27 September 2008

Klarifikasi Staff Bu Menteri

Menanggapi berita yang dimuat di Kompas.com tanggal 26 September 2008 oleh Saudara Heru Margianto berjudul "Sampah Diatas Kantor Bu Menteri" dengan ini kami sampaikan klarifikasi sebagai berikut:

1. Barang-barang tersebut yang berupa : kursi, lemari besi dan aneka perkakas kantor adalah barang-barang inventaris bekas pakai yang masih dalam proses penghapusan (lelang).

2. kondisi kantor Pemberdayaan Perempuan RI sangat sempit bahkan karena sempitnya harus berlokasi di dua tempat yaitu di Jl. Merdeka Barat No. 15 dan Jl. Abdul Muis no 7 Jakarta Pusat.

3. Karena sempit dan keterbatasan tempat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tidak memiliki halaman dan gudang penyimpanan barang-barang tersebut di atas.

4. Kami mohon maaf karena belum menata barang-barang tersebut dengan rapi sehingga terkesan onggokan sampah yang mengganggu pemandangan.

5. Terima Kasih atas masukan serta sarannya dan kami akan segera menata barang tersebut dengan rapi.

Humas KPP
(humas_kpp@yahoo.ci.id)

25 September 2008

Sampah di Atap Kantor Bu Menteri


Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan terletak di belakang Kantor Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Gedungnya agak tersembunyi, tidak terlihat dari jalan. Namun, yang tersembunyi ternyata tidak hanya gedungnya, tapi juga tumpukan sampah perkakas kantor di atap gedung itu.

Dari Gedung Sapta Pesona, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang bangunannya lebih tinggi dan terletak persis di sebelah gedung tersembunyi itu tumpukan sampah terlihat jelas. "Ya, ampun itu sampah. Apa maksudnya sih ditumpuk di situ, mengganggu pemandangan aja," celetuk Avelia Kartika, salah seorang tamu di Gedung Sapta Peona yang melongok ke atap gedung itu dari lantai 9, Kamis (25/9).

Di atap gedung yang dikomandoi putri proklamator Bung Hatta, Meutia Hatta, teronggok puluhan kursi, lemari besi, dan aneka perkakas kantor. Entah sejak kapan barang-barang itu menjadi sampah di atap gedung. Daripada menjadi sampah tak berguna, rasanya onggokan barang-barang itu masih laku dijual ke pedagang barang bekas lalu duitnya disumbang ke lembaga zakat. Meski mungkin hasilnya tak seberapa, tapi lebih berarti daripada menjadi onggokan sampah.

Blogged with the Flock Browser

23 September 2008

Mengenang Munir (5)


Suatu siang. Percakapan telepon.
+ Halo Pak, apakabar?
- Siapa ini?
+ Si Anu Pak
- O, ya..hai apakabar? Lama kita enggak ketemu ya..
+ Baik, Pak. Bapak sendiri gimana, sehat..
- Alhamdulilah, sehat. Gimana, gimana, apa yang bisa dibantu.
+ Itu Pak, mau tanya soal Mr M
- Hmm..begini. Kita enggak tahu. Ini bukan kerjaan kita. Kalau dia yang buat ya mungkin kerjaan dia sendiri. Tapi, kita benar-benar enggak tahu.
+ Mr M bisa diambil enggak, Pak?
- Ambil aja kalau memang ada buktinya.
+ Ah, nanti teman-teman Bapak melindungi kayak yang sudah-sudah.
- Enggaklah. Kita enggak akan ikut campur. Ambil aja. Kita enggak punya urusan sama dia.
+ Okelah Pak kalau itu
- Oke. Gitu ya...
+ Oke Pak, selamat siang...
- Siang...

Suatu siang yang lain, percakapan yang lain, di tempat yang juga lain.

+ Siang Pak
- Siang
+ Pak, mau tanya soal perkembangan kasus Munir.
- Penyelidikan masih terus berjalan. Tim kita masih bekerja.
+ Soal Mr M, Pak. Namanya kan disebut-sebut. Sejauh mana penyelidikannya?
- Tim kita masih bekerja
+ Apalagi yang dicari, Pak? Bukankah bukti-bukti keterkaitan sudah jelas?
(Tiba-tiba lelaki itu mendengus marah)
- Kamu tahu tidak, siapa Mr M? Kamu bisa jamin tidak keselamatan keluarga saya?
+ ???

