sebut saja namanya XZ. Gus Dur sebenarnya tidak pernah mengangkat XZ. Namun, seorang pimpinan salah satu instansi pemerintah mengangkat XZ sebagai pejabat eselon 1.

Mungkin, orang itu berpikir dengan mengangkat kerabat Gus Dur kariernya akan jadi lebih baik mengingat kedekatan XZ dengan Gus Dur.

Namun, sebagai pejabat eselon 1, XZ diketahui kerap “memeras” sejumlah konglomerat keturunan Tionghoa. Para pengusaha ini mendapat semacam “bantuan”, tapi dengan imbalan yang sangat besar.

Sang menteri tersebut, sebut saja AB, melaporkan perilaku XZ kepada Gus Dur. Gus Dur marah. AB dicaci maki Gus Dur karena Gus Dur tidak memercayai laporan AB.

Beberapa hari kemudian, AB dipanggil Gus Dur ke istana. Pertemuan empat mata. Begitu masuk ke ruang kerja Gus Dur, AB melihat Gus Dur menangis meraung-raung. Ia tampak dilanda kesedihan luar biasa. Lama Gus Dur tidak bisa bicara, hanya menangis dan menangis.

AB bingung, tidak tahu apa yang sedang dialami Gus Dur. Ia berusaha menenangkan Gus Dur. “Gus, tenang, Gus. Tenang, Gus! Ada masalah apa?” ucapnya sambil mengusapi dan memijat-mijat tangan Gus Dur. Sesaat kemudian, Gus Dur berusaha menguasai dirinya, sebelum akhirnya membuka suara.

Intinya, ia mengakui kebenaran informasi tentang perilaku XZ yang pernah disampaikan AB. “Saya malu! Sangat malu! Ternyata, apa yang kamu laporkan kepada saya memang benar semua! Kurang ajar dia!” ujar Gus Dur (hal 225).

Sejak saat itu dan selama setahun lebih, Gus Dur tidak pernah menyapa XZ.


(Bersambung)

Heru Margianto
------------
*Tulisan ini ditayangkan di kompas.com,
Rabu, 17 Desember 2008 | 12:03 WIB

"Behind the Scene" (2): Megawati Lebih Antusias Bicara Soal "Shopping"

MEGAWATI Soekarnoputri adalah Presiden Indonesia kelima. Bisa disebut ia adalah Presiden Indonesia paling pendiam. Putri Bung Karno ini sepertinya seorang pengikut fanatik pepatah kuno “Silence is Gold”. Namun, diamnya Megawati sering kali kelewatan. Ia tetap tak bersuara, bahkan ketika negeri ini membutuhkan kejelasan sikapnya. Sampai-sampai (alm) Roeslam Abdulgani, tokoh pejuang 45, berseru, “Megawati bicaralah sebagai Presiden!”

Mengapa Megawati lebih banyak diam?

Tjipta Lesmana dalam bukunya Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa mengisahkan, pada suatu hari, saat masih menjabat sebagai Presiden, Megawati Soekarnoputri tampak tengah berbincang lama sekali dengan seorang menterinya di kediaman resminya, di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Sementara perbincangan berlangsung, seorang pembantu dekatnya yang lain menunggu dengan gelisah. Pasalnya, ia sudah menunggu lama lewat dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu.

Seusai pembicaraan Megawati dengan menterinya, pembantu ini bertanya kepada si Menteri. “Lama amat sih kamu ngobrol-nya. Apa saja sih yang dibahas?”

”Enggak ada Mas. Kami ngobrol hal-hal lain yang enggak ada kaitannya dengan negara!” jawab sang menteri sambil tertawa lebar (hal 272).

Itulah Megawati. Berdasarkan penuturan Laksamana Sukardi, mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, jika berdiskusi dengan pembantunya, lebih sering soal-soal ringan, seperti masakan, tanaman, dan shopping. Pembicaraan dengan topik itu bisa membuat diskusi dengan Megawati berlangsung lama. Namun, jika sudah menyentuh soal pekerjaan atau negara, daya fokusnya sangat terbatas. Konsentrasinya kurang cukup untuk terus-menerus fokus ke permasalahan. Hal ini menimbulkan kesan Megawati orang yang tidak mau repot dalam mengurus negara.

Mantan pentinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini hengkang dan mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB Janis, menuturkan dalam buku itu, dalam sidang kabinet, Megawati biasanya lebih banyak diam. Kalaupun angkat suara fungsinya hanya sebagai pengatur lalu lintas. Kalau ada dua menteri saling berdebat di sidang kabinet, Megawati hanya menonton, jarang memberikan pendapatnya sendiri atau menengahi keduanya meski perdebatan sudah berada pada tingkat "panas".

Ada cukilan kisah menarik tentang diamnya Megawati. Menjelang tutup tahun 2002 aksi-aksi unjuk rasa antipemerintah, terutama dilancarkan mahasiswa, menunjukkan eskalasi yang tinggi. Aksi ini menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Di tengah ingar-bingar unjuk rasa itu, beredarlah rumor yang menyebutkan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengompori rangkaian unjuk rasa itu.

Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab atas stabilitas pemerintah, Hendropriyono (Kepala Badan Intelijen Negara), Susilo Bambang Yudhoyono (Menteri Koordinator Politik dan Kemanan), dan Da’i Bachtiar (Kapolri), rupanya terus memeras otak untuk mencari tahu siapa dalang aksi-aksi ini. Lantas, dalam rapat kabinet tanggal 20 Januari 2003, muncul empat nama yang disebut-sebut sebagai pihak yang berada di belakang aksi unjuk rasa. Mereka adalah Jenderal Wiranto, Fuad Bawazier, Adi Sasono, dan Eros Djarot.

Tentang Fuad Bawazier, memang diketahui lama adalah mitra bisnis Rini Suwandi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam kabinet Megawati. Kemitraan mereka terjadi jauh sebelum Rini menjadi menteri.

Suatu hari bertemulah Hendropriyono dan Rini Suwandi di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar. Hendro menegur keras Rini soal sepak terjang Fuad. Kata-kata Hendro meluncur tanpa tedeng aling-aling. Teguran itu begitu menyakitkan Rini hingga ia menangis sambil memeluk Megawati. Apa reaksi Presiden? Megawati hanya tersenyum menyaksikan adegan perang mulut antara dua pembantu dekatnya (hal 276).

Pendendam

Semua orang mafhum, hingga detik ini Megawati emoh bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden berkuasa yang notabene adalah mantan pembantunya di kabinet. Dalam upacara kenegaraan memperingati Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia Ke-63, 17 Agustus, tahun ini, Megawati tidak hadir. Ketidakhadirannya diyakini karena faktor Yudhoyono sebagai Presiden.

Tjipta menulis, “Di mata Megawati, Susilo Bambang Yuhoyono tidak lebih seorang pengkhianat, bahkan seorang Brutus yang sadis,” (hal 303). Ini semua karena sikap “diam-diam” SBY yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2004. SBY dinilai tidak jantan. Beberapa kali Megawati bertanya kepada SBY apakah akan maju dalam Pemilu 2004. Dengan diplomatis SBY menjawab, “Belum memikirkan soal itu, Bu. Saya masih konsentrasi dengan tugas selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.” (hal 288).

Namun, Megawati dan kubunya menaruh kecurigaan besar terhadap SBY dan timnya. Perseteruan di balik selimut pun terjadi. Terungkap ke publik bahwa Megawati mengucilkan SBY dari sidang-sidang kabinet. Sikap Megawati ini menguntungkan SBY karena dengan itu SBY tampil di media sebagai korban kezaliman Megawati.

Pada 12 Maret 2004 SBY mengirimkan surat pengunduran diri dari kabinet. Dua hari kemudian ia terbang ke Banyuwangi, berkampanye untuk Partai Demokrat. Pada putaran kedua Pemilu 2004 SBY menang gemilang dalam pemungutan suara. Megawati sedih dan menangis.

Semua orang tahu, saat pelantikan SBY di Gedung MPR pada 20 Oktober 2004 Megawati tidak hadir, padahal banyak orang dekat membujuknya datang. Semua orang juga tahu, pagi itu Megawati bahkan tidak duduk di depan pesawat televisinya, tapi sibuk berkebun.

Menurut penuturan Roy BB Janis, kegusaran dan kebencian Megawati diartikulasikan dalam rapat DPP PDI-P. “Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Namun, kalau ini (SBY) saya enggak bisa karena dia menikam saya dari belakang,” begitu kata Megawati seperti ditirukan Roy (hal 289).



(Bersambung)


Heru Margianto

------------
*Tulisan ini ditayangkan di kompas.com,
Rabu, 17 Desember 2008 | 11:58 WIB

"Behind the Scene" Tingkah Laku Para Presiden Indonesia (1)

Suatu ketika, pada era pemerintahan Gus Dur, Laksamana Sukardi (Menteri Negera Badan Urusan Negara) ikut serta dalam kunjungan kenegaraan ke Eropa dan Asia. Jadwal Presiden sangat ketat sehingga membuatnya teler. Para anggota rombongan pun kelelahan luar biasa.

Di Seoul, Gus Dur menerima kunjungan kehormatan Perdana Menteri Korea. Kedua pemimpin negara duduk berdampingan. Perdana Menteri Korea berbicara kalimat demi kalimat yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah. Rupanya, karena sangat lelah dan tidak menarik mendengarkan terjemahan, Gus Dur tertidur.

Pada salah satu bagian, PM Korea berujar, ”Mr President, we have an excelent nuclear technology for power plant. If you are interested, we would be happy to have it for you. (Tuan Presiden, kami memiliki teknologi nuklir yang canggih untuk pembangkit tenaga. Kalau Anda berminat, kami bisa mengusahakannya untuk Anda),” Pemerintah Korea menawarkan bantuan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik Indonesia.

Saat itu, Gus Dur tidur pulas sekali. Selesai pernyataan itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, PM Korea menoleh ke arah Gus Dur menunggu jawaban. Namun, tidak ada jawaban. Laksamana cepat-cepat membangunkan Gus Dur. “Gus... Gus... bangun! Gus... dia tanya apakah kita interested dengan power plant technology yang dia punya.”

Gus Dur karena baru terbangun dari tidurnya dan belum berkonsentrasi langsung nyeplos, “My Minister ask about your nuclear technology…! (Menteri saya bertanya tentang teknologi nuklir yang Anda miliki),”

Laksamana geli bercampur malu. Anggota rombongan pun tersipu-sipu, tidak berani melihat wajah PM Korea. “Kita semua malu. Merah muka kita di hadapan Perdana Menteri Korea,” tutur Laksamana.

Demikian salah satu cerita yang terungkap dalam buku Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa karya Prof Dr Tjipta Lesmana, MA. Buku yang baru diluncurkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada pertengahan bulan November menguak pola komunikasi politik enam presiden yang pernah memimpin Indonesia, dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Tjipta melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Ia melakukan wawancara secara mendalam dengan 25 orang yang dekat dengan keenam presiden itu.

Sebagian besar informan adalah mantan menteri sehingga mereka sering berkomunikasi dengan Presiden. Dari pengalaman berinteraksi itulah mereka bercerita dan memaparkan apa saja yang diketahuinya tentang komunikasi politik sang presiden dan kesan mereka terhadap kepemimpinan presiden tersebut.

Buku setebal 396 halaman itu mengungkap gaya komunikasi para presiden Indonesia dalam beragam kondisi. Soekarno digambarkan sebagai sosok yang banyak bicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sementara itu, gaya Soeharto berada di ekstrem yang lain, hight context, para pembantunya harus pintar memahami yang tersirat di balik yang tersurat, plus memahami senyumnya yang multitafsir.

Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, tetapi terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memiliki gaya yang sangat terbuka, demokratis, tapi cenderung diktator. Gus Dur sangat impulsif. Ia bisa tertawa terbahak, tetapi bisa juga menggebrak meja sekerasnya di depan komunikannya.

Megawati lain lagi. Meski dipandang cukup demokratis, pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya. Dan, tanpa diragukan lagi, tulis Tjipta, Megawati adalah seorang pendendam.

Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sebagai sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya, sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.

Yang menarik dari buku ini adalah semua analisis ditarik berdasarkan kisah-kisah kecil interaksi sehari-hari antara presiden dan para menterinya. Sebagian kisah itu tak pernah muncul ke publik sebelumnya.


(Bersambung)



Heru Margianto
------------
*Tulisan ini ditayangkan di kompas.com,
Rabu, 17 Desember 2008 | 11:52 WIB

17 December 2008

Maryamah Karpov, Serupa Penyakit Gila Nomer 69

Kawan saya Savic, pemilik toko buku online (khatulistiwa.net) jau-jauh hari sudah berpromosi tentang buku terakhir tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Maryamah Karpov. Dia tahu betul buku ini dinanti-nanti banyak orang. Hanya mereka yang tidak mengikuti serial kisah ini saja yang tidak peduli dengan terbitnya Maryamah Karpov. Pembaca penasaran bagaimana kelanjutan nasib Lintang, Aling, dan Arai.

Setelah sempat kehabisan buku di Gramedia Citraland pada hari pertama diluncurkan, 28 November kemarin, akhirnya saya mendapatkan Maryamah di Gramedia Matraman. Di sana stok serial terakhir ini melimpah. Saya memburunya dengan antusias. Ada gairah yang meletup-letup di hati saya untuk segera mengunyah lembar demi lembar kelanjutan kisah hidup Si Ikal.

Saya butuh waktu tiga hari untuk menuntaskan kisah setebal 504 halaman ini. Padahal, untuk Laskar Pelangi setebal 534 halaman saya melahapnya hanya dalam waktu satu hari. Membaca Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor menerbitkan gairah dan inspirasi di benak saya. Sementara, membaca Maryamah Karpov gairah itu sontak hilang, padam.

Kalau Laskar Pelangi adalah pemantik yang menyulut api maka Maryamah Karpov adalah mobil pemadam kebakaran yang memadamkan kobaran api itu. Belum sampai setengah halaman saya sudah malas melanjutkan. Tapi, toh saya memaksakan diri juga untuk menyelesaikannya, semata-mata demi menggenapkan bacaan saja. Itulah kenapa saya butuh waktu tiga hari.

Maryamah Karpov dibuka dengan kisah Ikal yang menghadapi sidang tesis pada bulan ramadhan di tengah rasa lapar karena waktu puasa yang panjang di Eropa. Ikal lulus dan pulang kampung di Belitong. Maryamah Karpov adalah kumpulan mozaik-mozaik kecil kisah Ikal kembali tinggal di Belitong.

Meski judulnya Maryamah Karpov jangan bayangkan bahwa buku ini bertutur tentang Mak Maryamah yang sosoknya sempat disinggung di buku kedua, Sang Pemimpi. Maryamah Karpov sendiri, kalau saya tidak salah ingat, hanya disebut 2 atau tiga kali. Hanya dijelaskan satu kalimat saja bahwa Mak Maryamah yang penjual kue ini pandai main catur layaknya sang juara dunia Anatoli Karpov. Karena itulah dia dipanggil Maryamah Karpov. That's all.

Lha, lalu apa hubungannya judul buku itu dengan Ikal, Lintang, Arai dan Aling? Maryamah Karpov sesungguhnya adalah representasi dari kultur melayu Belitong yang membingkai kisah Ikal yang sangat klise (baca: tema jadul ala HC Andersen bangetszzzzz) memburu Aling pujaan hatinya. Ingat kisah-kisah dongeng karangan HC Andersen tentang pangeran yang rela bertempur melawan naga demi mendapatkan sang putri? Persis seperti itulah kisah akhir tetralogi ini.

Jadi, dalam masyarakat melayu Belitong ada kebiasaan memberi nama julukan pada setiap orang. Asal muasal julukan itu bisa karena ciri-ciri fisiknya, profesinya, kebiasaanya, atau kejadian tertentu terkait orang itu. Muas, karena kulitnya gelap lalu dipanggil Muas Petang 30. Rustam dijuluki Rustam Simpan Pinjam karena bekerja di Koperasi Meskapai Timah. Sementara Munawir karena ia juru bicara Mesjid Al-Himkah yang selalu mengumumkan berita kematian dipanggil Munawir Berita Buruk. Begitulah, ada banyak tokoh dengan julukannya masing-masing.

Di Belitong, setelah menempuh pendidikan yang sangat tinggi di Eropa sono, yang diimpikannya sejak masa remajanya, yang dicapainya dengan darah dan air mata, yang kisah perjuangannya menginspirasi banyak orang, ia teronggok menjadi lelaki tak berguna yang terus terobsesi dengan seorang gadis Suku Ho Pho bernama Aling. Obsesi orang jatuh cinta itu sebenarnya sih sah-sah saja, namun jika berlebihan malah serupa penyakit gila nomer 69.

Mozaik-mozaik kehidupan Ikal di tengan masyarakat melayu di kampungnya di Belitong sebenarnya dikisahkan kocak dengan gaya khas Andrea. Namun, ketika cerita mulai bertutur tentang obsesi cinta, sosok Ikal tiba-tiba menjadi aneh bagi saya.

Selama 7 bulan ia berkutat membuat perahu. Lintang yang jenius membantunya membuat konstruksi perahu hanya dengan cara memejamkan mata dan menuliskannya di atas kertas tembakau. Ikal dengan heroiknya menyelam ke dasar sungai yang dalam untuk menemukan perahu negeri tiongkok yang terkubur ratusan tahun. Setelah itu ia berlayar mengarungi samudera ganas menembus topan badai sementara Kaum Sawang, nelayan paling berpengalaman pun tidak berani melaut. Tidak hanya itu saja, Ikal pun harus berhadapan dengan kaum bajak laut demi menemukan “Cinderela”-nya yang "hilang" selama belasan tahun.

Alkisah, setelah menempuh topan badai di tengah laut, dan menerabas keganasan kaum bajak laut, Ikal menemukan sosok Aling terbaring sakit di sebuah gubuk reot di pulau terpecil. Aling membalikkan badan dan berbisik, "Ikal...." Hahahahahahahahahaha......Andrea kebanyakan nonton pilm nih.....

Sebagai kisah yang menghibur di waktu senggang bolehlah buku ini dibaca. Anda akan berkenalan dengan kultur masyarakat melayu Belitong dan menikmati kelucuan di sana-sini. Tapi, kalau Anda mengharapkan mendapat inspirasi seperti halnya Laskar Pelangi Anda akan kecewa.




I Got Mail

Minggu lalu, lewat tengah malam dua buah imel masuk ke inbox saya. Salah satu imel isinya begini:

Dear Johanes Heru,

The selection procedure for the Multimedia programme is now finished. We are pleased to inform you that you have been accepted to attend our course on ”Multimedia and online journalism” taking place in Berlin from February 02 to April 03, 2009.

Hahahahaha...seperti orang gila saya tertawa sendiri malam itu. Imel ini memang saya nanti-nantikan dengan hati berdebar. Otak saya perlu diupdate. Sudah terlalu lama otak ini membeku oleh rutinitas. Tak ada pula waktu luang barang sedikit untuk sekadar memuaskan diri dengan aneka buku yang sangat ingin saya baca.

So, guys, next year i will go to Berlin. My wife said, every night she found me sleeping with a smile on my face....:)

06 November 2008

Pastur Jerman yang Luar Biasa

Suatu siang, hampir setahun yang lalu

Mbonk : Selamat siang Romo...

Von Magnis : Siang...

Mbonk : Saya Mbonk, Romo, mantan murid Romo...bla...bla...(intinya minta recomendation letter for scholarship)

Von Magnis : Ok. Tidak soal. Tolong kamu bikin data identitas diri kamu terdiri dari Nama lengkap, tempat tanggal lahir, aktivitas selama di kampus, dan IPK. Juga foto kamu, supaya saya bisa ingat-ingat dirimu. Taruh saja di kotak saya.

Mbonk : Baik Romo, terima kasih banyak

Kotak saya. Ada yang unik dalam cara berkomunikasi antara mahasiswa dan para dosen di kampus saya. Jadi, pada setiap pintu ruang dosen menempelah sebuah kotak terbuka dari kayu. Segala bentuk komunikasi dilakukan melalui kotak itu. Surat, skripsi, daftar nilai, dan aneka tetek bengek urusan keluar masuk di kotak kayu itu.

Komunikasi tradisional itu masih dilestarikan hingga sekarang di zaman internet yang telah meluluhlantakkan batas ruang dan waktu.


Senin

Hari menjelang sore ketika saya kembali menginjakkan kaki di almamater tercinta. Bentuk kampus saya sudah berubah sejak saya tinggal hampir 10 tahun yang lalu. Ruangan-ruangan dosen juga sudah berpindah tempat.

"Ruangan Romo Magnis di mana ya Mbak?" tanya saya pada Mbak Nunuk, pegawai sekretariat.
"Ada perlu apa?"
"Mau menaruh surat. Saya janji menaruh surat ini di kotak Romo Magnis."
"Sini, titip saya aja."

Surat permohonan berpindah tangan. Dalam surat saya sebutkan bahwa saya akan datang ke kampus setiap hari Rabu hingga Jumat untuk mengecek kotak surat Romo. Saya pun bergegas pulang.


Selasa


Saya mendapat informasi Romo Magnis menjadi pembicara di sebuah hotel di Jakarta. Saya pun segera meluncur. Niat hati ingin setor muka dan menanyakan ke Romo apakah surat saya sudah dibacanya.

Hanya terpaut 10 menit, Romo sudah pergi meninggalkan hotel. Saya kecele. Ia memajukan jadwalnya sebagai pembicara dan bergegas pulang setelah itu karena harus menyiapkan diri untuk suatu urusan ke luar negeri.

Saya telepon kampus, khawatir Romo akan pergi dalam waktu yang lama. Saya terdesak tenggat waktu untuk segera menyerahkan seluruh berkas administratif ke pihak kedutaan negara sahabat.