EDAN!!!!! Orang nomor satu di bagian reserse mabes polri saja takut!!! Tiga bintang di pundaknya tidak bisa menjamin keselamatan keluarganya....Untunglah orang itu segera lengser, dan tebukti dia bukan penegak hukumyang baik. He was jail!!!!

22 September 2008

Mengenang Munir (4)


Mei 2003. Aceh ditetapkan sebagai kawasan darurat militer. Ribuan tentara Indonesia diterjunkan ke sana untuk menumpas kelompok separatis bersenjata GAM.

Siang di Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, matahari memanggang jalan-jalan. Panas sekali. Keringat menetes di mana-mana. Bukan teriknya srengenge saja yang memeras air badan ini, desing peluru dan dentam meriam juga membuat hari-hari di kota itu terasa makin membara. Keringat yang jatuh bukan cuma keringat gerah, tapi juga keringat cemas dan was-was. Keringat yang terakhir tidak keluar dari pori-pori, tapi dari bola mata setiap orang yang mendambakan kedamaian di bumi serambi mekah.

Lhokseumawe jadi kota perang. Jalan-jalan dipenuhi tentara yang wira-wiri menyandang bedil. Mirip kisah di film-film . Di luar kota jalan-jalan lengang. Kalaupun ada kendaraan mereka melintas beriringan. Makin hari makin susah saja mencari angkutan. Beberapa kali angkutan-angkutan itu terjebak di tengah kontak senjata antara pasukan TNI dan GAM. Siapa pula yang ingin berada dalam situasi seperti ini. Peluru tidak memiliki mata. Adakah orang memilih berlibur ke tempat perang? Ada!

Suatu siang di Hotel Vina Vira, Lhokseumawe, lelaki berkacamata itu duduk sendiri di sebuah sofa butut di depan kamarnya di lantai dua. Tangan kanannya dibalut perban dan mengenakan kain penyangga yang tersambung di lehernya. Di dada lelaki itu tergantung ID Card yang entah apa informasinya. Lelaki itu tidak sendiri. Seingatku di kamar itu juga ada satu lelaki lagi. Tapi, yang terakhir ini jarang menampakkan batang hidungnya.

Kami hanya berselisih satu kamar. Aku bersama dua orang teman di kamar sudut selatan sementara dua lelaki itu di kamar sudut utara. Di tengah adalah kamar sopir-sopir yang mobilnya disewa para jurnalis melakukan liputan.

Dua lelaki di kamar sudut itu seketika menarik perhatian. Jelas saja, sebab semua kamar di hotel ini dihuni oleh wartawan yang meliput operasi militer kecuali satu kamar di sudut utara di lantai dua. Terjadi bisik-bisik di antara kami, menerka-nerka siapa mereka. Tapi toh akhirnya kami abaikan juga kehadiran dua orang "asing" ini. Kami lantas menyimpulkan begitu saja bahwa mereka adalah perpanjangan tangan tentara yang ditempatkan di hotel ini untuk memantau aktivitas pekerja pers. Wajar saja. Situasi darurat gitu lho.

Siang itu dua orang temanku berinisiatif menghampiri si lelaki berkacamata dan menyapanya. Aku tidak berminat sama sekali ikut serta dan memilih masuk kamar untuk menyelesaikan beberapa tulisan yang harus dikirim siang itu.

Tak lama dua teman kembali.
"Orang yang aneh. Masak liburan ke tempat perang," gerutu seorang teman.
"Kenapa?" tanyaku.
"itu, orang itu, ngakunya ke sini liburan," sambar temanku yang satu lagi.
"Emangya siapa sih tuh orang?" rasa penasaranku terusik.
"Ngakunya sih pilot Garuda. Tadi dia nunjukin ID-nya. Namanya.....," temanku menyebut satu nama yang terasa asing di telinga. Aku bahkan tak mampu mengingatnya. Selintas peristiwa ini lenyap dalam ingatan.