Suara di seberang menginformasikan Romo pergi ke luar negeri sampai tanggal 9 November. Ah, masih aman. Masih ada waktu.


Rabu

Saya agak malas datang ke kampus untuk mengecek kotak surat di pintu Romo. Pikir saya, surat permohonan baru saya sampaikan hari Senin. Pastilah ia sibuk. Apalagi ia ada urusan ke luar negeri. Paling surat rekomendasi baru akan dibuatkan minggu depan.

Tapi toh saya pergi juga ke kampus, hanya untuk menepati janji moral karena saya telanjur mengatakan akan mengecek kotak surat setiap hari Rabu hingga Jumat.

"Romo Magnis ke luar negeri. Paling minggu depan baru jadi suratnya," kata Mas Rumadi, petugas keamanan kampus. Senin kemarin kami sempat ngobrol dan saya ceritakan maksud kedatangan saya ke kampus.

"Iya Mas. Ngecek ajalah, siapa tahu dah jadi," jawab saya.

Saya sempat kesasar naik ke lantai dua. Ternyata ruangan Romo di lantai satu di gedung baru di belakang kampus. Sudah banyak yang berubah di kampus ini. Kampus boleh berubah, ruangan-ruangan boleh berpindah tempat, tapi kotak-kotak kayu masih ada menempel di setiap pintu ruang dosen lengkap dengan klip di pinggirnya. Ruangan Romo Magnis terletak paling ujung di gedung pascasarjana. Entah kenapa lampu di di dalam gedung tidak dinyalakan sehingga koridor gelap.

Saya meraba-raba kotak kayu tanpa berharap menemukan surat untuk saya. Ada dua amplop. Satu amplop berwarna coklat ditujukan untuk Romo Magnis. Satu amplop lagi berwarna putih dengan tulisan tangan sulit terbaca di mukanya. Saya mencari-cari cahaya untuk membaca tulisan tangan itu.

Ajegile! Tulisan tangan itu adalah nama saya. Seketika dada saya berdebar. Bergegas saya keluar gedung mencari cahaya terang.


LETTER OF RECOMMENDATION
TO WHOM IT MAY CONCERN

..........He is a person of human and political interest, open minded and was, active in the anti-Soeharto student movement......


Romo Magnis wrote the letter by himself. Sejumlah orang yang saya mintai rekomendasi meminta saya untuk mengarangkan buat mereka. Tapi Von Magnis tidak. Tanpa telepon, tanpa imel, hanya kotak kayu, dan surat itu kini sudah ada di tangan saya. Pastur Jerman yang luar biasa!

09 October 2008

Bursa Tutup, Realitas Virtual yang Menggegerkan Dunia

”Uang dengan cepat kehilangan maknanya sebagai sistem ukuran bagi produksi dan nilai di dunia nyata. Uang kini semakin tidak bersentuhan dengan realitas.

Hezel Henderson
Paradigms in Progress: Life Beyond Economics
Knowledge System, 1991.




Rabu, 8 Oktober Bursa Efek Indonesia menutup sementara perdagangannya. Katanya, Indeks Harga Saham Gabungan terpelanting sampai 10,38 persen. Aku enggak ngerti babarblas soal ekonomi. Enggak tahu juga apa makna angka 10,38 persen itu.

Kata orang, ini semua imbas dari krisis yang terjadi di Amerika. Di sana ribuan triliun uang telah berubah menjadi semen, bata dan cat. Repotnya, uang-uang itu berasal dari berbagai belahan dunia.

Sejumlah lembaga keuangan di sono yang bertanggunjawab terhadap uang yang dipinjamnya dari berbagai belahan dunia akhirnya bangkrut. Uang telah berubah menjadi batu. Maka, untuk memenuhi kebutuhan uang dicairkanlah investasi di sejumlah negara termasuk Indonesia. Repotnya, investor lokal panik dan ramai-ramai menjual sahamnya. Terjadilah angka 10,38 persen itu.

Cerita penutupan ini makin ramai, karena tidak hanya terjadi di Indonesia. Lantai bursa sejumlah negara lain juga menutup sementara perdagangannya. Itu semua gara-gara kredit macet perumahan di Amerika. Begitu kata orang-orang. Aku ya sok manggut-manggut saja seolah-olah mengerti.

Aku tidak takjub dengan peristiwa yang disebut sebagai sejarah bursa saham di Indonesia ini, karena aku tidak mengerti. Tapi, aku sangat takjub dengan jejaring sistem keuangan dunia. Dunia manusia membangun jejaringnya sendiri menyerupai tubuh dan kosmos. Tubuh itu jika si jempol kaki tertusuk duri, kepala ikut pening. Demikian juga kosmos. Kerusakan pada satu bagian merusak pula secara sistemik bagian lainnya. Tebanglah seluruh hutan di Jawa Barat, maka Jakarta akan terbenam oleh banjir.

Jejaring ekonomi ini pastilah bermula dari jejaring sederhan perdagangan antar pulau dengan sampan di zaman bahaeula dulu. Terkenang aku akan Columbus yang membuktikan bahwa dunia ini terukur. Terbayang pula ribuan perahu yang mengarungi samudera sesudahnya demi cita-cita kolonialisme. Perahu-perahu ini kemudian menghubungkan bagian demi bagian planet ini dalam jejaring perdagangan.

Dulu semuanya real. Pedagang cengkeh langsung mendapatkan uang dari pembelinya. Begitu pula, setiap pembeli pun harus membawa segepok uang kalau ingin belanja dalam jumlah banyak.

Dunia yang real adalah masa lalu.Zaman berubah demikian luar biasa membawa peradaban pada dunia virtual. Yang bermain hanya simbol. Pedagang dan pembeli hampir tidak pernah melihat uang yang menjadi alat tukar perdagangan ketika melakukan transaksi.

Untuk membeli sebungkus rokok seharga Rp 8 ribu Anda hanya perlu menggesek sebuah kartu dan memasukkan sejumlah nomor rahasia pada sebuah alat. Nilai uang Anda hanya deretan angka yang dapat Anda lihat melalui telepon seluler Anda dan Anda tidak perlu menggenggam deretan angka uang itu dalam wujudnya yang baheula di zaman Colombus.

Inilah dunia virtual. Virtual itu semu bagaikan fatamorgana. Tapi, ia juga nyata eksistensial. Dalam wujud baru realitas virtual ini lalu lintas uang pun melebur dalam cara-cara yang virtual pula melalui internet dan komunikasi satelit. Bayangkan, lalu lintas uang adalah lalu lintas angka-angka yang terjadi melalui serat optik dan gelombang-gelombang fisika yang mengapung di udara. Dan itu semua tidak kasatmata. Hebatnya lagi, semua itu bisa dikontrol dari kursi Anda di belakang meja tanpa perlu Anda pergi ke mana-mana.

Dalam era virtual ini, menggelembungkan uang dengan cara membeli anak sapi dan menunggunya besar untuk kemudian dijual adalah cara kuno. Sistem ekonomi virtual memungkinkan uang dikembangkan dengan cara spekulasi, permainan mata uang, permainan perbedaan tingkat suku bunga dan betuk-bentuk lain perdagangan mata uang. Semuanya dimungkinkan karena lalu lintas jaman virtual berlangsung begitu cepat lebih cepat dari kedipan mata. Dan, sekali lagi, Anda tidak pernah melihat uang. Anda hanya melihat simbol.

Dan, simbol-simbol yang hilir mudik di lantai bursa sekarang sedang menggegerkan dunia.

04 October 2008

Eyang Is, Pak Tjip dan Mudik

Suatu hari Eyang Is, (neneknya isteriku), berkunjung ke rumah orang tuaku. Kebetulan Fajar, sepupuku, juga sedang main ke rumah. Ia membawa pacarnya, Intan. Saat ngobrol-ngobrol, Fajar baru ngeh kalau Eyang Is tinggal di Semarang. Dia pun langsung nyeletuk sambil menunjuk Intan.

"Ini juga orang Semarang, Yang."
"Semarangnya mana?" tanya Eyang.
"Erlangga, Yang."
"Lho, kamu anaknya siapa?" Eyang terlihat surprise. Matanya membelalak.
"Saya cucunya, Eyang Tjip."
"Ya ampuuunnn...kamu cucunya Pak Tjip toh!" Eyang geleng-geleng kepala.
"Lho, Eyang kenal Eyang Tjip?" Intan terlihat heran.
"Ya kenal. Rumah Eyang dulu di Erlangga, tapi sekarang sudah dijual. Eyang tinggal lama sekali di sana. Salam ya buat Pak Tjip. Bilang dari Eyang Ismail."

Mas Gatot, suami kakak iparku ikut nimbrung.

"Aku dulu suka cari ikan di selokan depan rumah Eyangmu. Eyang putrimu galak kan?"
"Iya," Intan cengar-cengir.

Dunia sempit sekali. Mas Gatot juga warga Erlangga. Aku terkenang peristiwa kecil ini saat baca tulisan Pak Tjip di Kompas. Tulisan bagus tentang mudik.

___________________


Indonesia Mudik

Satjipto Rahardjo

Mudik adalah tema yang tepat untuk menggambarkan hiruk pikuk Idul Fitri saat ini. Orang berebut tiket bus, kereta api, dan pesawat untuk kembali ke kampung halaman dan dilakukan dengan ”mati-matian”.

Magnet kampung halaman amat kuat sehingga sering mengabaikan akal sehat. Mangan ora mangan, anggere kumpul (biar tidak makan yang penting kumpul ngariyung).

Mudik mencari fitrah

Kampung halaman bagai magnet besar karena tidak sekadar kembali ke rumah, tetapi ke suasana mistis yang mengelilingi rumah atau kampung halaman. Di situ ada pemuasan kerinduan kepada masa lalu yang penuh tawa dan polos, sebuah daya tarik yang tak dapat dijelaskan dengan akal. Kampung menjadi simbol otentisitas kehidupan. Mudik adalah simbol pergerakan ”dari- masyarakat-ke-komunitas”. Jakarta itu masyarakat, tetapi Kebumen, Sragen, Tuban, Grobogan, dan Trenggalek adalah komunitas yang dirasakan lebih otentik, lebih kental daripada masyarakat.

Mudik Lebaran tahun ini sebaiknya menjadi inspirasi bagi bangsa tentang perlunya menemukan otentisitas kehidupannya. Banyak tanggal pada tahun 2008 berbicara tentang mudik atau kembali ke kampung. Kita mudik ke tahun 1908 saat organisasi Boedi Oetomo (BO) didirikan. Mudik ke tahun 1928 saat ”Sumpah Pemuda” (SP) dikumadangkan. Kembali ke BO dan SP untuk menemukan, mencium, dan menghirup kembali aroma berbangsa yang otentik dan segar. Kita ingin mudik karena banyak hal otentik yang sudah hilang dari kehidupan berbangsa. Kita ingin kembali ke ”sangkan paraning (asal muasal) Indonesia”.

Semua hari itu memalingkan hati ke belakang. Jika para Tofflerian (dari futurolog Alvin Toffler) berbicara tentang ”guncangan masa depan”, kita ingin mundur ke belakang karena kekuatan ”magnet masa lalu” itu.

Bangsa kita memiliki banyak kearifan dan filsafat lokal untuk mengekspresikan suasana mistis, seperti sangkan paraning dumadi (dari mana dan ke mana kehidupan manusia). Almarhum Prof Soemantri Hardjoprakoso, ahli ”psikiatri Jawa” dan seorang Jungian (dari Carl Gustav Jung), menggunakan kata oergreest, Suksma Kawekas, jiwa dan zat yang menjadi asal segalanya.

Mudik itu mencari fitrah, keaslian, sesudah kesasar dalam hidup. Dalam sindrom mudik, berdesak-desakan konsepsi yang berputar di sekitar otensitas atau keaslian itu. Saat manusia terlempar ke dunia dengan centang-perenangnya, mereka juga kehilangan kompas kehidupan. Maka, orang memburu kompas yang sudah hilang. Jung mengatakan, sesudah muncul ”kesadaran individual” dengan berbagai akibat yang menderitakan, orang merindukan ”kesadaran kolektif”, ke suasana damai.

Fitrah manusia

Indonesia menghadapi aneka krisis. Kita bingung, mau ke mana dan apa yang salah? Pada saat seperti itu, fenomena mudik menjadi sumber inspirasi.

Puasa sebulan menjadi momentum untuk tafakur atau berkontemplasi. Ujung tafakur membawa kita kembali kepada sangkan paraning dumadi/urip. Diterjemahkan secara lain, kita ingin hidup fitri, jujur, dan beramanah. Bagi manusia yang hidup dalam ”comberan dunia”, sangkan paran itu menjadi suatu oase penuh keindahan, kejujuran, dan kesalehan di tengah ”zaman edan” yang penuh kepalsuan dan keserakahan. Filsafat urip mung mampir ngombe (hidup hanya singgah untuk minum) sudah dirobek menjadi hidup untuk makan minum sekenyangnya dan menimbun kekayaan sebanyak mungkin dengan segala cara.

Kontemplasi yang jujur membawa kita kepada pengakuan, banyak orang Indonesia tidak hidup dan bekerja secara otentik dan beramanah. Mengapa harus korupsi jika hidup ini hanya sebentar? Mengapa harus menjadi kepala daerah jika otentisitas kita adalah ahli dalam menjahit atau bercocok tanam? Korupsi mengabaikan kejujuran dan keamanahan menjalankan pekerjaan. Menjadi presiden, menteri, gubernur, dan kepala daerah dianggap lebih gemerlap daripada petani, guru, atau penjaga pintu kereta api. Akibatnya orang melecehkan pekerjaan guru, petani, penyapu jalan, dan lainnya. Pekerjaan asal dijalankan. Orang meninggalkan fitrahnya sebagai tukang jahit, petani, dan guru. Pekerjaan menjadi palsu.

Senyampang dalam suasana Idul Fitri, kita harus kembali kepada fitrah, otentisitas masing- masing. Kita bertindak otentik dan beramanah dalam pekerjaan masing-masing. Pekerjaan sekecil apa pun dijalankan dengan penuh martabat (dignity). Mari menjadikan Indonesia mudik dan kembali menjadi bangsa yang penuh otentisitas.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

01 October 2008

Kenapa Mbonk?

Banyak orang bertanya kenapa Mbonk? Panjang ceritanya. Aku enggan. Tapi, banyak orang tidak percaya kalau ceritanya panjang. Mereka terus memaksaku untuk bercerita. Dan, selalu terjadi, belum selesai ceritaku mereka sudah tertidur dengan iler di mulutnya.

Maka, daripada aku terus bercerita dan terus ditinggal tidur, baiklah aku tuliskan di sini. Sehingga, kalau ada lagi yang bertanya, aku tinggal bilang, “Buka saja bloggku.” Kalau nanti mereka tertidur di depan komputer itu sudah bukan lagi urusanku.

Baiklah, mari kita mulai cerita ini dengan mesin pencari paling top di kolong langit: google. Ketiklah kata "Mbonk" di google. Anda akan mendapatkan dua laman di urutan pertama dan kedua adalah blog ini dan sebuah blog di multiply (abaikan laman di luar dua itu). Masing-masing beralamat “Mbonk”. Dua blog itu milik orang yang berbeda. Blog ini milik Johanes Heru “Mbonk” Margianto, sementara pemilik multiply adalah Fransiskus Xaverius Sigit “Mbonk” Eko Widyananto.

Nah, apakah ada hubungannya antara "Mbonk" pemilik blog ini dan "Mbonk" multiply? Ada. Bahkan sangat erat.

Begini ceritanya…..

"Mbonk Sigit" menghabiskan tiga tahun pendidikan SMA-nya di sebuah sekolah berasrama di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Di asrama itu ada tradisi mengganti nama asli dengan nama julukan. Setiap orang mendapat nama julukan. Entah kenapa, komunitas tidak rela kita mengenakan nama panggilan indah yang diberikan orangtua.

Biasanya nama julukan diberikan karena bentuk tubuh atau perilaku orang itu. Ada teman yang mendapat julukan "Capung" karena kacamatanya tebal sekali sehingga matanya mirip capung. Ada yang dipanggil "Wawut" (wajah semrawut) karena wajahnya memang betul-betul kacau balau. Ada lagi yang mendapat anugerah nama "Cimot" karena tampang dan gerak-geriknya dianggap mirip dengan Cimot adiknya Cuplis. Nah, Sigit pun mendapat kehormatan menyandang nama "Mbonk" di asrama itu. Sigit sudah menjelaskan di blognya tentang kenapa dia mendapat "gelar" "Mbonk"

Tahun 1991 Sigit lulus dan hengkang dari asrama itu. Sementara, jalan hidup menuntunku masuk ke sana. Belum sebulan menjadi warga asrama, suatu siang dua orang kakak kelas menghampiriku. Wajahnya serius. Mereka mengamati anatomi tubuhku seperti mengamati jaringan klorofil di bawah miskroskop. Tak lama wajah mereka berseri-seri. Mereka seperti mendapatkan apa yang mereka cari. Tampangku yang lugu dengan kacamata minus bertengger di atas hidung divonis oleh mereka mirip dengan tampang "Mbonk Sigit".

Dua orang itu lantas berseru-seru keliling asrama layaknya Archimedes menemukan rumus menghitung volume air. "Reinkarnasi! Reinkarnasi! Reinkarnasi!" Asrama geger. Semua penghuni asrama menelanjangi diriku dengan tatapan matanya. Vonis itupun lantas diamini. Aku cuma bisa bingung enggak mengerti. Siapa itu "Mbonk" yang julukannya aku wariskan.

Aku sendiri tidak kenal dengan "Mbonk Sigit" sebelumnya. Karena ketika aku masuk dia lulus. Jadi aku tidak bisa mengklarifikasi apakah vonis itu benar atau tidak. Tapi, kalaupun Anda tidak setuju dengan pandangan komunitas Anda tidak mungkin sanggup menolaknya. (Beberapa tahun kemudian aku akhirnya bertemu juga dengan “Mbonk Sigit”. Kalau boleh aku membela diri, sungguh vonis itu jauh dari benar, sejauh barat dari timur.)

Begitulah kemudian, semua penghuni asrama memanggilku “Mbonk”. Janggal dan asing mulanya kudengar orang memanggilku dengan nama itu. Namun, lambat laun aku mulai terbiasa. Nama “Heru” perlahan namun pasti lenyap dan mulai dilupakan teman-teman. Kalau orangtuaku berkunjung ke asrama untuk menjenguk anaknya tercinta dan mereka bilang ingin bertemu “Heru” pasti akan dijawab,"Maaf Pak, Bu, di sini enggak ada yang namanya Heru." Mereka tidak sedang mengerjai orangtuaku, tapi memang mereka sudah lupa dengan identitas itu.

Lulus SMA aku berniat menanggalkan nama panggilan ini. Aku berjuang keras jungkir balik untuk menghidupkan kembali nama lahirku. Tapi, nasib tidak berpihak. Selepas SMA aku satu kampus dengan sejumlah teman asrama yang sudah telanjur mengenalku sebagai "Mbonk". Setengah mati aku berusaha memperkenalkan diriku kepada teman-teman baru sebagai “Heru”. Tapi, teman-teman asrama satu kampus selalu mengatakan pada semua orang, "Bohong, namanya bukan Heru, Mbonk!." Nah lu. Pusing kan...

Cerita ini belum berakhir. Kutukan belum selesai. Bahkan ketika masuk kerja pun aku tetap tidak diizinkan oleh "Sang Pemilik Hidup" untuk mengenakan nama “Heru”, identitas yang diberikan dengan penuh cinta oleh kedua orangtuaku. Jadi, waktu hari pertama aku masuk kerja dan memperkenalkan diri sebagai “Heru”, takdir kehidupan langsung menolaknya.

"Wah, ada dua Heru di kantor ini. Ya sudah, kamu Heru-B ya, yang satu lagi Heru-A karena dia karyawan lama di sini," kata Mas Ninok bossku waktu itu.

Alamakjan! Gila apa Heru-B. Kayak spesies yang baru ditemukan ajah.
"Ya sudah Mas, panggil saja saya Mbonk," kataku tanpa gairah.

Untuk e-mail kantor pun aku tidak bisa pake identitas “Heru” karena sudah dipakai si Heru-A. Terus identitas e-mail apa donk? Herumargianto? Halah panjang amat. Johanesheru? Panjang juga dodol! Johanesherumargianto? Mati ajah luh.

"mbonk@kompas.com," kataku lirih pada Murfi si tukang IT sambil menahan pedih di hati.

Cilakanya, aku menemukan jodohku di kantor ini. Wanita yang menjadi isteriku itu lantas memperkenalkan diriku sebagai "Mbonk" kepada keluarga besarnya. Lengkaplah sudah duniaku.

Hei….belum tidur kan….

Akhirnya, aku menerima “Mbonk” sebagai takdirku. Setelah ditelusuri ternyata tidak melenceng dari sejarah hidupku. “Mbonk Sigit” dalam paparanya “Kenapa Mesti Mbonk?” memberi pencerahan. Menurutnya, dalam bahasa Jawa “Mbonk” itu artinya jalan. Aku boleh berlega hati karena makna nama asliku memang demikian.

Orangtuaku tidak sembarang memberi nama anaknya. Maknanya historis. Empiris. Aku lahir pagi-pagi buta. Hari masih gelap. Belum sampai rumah sakit aku sudah mbrojol di jalan. Bapakku panik. Melolonglah ia sekencang-kencangnya, ”Tolooooonnnngggg….. tolooooongggg….”

Orang-orang sekampung bangun. Gempar. Mereka pikir ada maling. Mereka keluar rumah membawa parang, pacul, linggis, dan aneka senjata tajam. Pagi itu kampung dilanda huru-hara. Anak lelaki lahir di jalan dikira ada maling. Kenangan akan hari itu lantas dibadikan menjadi namaku.