Di Jakarta sekian bulan kemudian Munir diracun di atas pesawat. Sebuah nama dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Nama yang tidak lazim di telingaku. Sosok pemilik nama itu tampil di sejumlah TV. Ia diwawancarai karena namanya disebut-sebut. Aku memeras dahi, rasanya pernah melihat orang itu, tapi tak mampu mengingatnya, sampai akhirnya telepon selularku berdering.

"Masih ingat kan sama orang itu?" kata suara di seberang.
"Enggak ingat. Tapi, aku merasa tidak asing," jawabku jujur.
"Vina Vira, Lhokseumawe," suara di seberang mengingatkan.

Aha! Kepalaku terang benderang.

14 September 2008

Mengenang Munir (3)

Kekhawatiran adanya sebab yang tidak wajar dalam kematian Munir menjadi kenyataan. Netherlands Forensic Institute (NFI) yang melakukan otopsi terhadap jenazah aktivis HAM itu mendapatkan zat arsenikum dalam dosis yang mematikan dalam tubuhnya.

Arsenikum lazim terdapat dalam tubuh manusia. Dalam kadar yang normal zat ini tidak berbahaya. Seberapa mematikan dosis arsen yag ditemukan dalam tubuh Munir?

Dalam darah:
Dalam darah terdapat zat arsen. Batas normal kandungannya kurang dari 0,1 mg/liter atau 0,1 mg/kg. Batas kandungan maksimal adalah 0,27 mg. Dalam darah Munir ditemukan konsentrasi arsen yang sangat tinggi yaitu 3,1 mg/liter.

Pada urin:
Konsentrasi arsen pada urin kurang dari 0,3 mg/liter. Batas ambang maksimalnya adalah 2,5 mg/liter. Pada urine Munir didapati konsentrasi kandungan arsen 4,8 mg/liter.

Lambung:
Kandungan arsen dalam tubuh manusia paling banyak terdapat di lambung. Batas normalnya 82,8 mg/liter. Seafood mengandung konsentrasi arsen yang tinggi. Batas maksimal arsen dalam lambung manusia adalah 83 mg/liter. 83 mg arsen setara dengan mengonsumsi 4 kg udang. Dalam lambung Munir terdapat 460 mg/liter. Woooow....

Siapa memasukkan arsen dalam tubuh Munir? Kapan racun itu masuk dan dengan cara bagaimana?

13 September 2008

Mengenang Munir (2)

Bandara Soekarno Hatta, Senin, 6 September 2004 malam. Seperti biasa Munir telihat sehat dan ceria. Ia tampak bercengkerama akrab dengan rekan-rekannya dari Kontras dan Imparsial, dua NGO yang didirikannya. Tampak pula Suciwati, isterinya. Mereka mengantar Si Cak yang ingin melanjutkan studi ke Belanda.

Malam yang hangat. Selalu saja ada hal-hal lucu yang membuat tawa di malam itu. Keakraban itu dihentikan oleh waktu. Jam keberangkatan semakin dekat. Munir harus boarding. Lambaian tangan rekan-rekan dan pelukan Suciwati mengiringinya masuk ruang tunggu. Lambaian tangan terakhir. Pelukan terakhir. Malam terakhir.

Waktu keberangkatan makin dekat. Satu per satu para penumpang menyusuri koridor masuk ke pesawat. Di koridor itu seseorang menyapanya dan memperkenalkan diri sebagai Pollycarpus Budihari Priyanto, salah seorang crew Garuda yang tengah menjadi extra crew/aviation security. Dengan ramahnya orang itu menawarkan kursinya di kelas bisnis pada Munir. Ah, Munir tak enak. Ia membeli tiket kelas ekonomi masakan duduk di kelas bisnis. Orang itu meyakinkan tak apa. Munir menyerah. Jadilah ia duduk di kursi 3 K kelas bisnis dalam penerbangan menuju Singapura.

Pukul 21.55. Pesawat Garuda yang ditumpangi Munir meninggalkan Soekarno-Hatta. Di atas pesawat ia memilih mie goreng, juice jeruk dan irisan buah segar sebagai santapannya.