Karena orangtuaku Jawa disematkanlah “Margi” pada namaku yang artinya “Jalan”. Karena aku anak lelaki ditambahkanlah “Anto”. Huru-hara hari itu lantas dikekalkan sebagai “Heru”. Karena aku lahir bertepatan dengan perayaan Santo Johanes Maria Vianney, maka jadilah nama orang suci dari Desa Ars di Paris sono sebagai nama baptisku.

Jadilah namaku Johanes Heru Margianto. Artinya, anak lelaki yang lahir di jalan pada pagi-pagi buta dan membuat hura-hara. Ia dibaptis dengan nama Johanes Maria Vianney. Harapannya, semoga teladan kesederhanaan pastur suci dari Ars itu selalu menerangi jalan anak lelaki yang lahir di hari gelap ini.

Hei…hei….bangun…hapus dulu iler di mulutmu itu…Kan sudah kubilang cerita ini panjang….

27 September 2008

Klarifikasi Staff Bu Menteri

Menanggapi berita yang dimuat di Kompas.com tanggal 26 September 2008 oleh Saudara Heru Margianto berjudul "Sampah Diatas Kantor Bu Menteri" dengan ini kami sampaikan klarifikasi sebagai berikut:

1. Barang-barang tersebut yang berupa : kursi, lemari besi dan aneka perkakas kantor adalah barang-barang inventaris bekas pakai yang masih dalam proses penghapusan (lelang).

2. kondisi kantor Pemberdayaan Perempuan RI sangat sempit bahkan karena sempitnya harus berlokasi di dua tempat yaitu di Jl. Merdeka Barat No. 15 dan Jl. Abdul Muis no 7 Jakarta Pusat.

3. Karena sempit dan keterbatasan tempat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tidak memiliki halaman dan gudang penyimpanan barang-barang tersebut di atas.

4. Kami mohon maaf karena belum menata barang-barang tersebut dengan rapi sehingga terkesan onggokan sampah yang mengganggu pemandangan.

5. Terima Kasih atas masukan serta sarannya dan kami akan segera menata barang tersebut dengan rapi.

Humas KPP
(humas_kpp@yahoo.ci.id)

25 September 2008

Sampah di Atap Kantor Bu Menteri


Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan terletak di belakang Kantor Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Gedungnya agak tersembunyi, tidak terlihat dari jalan. Namun, yang tersembunyi ternyata tidak hanya gedungnya, tapi juga tumpukan sampah perkakas kantor di atap gedung itu.

Dari Gedung Sapta Pesona, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang bangunannya lebih tinggi dan terletak persis di sebelah gedung tersembunyi itu tumpukan sampah terlihat jelas. "Ya, ampun itu sampah. Apa maksudnya sih ditumpuk di situ, mengganggu pemandangan aja," celetuk Avelia Kartika, salah seorang tamu di Gedung Sapta Peona yang melongok ke atap gedung itu dari lantai 9, Kamis (25/9).

Di atap gedung yang dikomandoi putri proklamator Bung Hatta, Meutia Hatta, teronggok puluhan kursi, lemari besi, dan aneka perkakas kantor. Entah sejak kapan barang-barang itu menjadi sampah di atap gedung. Daripada menjadi sampah tak berguna, rasanya onggokan barang-barang itu masih laku dijual ke pedagang barang bekas lalu duitnya disumbang ke lembaga zakat. Meski mungkin hasilnya tak seberapa, tapi lebih berarti daripada menjadi onggokan sampah.

Blogged with the Flock Browser

23 September 2008

Mengenang Munir (5)


Suatu siang. Percakapan telepon.
+ Halo Pak, apakabar?
- Siapa ini?
+ Si Anu Pak
- O, ya..hai apakabar? Lama kita enggak ketemu ya..
+ Baik, Pak. Bapak sendiri gimana, sehat..
- Alhamdulilah, sehat. Gimana, gimana, apa yang bisa dibantu.
+ Itu Pak, mau tanya soal Mr M
- Hmm..begini. Kita enggak tahu. Ini bukan kerjaan kita. Kalau dia yang buat ya mungkin kerjaan dia sendiri. Tapi, kita benar-benar enggak tahu.
+ Mr M bisa diambil enggak, Pak?
- Ambil aja kalau memang ada buktinya.
+ Ah, nanti teman-teman Bapak melindungi kayak yang sudah-sudah.
- Enggaklah. Kita enggak akan ikut campur. Ambil aja. Kita enggak punya urusan sama dia.
+ Okelah Pak kalau itu
- Oke. Gitu ya...
+ Oke Pak, selamat siang...
- Siang...

Suatu siang yang lain, percakapan yang lain, di tempat yang juga lain.

+ Siang Pak
- Siang
+ Pak, mau tanya soal perkembangan kasus Munir.
- Penyelidikan masih terus berjalan. Tim kita masih bekerja.
+ Soal Mr M, Pak. Namanya kan disebut-sebut. Sejauh mana penyelidikannya?
- Tim kita masih bekerja
+ Apalagi yang dicari, Pak? Bukankah bukti-bukti keterkaitan sudah jelas?
(Tiba-tiba lelaki itu mendengus marah)
- Kamu tahu tidak, siapa Mr M? Kamu bisa jamin tidak keselamatan keluarga saya?
+ ???

EDAN!!!!! Orang nomor satu di bagian reserse mabes polri saja takut!!! Tiga bintang di pundaknya tidak bisa menjamin keselamatan keluarganya....Untunglah orang itu segera lengser, dan tebukti dia bukan penegak hukumyang baik. He was jail!!!!

22 September 2008

Mengenang Munir (4)


Mei 2003. Aceh ditetapkan sebagai kawasan darurat militer. Ribuan tentara Indonesia diterjunkan ke sana untuk menumpas kelompok separatis bersenjata GAM.

Siang di Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, matahari memanggang jalan-jalan. Panas sekali. Keringat menetes di mana-mana. Bukan teriknya srengenge saja yang memeras air badan ini, desing peluru dan dentam meriam juga membuat hari-hari di kota itu terasa makin membara. Keringat yang jatuh bukan cuma keringat gerah, tapi juga keringat cemas dan was-was. Keringat yang terakhir tidak keluar dari pori-pori, tapi dari bola mata setiap orang yang mendambakan kedamaian di bumi serambi mekah.

Lhokseumawe jadi kota perang. Jalan-jalan dipenuhi tentara yang wira-wiri menyandang bedil. Mirip kisah di film-film . Di luar kota jalan-jalan lengang. Kalaupun ada kendaraan mereka melintas beriringan. Makin hari makin susah saja mencari angkutan. Beberapa kali angkutan-angkutan itu terjebak di tengah kontak senjata antara pasukan TNI dan GAM. Siapa pula yang ingin berada dalam situasi seperti ini. Peluru tidak memiliki mata. Adakah orang memilih berlibur ke tempat perang? Ada!

Suatu siang di Hotel Vina Vira, Lhokseumawe, lelaki berkacamata itu duduk sendiri di sebuah sofa butut di depan kamarnya di lantai dua. Tangan kanannya dibalut perban dan mengenakan kain penyangga yang tersambung di lehernya. Di dada lelaki itu tergantung ID Card yang entah apa informasinya. Lelaki itu tidak sendiri. Seingatku di kamar itu juga ada satu lelaki lagi. Tapi, yang terakhir ini jarang menampakkan batang hidungnya.

Kami hanya berselisih satu kamar. Aku bersama dua orang teman di kamar sudut selatan sementara dua lelaki itu di kamar sudut utara. Di tengah adalah kamar sopir-sopir yang mobilnya disewa para jurnalis melakukan liputan.

Dua lelaki di kamar sudut itu seketika menarik perhatian. Jelas saja, sebab semua kamar di hotel ini dihuni oleh wartawan yang meliput operasi militer kecuali satu kamar di sudut utara di lantai dua. Terjadi bisik-bisik di antara kami, menerka-nerka siapa mereka. Tapi toh akhirnya kami abaikan juga kehadiran dua orang "asing" ini. Kami lantas menyimpulkan begitu saja bahwa mereka adalah perpanjangan tangan tentara yang ditempatkan di hotel ini untuk memantau aktivitas pekerja pers. Wajar saja. Situasi darurat gitu lho.

Siang itu dua orang temanku berinisiatif menghampiri si lelaki berkacamata dan menyapanya. Aku tidak berminat sama sekali ikut serta dan memilih masuk kamar untuk menyelesaikan beberapa tulisan yang harus dikirim siang itu.

Tak lama dua teman kembali.
"Orang yang aneh. Masak liburan ke tempat perang," gerutu seorang teman.
"Kenapa?" tanyaku.
"itu, orang itu, ngakunya ke sini liburan," sambar temanku yang satu lagi.
"Emangya siapa sih tuh orang?" rasa penasaranku terusik.
"Ngakunya sih pilot Garuda. Tadi dia nunjukin ID-nya. Namanya.....," temanku menyebut satu nama yang terasa asing di telinga. Aku bahkan tak mampu mengingatnya. Selintas peristiwa ini lenyap dalam ingatan.

Di Jakarta sekian bulan kemudian Munir diracun di atas pesawat. Sebuah nama dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Nama yang tidak lazim di telingaku. Sosok pemilik nama itu tampil di sejumlah TV. Ia diwawancarai karena namanya disebut-sebut. Aku memeras dahi, rasanya pernah melihat orang itu, tapi tak mampu mengingatnya, sampai akhirnya telepon selularku berdering.

"Masih ingat kan sama orang itu?" kata suara di seberang.
"Enggak ingat. Tapi, aku merasa tidak asing," jawabku jujur.
"Vina Vira, Lhokseumawe," suara di seberang mengingatkan.

Aha! Kepalaku terang benderang.

14 September 2008

Mengenang Munir (3)

Kekhawatiran adanya sebab yang tidak wajar dalam kematian Munir menjadi kenyataan. Netherlands Forensic Institute (NFI) yang melakukan otopsi terhadap jenazah aktivis HAM itu mendapatkan zat arsenikum dalam dosis yang mematikan dalam tubuhnya.

Arsenikum lazim terdapat dalam tubuh manusia. Dalam kadar yang normal zat ini tidak berbahaya. Seberapa mematikan dosis arsen yag ditemukan dalam tubuh Munir?

Dalam darah:
Dalam darah terdapat zat arsen. Batas normal kandungannya kurang dari 0,1 mg/liter atau 0,1 mg/kg. Batas kandungan maksimal adalah 0,27 mg. Dalam darah Munir ditemukan konsentrasi arsen yang sangat tinggi yaitu 3,1 mg/liter.

Pada urin:
Konsentrasi arsen pada urin kurang dari 0,3 mg/liter. Batas ambang maksimalnya adalah 2,5 mg/liter. Pada urine Munir didapati konsentrasi kandungan arsen 4,8 mg/liter.