Pukul 00.40 pesawat mendarat di Bandara Changi, Singapura, untuk transit. Pollycarpus, lelaki ramah yang menawarkan kursinya di kelas Bisnis mengajaknya singgah di Coffe Bean. Tidak lama memang waktu transit, hanya satu jam sepuluh menit. Cukuplah untuk ngopi-ngopi. Di Bandara ini pula Munir berkenalan dengan seorang dokter, dr Tarmizi, yang satu penerbangan menuju Amsterdam.

Pukul 01.50 pesawat Garuda meninggalkan Singapura. Munir kembali duduk di kursinya semula nomor 40G di kelas ekonomi. Dijadwalkan, pesawat tiba di Amsterdam 7 September 2004 pukul 08.10 waktu Amsterdam.

Sekitar 40 menit setelah lepas landas Munir merasa ada yang tak beres di perutnya. Ia bolak balik ke toilet. Sekitar 2 jam setelah lepas landas ia mendatangi pramugara Bondan Hernawa dan menyampaikan bahwa dirinya sakit dan ingin dipertemukan dengan dr Tarmizi yang duduk di kelas bisnis di kursi 1 J.

Kepada dr Tarmizi Munir menyampaikan bahwa ia telah muntah dan buang air besar sebanyak 6 kali. Selanjutnya, untuk memudahkan penanganan Munir ditempatkan di kursi nomor 4 bisnis agar dekat dengan dr Tarmizi. Dokter memberinya obat diare, susu serta air garam, tapi Munir terus muntah dan buang air berkali-kali. Dokter kemudian memberinya sebuah suntikan. Munir pun tenang. Ia terlihat tertidur.

Selasa, 7 September 2004, sekitar pukul 04.05 UTC, di atas Budapest, 2 jam sebelum mendara di Schippol, Amsterdam, Munir didapati sudah tidak bernyawa.

11 September 2008

Mengenang Munir (1)


Munir Said Thalib. Meski sering berjumpa dalam sejumlah kesempatan, saya tidak memiliki kedekatan khusus dengannya. Kalaupun ketemu di jalan paling sekadar basa-basi, "Halo Cak, mau kemana?" Dan, Munir akan membalas dengan basa-basi pula, "Mau ke sana," sambil berpikir keras siapa orang ini...hehehe...

Meski jauh dari dekat, tapi toh saya mengenang kata-katanya yang begitu bernas dalam setiap pernyataannya tentang militer dan aneka peristiwa kekerasan yang mengancam hak asasi manusia. Jumpa pers tanpa Cak seperti sayur tanpa bumbu. Tanpa Cak, kepala ini dituntut berpikir keras mencari lead berita. Adanya Cak, kepala ini dituntut lebih keras lagi memilih lead karena apa yang yang dimuntabkan mulutnya menawarkan sejumlah pilihan lead.

Selasa, 7 September 2004, telepon seluler saya berdering, membangunkan tidur saya di siang hari setelah semalaman piket jaga kantor. Kepala saya terasa berat. Mata sulit terbuka. Telepon siang hari itu betul-betul cilaka. Suara di seberang adalah suara seorang kawan yang mengabarkan berita duka. "Di mana lo? Cak Munir meninggal. Anak-anak lagi kumpul di Kontras nih."

Munir meninggal di atas pesawat Garuda dalam penerbangan menuju Amsterdam. Rohnya melayang-layang di atas Budapest. Raganya kelu diracun Arsenik. Munir dibunuh.

Siapa membunuh Munir?

07 September 2008

Ngeblog Lagi Blogger Lagi

Adalah Kodja yang pertama kali memperkenalkan blog padaku di sekitar semester dua tahun 2003. Waktu itu blog belum sepopuler sekarang. Tapi Enda Nasution udah sangat ngetop. Segala hal tentang blog nyonteknya ke goblog media.

Untuk urusan desain blog pun masih amat njelimet, berkutat dengan rumus HTML. Untuk memasukkan sebuah gambar ke dalam blog rumusnya panjang. Belum ada flickr, picasa atau photobucket. Gambar ditaruh di hostingan gratis trus harus 'disamarkan' extensionnya jadi txt dan diutakatik hiperlinknya di html langsung.