Lambung:
Kandungan arsen dalam tubuh manusia paling banyak terdapat di lambung. Batas normalnya 82,8 mg/liter. Seafood mengandung konsentrasi arsen yang tinggi. Batas maksimal arsen dalam lambung manusia adalah 83 mg/liter. 83 mg arsen setara dengan mengonsumsi 4 kg udang. Dalam lambung Munir terdapat 460 mg/liter. Woooow....

Siapa memasukkan arsen dalam tubuh Munir? Kapan racun itu masuk dan dengan cara bagaimana?

13 September 2008

Mengenang Munir (2)

Bandara Soekarno Hatta, Senin, 6 September 2004 malam. Seperti biasa Munir telihat sehat dan ceria. Ia tampak bercengkerama akrab dengan rekan-rekannya dari Kontras dan Imparsial, dua NGO yang didirikannya. Tampak pula Suciwati, isterinya. Mereka mengantar Si Cak yang ingin melanjutkan studi ke Belanda.

Malam yang hangat. Selalu saja ada hal-hal lucu yang membuat tawa di malam itu. Keakraban itu dihentikan oleh waktu. Jam keberangkatan semakin dekat. Munir harus boarding. Lambaian tangan rekan-rekan dan pelukan Suciwati mengiringinya masuk ruang tunggu. Lambaian tangan terakhir. Pelukan terakhir. Malam terakhir.

Waktu keberangkatan makin dekat. Satu per satu para penumpang menyusuri koridor masuk ke pesawat. Di koridor itu seseorang menyapanya dan memperkenalkan diri sebagai Pollycarpus Budihari Priyanto, salah seorang crew Garuda yang tengah menjadi extra crew/aviation security. Dengan ramahnya orang itu menawarkan kursinya di kelas bisnis pada Munir. Ah, Munir tak enak. Ia membeli tiket kelas ekonomi masakan duduk di kelas bisnis. Orang itu meyakinkan tak apa. Munir menyerah. Jadilah ia duduk di kursi 3 K kelas bisnis dalam penerbangan menuju Singapura.

Pukul 21.55. Pesawat Garuda yang ditumpangi Munir meninggalkan Soekarno-Hatta. Di atas pesawat ia memilih mie goreng, juice jeruk dan irisan buah segar sebagai santapannya.

Pukul 00.40 pesawat mendarat di Bandara Changi, Singapura, untuk transit. Pollycarpus, lelaki ramah yang menawarkan kursinya di kelas Bisnis mengajaknya singgah di Coffe Bean. Tidak lama memang waktu transit, hanya satu jam sepuluh menit. Cukuplah untuk ngopi-ngopi. Di Bandara ini pula Munir berkenalan dengan seorang dokter, dr Tarmizi, yang satu penerbangan menuju Amsterdam.

Pukul 01.50 pesawat Garuda meninggalkan Singapura. Munir kembali duduk di kursinya semula nomor 40G di kelas ekonomi. Dijadwalkan, pesawat tiba di Amsterdam 7 September 2004 pukul 08.10 waktu Amsterdam.

Sekitar 40 menit setelah lepas landas Munir merasa ada yang tak beres di perutnya. Ia bolak balik ke toilet. Sekitar 2 jam setelah lepas landas ia mendatangi pramugara Bondan Hernawa dan menyampaikan bahwa dirinya sakit dan ingin dipertemukan dengan dr Tarmizi yang duduk di kelas bisnis di kursi 1 J.

Kepada dr Tarmizi Munir menyampaikan bahwa ia telah muntah dan buang air besar sebanyak 6 kali. Selanjutnya, untuk memudahkan penanganan Munir ditempatkan di kursi nomor 4 bisnis agar dekat dengan dr Tarmizi. Dokter memberinya obat diare, susu serta air garam, tapi Munir terus muntah dan buang air berkali-kali. Dokter kemudian memberinya sebuah suntikan. Munir pun tenang. Ia terlihat tertidur.

Selasa, 7 September 2004, sekitar pukul 04.05 UTC, di atas Budapest, 2 jam sebelum mendara di Schippol, Amsterdam, Munir didapati sudah tidak bernyawa.

11 September 2008

Mengenang Munir (1)


Munir Said Thalib. Meski sering berjumpa dalam sejumlah kesempatan, saya tidak memiliki kedekatan khusus dengannya. Kalaupun ketemu di jalan paling sekadar basa-basi, "Halo Cak, mau kemana?" Dan, Munir akan membalas dengan basa-basi pula, "Mau ke sana," sambil berpikir keras siapa orang ini...hehehe...

Meski jauh dari dekat, tapi toh saya mengenang kata-katanya yang begitu bernas dalam setiap pernyataannya tentang militer dan aneka peristiwa kekerasan yang mengancam hak asasi manusia. Jumpa pers tanpa Cak seperti sayur tanpa bumbu. Tanpa Cak, kepala ini dituntut berpikir keras mencari lead berita. Adanya Cak, kepala ini dituntut lebih keras lagi memilih lead karena apa yang yang dimuntabkan mulutnya menawarkan sejumlah pilihan lead.

Selasa, 7 September 2004, telepon seluler saya berdering, membangunkan tidur saya di siang hari setelah semalaman piket jaga kantor. Kepala saya terasa berat. Mata sulit terbuka. Telepon siang hari itu betul-betul cilaka. Suara di seberang adalah suara seorang kawan yang mengabarkan berita duka. "Di mana lo? Cak Munir meninggal. Anak-anak lagi kumpul di Kontras nih."

Munir meninggal di atas pesawat Garuda dalam penerbangan menuju Amsterdam. Rohnya melayang-layang di atas Budapest. Raganya kelu diracun Arsenik. Munir dibunuh.

Siapa membunuh Munir?

07 September 2008

Ngeblog Lagi Blogger Lagi

Adalah Kodja yang pertama kali memperkenalkan blog padaku di sekitar semester dua tahun 2003. Waktu itu blog belum sepopuler sekarang. Tapi Enda Nasution udah sangat ngetop. Segala hal tentang blog nyonteknya ke goblog media.

Untuk urusan desain blog pun masih amat njelimet, berkutat dengan rumus HTML. Untuk memasukkan sebuah gambar ke dalam blog rumusnya panjang. Belum ada flickr, picasa atau photobucket. Gambar ditaruh di hostingan gratis trus harus 'disamarkan' extensionnya jadi txt dan diutakatik hiperlinknya di html langsung.

Tapi, justru segala keribetan ini yang membuatku addict ngeblog. Sayangnya, bukan keribetan mengisi konten, tapi keribetan mengutak-atik desain dengan html. Lihat saja arsip yang terhitung selama lima tahun, miskin bukan...hehehe....blog ini rasanya lebih banyak berganti desain ketimbang update kontennya...:p

Begitulah kemudian ketika kenjlimetan html mulai bisa terpahami tidak ada lagi yang bisa membuatku bertahan bercengkerama dengan blog. Rumah maya ini terasa membosankan dan lambat laun tak terurus. Aktivitas blogging stop selama sekian tahun. Jaringan pertemanan maya yang kurintis dulu pun buyar. Daftar blog teman-teman yang dulu berderet-deret ikut lenyap bersamaan dengan bergantinya format blogger.

Meski tidak lagi ngeblog bukan berarti aku sama sekali tidak pernah bersinggungan dengan dunia ini. Dalam beberapa kesempatan malah jadi pembicara tentang blog. Dalam beberapa kesempatan pula aku masih bersinggungan dengan komunitas blogger. Sementara sejumlah teman berulangkali mendorong agar aku aktif ngeblog lagi.

Setelah sekian tahun hidup segan mati tak mau akhirnya aku terprovokasi juga pengen ngeblog lagi. Rasanya kali ini bener-bener ingin menulis [juga pengen ngutak-ngatik desain karena caranya dah beda :p].

Aku sempat memutuskan pindah rumah ke Wordpress. Tapi, setelah utakatik di Wordpress akhirnya kuputuskan untuk kembali 'pulang' ke Blogger. Alasan utama karena Blogger menyediakan fitur posting by mobile phone, sementara worpress tidak membuka fitur itu untuk blog gratisannya.

Ya, begitulah semua ceritanya. Akhirnya ngeblog lagi dan blogger juga ujung-ujungnya.

06 September 2008

Trip to Babel (10)

Epilog: Babel Tidak Cuma Timah!

Hari sudah malam ketika pesawat Sriwijaya Air yang membawa kami dari Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka, mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Tidak terasa tiga hari saya meninggalkan ibukota. Waktu berlari begitu cepat. Mendengar kata Bangka Belitung (Babel) di kepala saya tidak lagi terbayang timah.


Puas! Saya merasa menemukan sesuatu yang baru dalam perjalanan ini. Saya yakin sepuluh tahun ke depan jika saya kembali ke Belitung saya tidak lagi menemukan kesunyian di Pantai Tanjung Tinggi. Begitu pula, mungkin mobil kami tidak akan melaju dalam kelengangan menuju Sungai Liat di Bangka. Hanya menunggu waktu sampai Babel populer sebagai kawasan wisata. Apalagi, secara geografis provinsi muda ini letaknya sangat strategis di antara Jakarta dan Singapura.

Terjawab sudah pertanyaan saya di depan, adakah yang menarik dari Babel? Banyak! Suatu saat saya ingin kembali ke sana. Ada beberapa tempat yang tidak sempat saya sambangi dalam kunjungan kali ini. Listnya masih saya simpan untuk kunjungan berikutnya.

Babel layak masuk dalam daftar kunjungan Anda. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari Jakarta. Ciao!

(Selesai)

Trip to Babel (9)


Kesunyian yang Memikat di Pha Kak Liang

Dari Kampung Gedong kami kembali ke arah Kota Sungai Liat. Kurang lebih 3 km sebelum masuk kota minibus yang kami tumpangi berbelok ke kiri masuk ke jalan kecil berbatu. Kami menuju tempat wisata unik di Desa Kuto Panji, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Namanya Pha Kak Liang. Lokasinya kurang lebih 2 km masuk ke dalam dari jalan utama.

Pha Kak Liang adalah kelenteng yang didirikan di kawasan bekas penambangan timah. Lubang bekas galian timah yang disebut kolong membentuk danau. Di tengah danau itu didirikan gazebo dengan jembatan berkelok-kelok yang menghubungkannya dengan daratan. Di sisi danau di permukaan yang lebih tinggi ada kelenteng kecil tempat ibadah.

Di danau seluas kurang lebih 2 ha hidup ratusan bahkan ribuan ikan mas, bawal darat dan nila. Konon ikan di danau itu ada yang besarnya mencapai satu meter. Terang saja, karena sejak bibit ikan ditebar pertamakali tahun 1995 tidak pernah satupun ikan-ikan itu boleh ditangkap.

Kawasan Pha Kak Liang ditandai dengan gerbang berupa gapura raksasa tak berpintu. Melihat gapura raksasa itu saya teringat biara shaolin dalam film-film kung fu. Suasana di tempat itu sangat tenang. Tempat ini dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Angin berhembus semilir. Daun-daun cemara dan akasia bergesekan membuat lagu alam di siang yang terasa teduh.

Kalau berkunjung ke sini jangan lupa membawa bekal makan siang. Tidak ada pedagang berjualan di sini. Siang itu di pinggir danau telah disediakan sejumlah makanan kecil pengganjal perut. Ada lakso, hidangan khas bangka berupa mie yang terbuat dari tepung beras dengan kuah kari berwarna kuning. Kali ini saya tidak tertarik sedikitpun dengan makanan. Seketika saya terobsesi dengan keheningan di Pha Kak Liang.

Beberapa teman tampak pula bergegas melintasi jembatan menuju gazebo di tengah danau. Kita bisa membeli makanan ikan berupa dedak yang dijual Rp 2000 per kantung plastik kecil. Tapi, ikan-ikan di Pha Kak Liang juga suka dengan nasi putih atau roti. Berbagi makanan dengan ikan-ikan itu sungguh menyenangkan. Mereka berebutan muncul di permukaan menimbulkan suara kecipak air.

Jika Anda tidak suka kesunyian Anda akan membenci tempat ini. Laiknya sebuah rumah doa Pha Kak Liang adalah tempat peristirahatan jiwa. Kesunyian di tempat itu memudahkan kita bertemu dengan diri sendiri. Konon, kata orang-orang suci, Tuhan hanya bisa ditemukan dalam kesunyian batin. Saya mengenang Pha Kak Liang sebagai kesunyian yang memikat.

(Bersambung)

_________________
Pha Kak Liang
Desa Kuto Panji
Kecamatan Belinyu
Kabupaten Bangka.

Trip to Babel (8)

Kampung Gedong, Diorama Hidup Kaum Migran Tiongkok

Sekitar 51 km dari kota Sungai Liat atau 90 km sebelah utara Kota Pangkal Pinang ada perkampungan tua yang dihuni masyarakat asli Cina. Kampung Gedong namanya. Sebanyak 50 kepala keluarga tinggal di kampung itu. Sejak tahun 2000 pemerintah daerah setempat menetapkan kampung tersebut sebagai desa wisata.

Selain Kampung Gedong, perkampungan asli masyrakat Cina juga ada di Parit Tiga Jebus, Kecamatan Jebus, Kabupatan Bangka, sekitar 124 km dari Kota Sungai Liat. Pemukiman yang sama juga ada di daerah Kuto Panji, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, sekitar 54 km dari Kota Sungai Liat. Perkampungan Cina dan kebudayaan Cina yang berserakan di Bangka adalah catatan hidup dari sejarah eksplorasi timah di pulau itu.

Pada hari ketiga, sebelum kembali ke Jakarta, kami menyempatkan diri mengunjungi Kampung Gedong. Sekitar setengah jam perjalanan dari Kota Sungai Liat kami tiba di depan sebuah gapura sederhana terbuat dari besi bercat biru muda. Di bagian atasnya terdapat tulisan “Selamat Datang di Desa Wisata Desa Gedong – Kec Belinyu”.

Di depan desa dekat gapura ada kuil kecil tempat pemujaan. Warnanya khas, merah menyala dengan ornamen kuning keemasan. Rumah-rumah tua dari kayu berdiri di kiri kanan jalan desa. Setiap rumah memiliki semacam meja kecil sesaji dengan wadah dupa di tiang pintu depan rumah. Di dalam rumah, di bagian depan yang menghadap ke pintu selalu ada meja sembahyang.

Suasana perkampungan itu sangat sepi dan tenang. Satu dua penghuni kampung tampak duduk di depan rumah menatap kami dengan pandangan menyelidik begitu rombongan kami beriringan masuk kampung.

Kampung Gedong adalah diorama hidup dari sejarah etnis Tionghoa di Bangka. Kehidupan di kampung ini mengambarkan kehidupan yang sama seabad silam ketika kaum migran dari Cina daratan berdatangan mengadu peruntungan sebagai penambang timah.

“Disebut Kampung Gedong karena di kampung ini ada rumah besar. Rumah gedong gitulah. Nanti kita melewati rumah itu,” jelas Elise, pemandu kami dari agen perjalanan setempat.

Yang disebut rumah gedong bukanlah rumah bertingkat dengan desain modern melainkan rumah besar berdinding kayu yang terlihat aus ditempa hujan dan panas matahari. Rumah itu memang paling besar di antara rumah yang lain. Di depan rumah ada plang bertuliskan “Dilarang Masuk”.

“Dulu kita boleh masuk melihat-lihat ke dalam rumah itu. Tapi, belum lama ada pengunjung yang main selonong masuk-masuk ke rumah tanpa permisi. Yang punya rumah marah dan tidak mau lagi rumahnya dimasuki orang luar,” jelas Elise lagi.

Masyarakat Tionghoa di Bangka Belitung adalah keturunan suku Ke Jia atau sering disebut orang Khe. Pada awal abad 18 mereka bermigrasi bedol desa dari Provinsi Guang Dong, Tiongkok. Kala itu orang-orang Suku Ke Jia terkenal sebagai penambang ahli. Sultan Palembang penguasa Bangka sengaja mendatangkan mereka untuk mengolah cadangan timah.

Mulanya yang datang ke Bangka Belitung hanyalah kaum lelaki pekerja. Mereka seperti kaum urban di Jakarta yang secara berkala mudik ke kampung halaman di Tiongkok sana. Banyak pula yang kemudian menetap dan menikah dengan gadis melayu. Keadaan ini terus berlangsung hingga abad ke-20.

Perlahan namun pasti jumlah migran Tionkok terus bertambah. Tidak lagi hanya kaum lelaki kaum wanita juga mulai berdatangan. Lama kelamaan terciptalah pola perkampungan yang unik. Masyarakat Bangka-Melayu yang sehari-hari hidup dari berkebun tinggal dekat sungai. Sementara warga Tionghoa selalu tinggal di sekitar lubang tambang timah.

Masyarakat di Kampung Gedong adalah keturunan enam bos timah yang dahulu menguasai penambangan di Parit 6. Kegemilangan para bos migran itu telah berlalu dimakan jaman. Kini kampung itu tidak lagi dikenal sebagai kampung penambang melainkan kampung penghasil kemplang.

Kemplang adalah sejenis kerupuk ikan yang banyak dibuat di Palembang dan tempat lain di Sumatera Selatan. Kemplang dibuat dari tapioka, ikan berdaging putih, dan bumbu-bumbu lainnya. Cara pembuatan kemplang cukup sederhana. Daging putih dari ikan digiling, dicampur dengan sedikit air dan bumbu, kemudian diaduk sampai rata dan khalis. Adonan yang dihasilkan dicetak, dikukus, dijemur dan dipanggang atau dijemur.

Entah bagaimana asal mulanya masyarakat di kampung ini beralih profesi menjadi pengrajin kemplang. Kami berjalan terus menuju belakang kampung. Kami memasuki salah satu rumah. Dari luar rumah itu tampak sepi. Rupanya aktivitas penghuninya terjadi di belakang rumah. Ada ruangan besar di bagian belakang yang terhubung dengan rumah induk. Dua orang perempuan setengah baya tampak menggiling tepung tapioka. Di sudut lain dua orang perempuan muda tengah membersihkan ikan.

“Jangan foto. Jangan foto,” salah seorang perempuan muda yang membersihkan ikan berkata sambil memberi tanda dengan tangannya ketika seorang anggota rombongan ingin mengambil gambar mereka. Elise berbisik pada saya yang juga membawa kamera. “Mereka tidak mau difoto. Jangan difoto ya. Nanti mereka marah.”

Saya urung megambil gambar. Saya hanya hilir mudik di dalam rumah tua itu. Ruang depan selain sebagai ruang tamu juga berfungsi sebagai ruang sembahyang. Ada televisi 14 inch di situ. Beberapa orang bocah terkikik menonton tayangan tivi. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Baru saya tahu kemudian dari Elise, masyarakat Kampung Gedong masih berbicara dalam bahasa Khe.

Beberapa teman, terutama para perempuan, berkerumun di ruang tengah yang berfungsi sebagai gudang. Jual beli kemplang berlangsung di ruang itu. Kami tidak lama di Kampung Gedong. Selesai urusan belanja oleh-oleh kami beranjak meninggalkan kampung.

Ketika berjalan keluar kampung ada yang menarik perhatian saya. Di beberapa rumah ada kain merah yang diselempangkan di atas daun pintu.
“Elise, kain merah itu ada artinyakah?” tanya saya.
“O, iya. Itu artinya ada anak gadis di rumah itu,” bisik Elise.

Ooo…Saya berusaha mencuri pandang tiap kali melewati rumah berselempang kain merah. Tapi, tidak pernah berhasil melihat anak gadis pemilik rumah. Ah, mungkin mereka malu dan bersembunyi di dalam kamar.

(Bersambung)

Trip to Babel (7)

Top of the Top: Buntut Ikan Tenggiri, Gangan dan Lempah

Sinar matahari Bangka begitu menyengat kulit ketika kami tiba di Pelabuhan Pangkalan Balam, Pangkal Pinang, Bangka. Hari sudah lewat tengah hari. Perut sudah mulai keroncongan.

Di pintu pelabuhan kami melihat tiga orang perempuan muda cantik membawa kertas putih bertuliskan “Tour Jalansutra”. Aha, rupanya mereka pemandu kami selama di Bangka dari agen perjalanan setempat. Pintar nian Andrew mencari partner lokal.

“Kita ke Asui makan siang!” Andrew berteriak saat kami berjalan menuju mobil. Yup! Semua anggota rombongan sudah kelaparan siang itu.

RM Mr Asui terletak di tengah kota Pangkal Pinang, tepatnya di Jalan Kampung Bintang. Kami sempat bingung ketika minibus berhenti di ujung jalan di sebuah persimpangan. Elise, pemandu kami dari agen perjalanan lokal, memberitahu bahwa kami sudah tiba di RM Mr Asui. Kami turun dan melihat plang besar bertulis RM Mr Asui di ujung persimpangan. Namun rumah toko di bawah plang itu tutup.

Rupanya Mr Asui tidak terletak di pinggir jalan. Di sisi ruko yang tutup itu ada jalan kecil berupa gang. RM Mr Asui terletak di dalam gang itu. Ada tiga rumah makan dalam satu deret rumah yang saling berhubungan. Rumah-rumah itu beratap tinggi. Rumah pertama menjual babi panggang, rumah kedua seafood, rumah ketiga mie bangka. Tujuan kami adalah rumah makan yang di tengah, seafood. Mr Asui terkenal dengan seafoodnya.

Menurut Andrew menu makan siang kami sudah disiapkan. Betul saja, sebuah meja panjang sudah tersusun rapi dan lengkap dengan peralatan makan di atas meja. Kami segera memilih posisi. Tidak lama satu persatu makanan keluar. Tiga menu yang perlu dicatat: buntut ikan tenggiri bakar, kepiting saus padang dan tiram serta lempah kuning dan nanas.

Andrew menjelaskan, buntut ikan tenggiri Mr Asui sengaja dipilih sebagai santap siang di hari kedua karena menu ini dipandang sebagai top of the top menu sepanjang wisata kuliner kami. Hidangan ini diolah dengan sangat sederhana, tapi disajikan secara provokatif. Buntut ikan tenggiri sepanjang kurang lebih 30 sentimeter berdaging tebal disajikan utuh lengkap dengan sirip di bagian ekor. Bagian tengahnya disayat lalu dipanggang begitu saja. Dagingnya fresh. Gurih sekali. Dicocol dengan sambal terasi khas bangka, hmmm…yummy….

Olahan kepitingnya juga unik. Seperti lazimnya, potongan-potongan kepiting ditaruh di atas piring besar ditaburi saus. Yang agak berbeda adalah racikan bumbu sausnya. Bumbu saus tiram dan padangnya berbeda dengan Jakarta. Mr Asui lebih manis. Ini yang khas dari Bangka Belitung, olahan bumbu rempahnya selalu diwarnai rasa manis yang dominan dengan pedas di belakang.

Berikutnya lempah kuning dan nanas. Nah, ini dia yang spesial dari Bangka Belitung. Pernah dengar gangan? Apa beda lempah dan gangan? Saya berjanji menuliskannya untuk Anda. Gangan dan lempah adalah sebutan yang berbeda untuk sup ikan khas Bangka Belitung. Gangan populer di Belitung sementara lempah di Bangka. Tampilan keduanya mirip gulai tapi tidak bersantan. Kuahnya agak bening. Rasanya asam manis pedas.

Di RM Mabai, Tanjung Tinggi, kami mencicipi gangan. Isinya kepala ikan ketarap yang berlemak. Gangan khas Belitung dimasak dengan nanas dengan bumbu kemiri, kunyit, lengkuas, cabe dan asam. Sementara di RM Mr Asui kami disajikan dua pilihan lempah kuning dan nanas. Lempah kuning dimasak tanpa nanas berisi ikan pari yang dipotong kotak-kotak. Sementara, lempah nanas dimasak dengan nanas dengan potongan ikan bawal di dalamnya. Lempah nanas lebih manis dibanding lempah kuning. Mungkin Mr Asui menggunakan nanas madu.

Lantas apa bedanya gangan dan lempah? Setelah mencicipi keduanya, menurut saya, gangan di Belitung lebih berani bumbunya. Strong spicy. Kuahnya lebih kental. Sementara lempah lebih lembut dengan kuah lebih bening. Menyantap gangan dan lempah samar-samar saya teringat rasa sayur asam sunda.

Mana yang lebih enak? Tergantung selera. Sebagian suka lempah kuning, sebagian lagi suka lempah nanas. Saya sendiri sangat terkesan dengan gangan di RM Mabai Tanjung Tinggi. Rasanya lebih gahar!

Bermalam di Sungai Liat

Usai menandaskan seafood Mr Asui kami menghabiskan siang dengan mengunjungi penjual babi panggang khas bangka di depan Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka. Ada beberapa penjual di sana. Yang unik mereka berjualan di atas motor. Di sadel belakang motor ada kotak besar tempat gelondongan babi panggang. Tutup kotaknya berfungsi sebagai talenan untuk memotong-motong gelondongan babi sesuai pesanan. Babi panggang khas belitung memang juara. Kulitnya garing sementara dagingnya empuk dengan bumbu yang meresap jauh ke dalam daging.

Dari sana kami langsung menuju pusat penjualan oleh-oleh di belitung. Toko LCK di Jl Jend Sudirman, pusat kota Pangkal Pinang. Toko ini menjual macam-macam oleh-oleh khas Bangka. Sebagian besar adalah kerupuk bangka yang khas terbuat dari ikan. Yang lain daripada yang lain adalah rusip, teri mentah yang difermentasikan. Biasanya rusip digunakan untuk bumbu tapi juga bisa langsung dimakan. Toko ini juga menjual teripang yang sudah dikeringkan. Harganya bisa menjebol kantong. Di almari khusus tempat memajang teripang tertera keterangan enam sampai delapan ekor teripang harganya Rp 2.400.000. Wow!

Selanjutnya setelah memesan oleh-oleh kami meluncur ke Sungai Liat. Kami bermalam di Hotel Parai. Hotel Parai terletak persis di tepi pantai. Kalau pantai Tanjung Tinggi terbuka untuk umum, Pantai Parai hanya bisa dinikmati oleh mereka yang menginap di hotel itu. Pantai ini tak kalah indahnya dengan Tanjung Tinggi. Namun saya merasa tidak ada yang istimewa di sini. Mungkin karena terlalu banyak orang. Saya terus terkenang kesunyian di Tanjung Tinggi.

(Bersambung)

________________________
RM Asui
Jl Kampung Bintang
Kel. Bintang Dalam RT 12/93
Pangkal Pinang, Bangka
Telp: (0717) 423772

RM Mabai
Jl. Pantai Tanjung Tinggi
Belitung
Telp : (0719) 24338

Toko Oleh-oleh LCK
Jl Jend Sudirman No. 30
Pangkal Pinang, Bangka
Tel: (0717) 424163

Hotel Parai Indah
Jl. Pantai Parai Tenggiri
Sungailiat - Bangka
Telp. (0717) 9488, 9401

Trip to Babel (6)

Menyeberang Selat Gaspar

Kami hanya semalam menginap di Lor-In. Setelah puas mencumbui sunyi di Tanjung Tinggi pagi-pagi benar kami segera meluncur ke pelabuhan Tanjung Pandan untuk menyeberang Selat Gaspar menuju Pulau Bangka.

Ada catatan yang tersisa di Belitung tentang gangan. Kami menikmatinya sebagai santap malam di RM Mabai. Ijinkan saya menyimpan ceritanya sampai saya bertemu lempah di Bangka. Gangan dan lempah serupa tapi tak sama. Keduanya adalah yang khas dari Belitung dan Bangka.

Pukul 06.00 wib. Matahari belum sepenuhnya muncul. Sinarnya di ufuk timur membias menembus gumpalan awan kelabu di langit. Kabut masih menyelimuti dedaunan ketika minibus kami meluncur kembali ke Tanjung Pandan melintasi jalan yang sepi. Kami memang harus bergegas mengejar Kapal Express Bahari yang berangkat pk 07.00 wib melintasi Selat Gaspar menuju Bangka.

Kami tidak boleh terlambat. Jika kami ketinggalan kapal kami harus bermalam kembali di Belitung menunggu kapal esok pagi. Ya, pelayaran pagi Express Bahari menuju Bangka adalah satu-satunya jasa penyeberangan.

Kami tiba di pelabuhan pukul 06.45 wib. Kapal cepat berkapasitas kurang lebih 200 orang sudah menunggu. Tidak banyak penumpang pagi itu. Hampir separuh bangku kosong. Wah, jadwal keberangkatan ternyata molor. Kapal baru melepas sauh pukul 07.30 wib. Di atas kapal kami sempat menikmati lemper bakar sambal lingkung. Seorang ibu menjajakannya. Andrew membelinya sebagai bagian dari paket santapan yang kami nikmati dalam wisata ini. Lemper bakar ini rasanya gurih. Aroma bakar dari daun pisang yang membungkus lemper bercampur gurih sambal lingkung menjadi citarasa yang khas.

Perlahan kapal keluar dari teluk pelabuhan. Setelah keluar dari teluk seketika kapal menambah kecepatan. Udara cerah meski lagi-lagi langit di atas kami berwarna kelabu. Sampai hari kedua kami tidak berjumpa langit biru. Laut juga tenang pagi itu. Riak-riak putih berlompatan membuih di belakang kapal yang melaju cepat membelah laut. Hampir semua anggota rombongan tertidur di dalam kabin penumpang yang berpendingin udara. Hitung-hitung balas dendam karena harus bangun pagi-pagi.

Ada catatan penting yang harus Andan ingat jika melintas Selat Gaspar dengan kapal cepat ini. Rencanakanlah aktivitas yang ingin Anda kerjakan di atas kapal karena waktu yang harus ditempuh melintas selat ini adalah empat jam. Membawa bahan bacaan adalah pilihan yang baik.

Saya sempat tertidur satu jam. Selebihnya saya memilih duduk di dek menikmati laut lepas. Angin berhembus sangat kencang. Matahari terus meninggi dan panasnya makin menyengat. Di tengah laut kami menjumpai beberapa kapal nelayan mencari ikan.

Bajak laut

Di masa silam perairan ini adalah wilayah rawan. Banyak bajak laut berkeliaran. Potongan-potongan film Pirates of The Carribean timbul tenggelam dalam benak saya.

Selat Gaspar adalah bagian dari wilayah perairan Sumatera yang sejak dulu kala menjadi pusat lalu lintas perdagangan dunia. Pada masa itu perairan ini adalah jalur penghubung antara negeri di atas angin (sub benua India, Persia dan Arab) dengan negeri di bawah angin (nusantara) dan Asia Timur (Cina).

Tidak ada catatan yang mengungkapkan kerajaan tertentu di pulau ini. Catatan yang ada selalu menyebutkan bahwa kepulauan Bangka Belitung silih berganti dikuasai oleh kerajaan-kerajaan nusantara juga komplotan bajak laut. Kerajaan yang pernah menguasai Bangka Belitung adalah Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Johor, Mataram, Banten dan Kesultanan Palembang. Kerajaan-kerajaan itu berkepentingan menguasai perairan ini karena keberadaan bajak laut sangat mengganggu aktivitas perdagangan.

Sriwijaya adalah kerajaan pertama yang menguasai kepulauan ini. Hal ini ditunjukkan oleh prasasti Kota Kapur yang ditemukan oleh JK Van der Meulen di dekat Sungai Mendo, Dusun Kota Kapur, Desa Pernagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Desember 1892. Prasasti di atas tunggul batu itu berisi kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada Raja Sriwijaya.

Setelah kekuasaan Sriwijaya melemah, Sultan Johor dan sekutunya, Raja Alam Harimau Garang, menyerang Bangka untuk membasmi bajak laut. Kesempatan ini juga digunakan untuk menyebarkan agama Islam di kepulauan ini. Perlahan peradaban Islam menggantikan peradaban Hindu di kepulauan ini.

Seiring melemahnya Kerajaan Johor bajak laut kembali bersarang di kepulauan ini. Kapal-kapal saudagar yang membawa barang-barang niaga dirampas dan dirampok. Begitu mengganggunya keberadaan bajak laut di kepulauan ini sampai-sampai Sultan Banten mengirim pasukannya ke Bangka membasmi bajak laut.

Untunglah saya melintasi selat ini di abad 21. Tidak ada lagi bajak laut. Ah, tidak terasa pelabuhan Pangkalan Balam, Pangkal Pinang, Bangka, sudah terlihat di depan mata. Banyak perahu-perahu besar bersandar di sana. Saya bergegas turun ke ruang penumpang mengemasi bawaan.

(Bersambung)