Tapi, justru segala keribetan ini yang membuatku addict ngeblog. Sayangnya, bukan keribetan mengisi konten, tapi keribetan mengutak-atik desain dengan html. Lihat saja arsip yang terhitung selama lima tahun, miskin bukan...hehehe....blog ini rasanya lebih banyak berganti desain ketimbang update kontennya...:p

Begitulah kemudian ketika kenjlimetan html mulai bisa terpahami tidak ada lagi yang bisa membuatku bertahan bercengkerama dengan blog. Rumah maya ini terasa membosankan dan lambat laun tak terurus. Aktivitas blogging stop selama sekian tahun. Jaringan pertemanan maya yang kurintis dulu pun buyar. Daftar blog teman-teman yang dulu berderet-deret ikut lenyap bersamaan dengan bergantinya format blogger.

Meski tidak lagi ngeblog bukan berarti aku sama sekali tidak pernah bersinggungan dengan dunia ini. Dalam beberapa kesempatan malah jadi pembicara tentang blog. Dalam beberapa kesempatan pula aku masih bersinggungan dengan komunitas blogger. Sementara sejumlah teman berulangkali mendorong agar aku aktif ngeblog lagi.

Setelah sekian tahun hidup segan mati tak mau akhirnya aku terprovokasi juga pengen ngeblog lagi. Rasanya kali ini bener-bener ingin menulis [juga pengen ngutak-ngatik desain karena caranya dah beda :p].

Aku sempat memutuskan pindah rumah ke Wordpress. Tapi, setelah utakatik di Wordpress akhirnya kuputuskan untuk kembali 'pulang' ke Blogger. Alasan utama karena Blogger menyediakan fitur posting by mobile phone, sementara worpress tidak membuka fitur itu untuk blog gratisannya.

Ya, begitulah semua ceritanya. Akhirnya ngeblog lagi dan blogger juga ujung-ujungnya.

06 September 2008

Trip to Babel (10)

Epilog: Babel Tidak Cuma Timah!

Hari sudah malam ketika pesawat Sriwijaya Air yang membawa kami dari Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka, mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Tidak terasa tiga hari saya meninggalkan ibukota. Waktu berlari begitu cepat. Mendengar kata Bangka Belitung (Babel) di kepala saya tidak lagi terbayang timah.


Puas! Saya merasa menemukan sesuatu yang baru dalam perjalanan ini. Saya yakin sepuluh tahun ke depan jika saya kembali ke Belitung saya tidak lagi menemukan kesunyian di Pantai Tanjung Tinggi. Begitu pula, mungkin mobil kami tidak akan melaju dalam kelengangan menuju Sungai Liat di Bangka. Hanya menunggu waktu sampai Babel populer sebagai kawasan wisata. Apalagi, secara geografis provinsi muda ini letaknya sangat strategis di antara Jakarta dan Singapura.

Terjawab sudah pertanyaan saya di depan, adakah yang menarik dari Babel? Banyak! Suatu saat saya ingin kembali ke sana. Ada beberapa tempat yang tidak sempat saya sambangi dalam kunjungan kali ini. Listnya masih saya simpan untuk kunjungan berikutnya.

Babel layak masuk dalam daftar kunjungan Anda. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari Jakarta. Ciao!

(Selesai)

Trip to Babel (9)


Kesunyian yang Memikat di Pha Kak Liang

Dari Kampung Gedong kami kembali ke arah Kota Sungai Liat. Kurang lebih 3 km sebelum masuk kota minibus yang kami tumpangi berbelok ke kiri masuk ke jalan kecil berbatu. Kami menuju tempat wisata unik di Desa Kuto Panji, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Namanya Pha Kak Liang. Lokasinya kurang lebih 2 km masuk ke dalam dari jalan utama.

Pha Kak Liang adalah kelenteng yang didirikan di kawasan bekas penambangan timah. Lubang bekas galian timah yang disebut kolong membentuk danau. Di tengah danau itu didirikan gazebo dengan jembatan berkelok-kelok yang menghubungkannya dengan daratan. Di sisi danau di permukaan yang lebih tinggi ada kelenteng kecil tempat ibadah.

Di danau seluas kurang lebih 2 ha hidup ratusan bahkan ribuan ikan mas, bawal darat dan nila. Konon ikan di danau itu ada yang besarnya mencapai satu meter. Terang saja, karena sejak bibit ikan ditebar pertamakali tahun 1995 tidak pernah satupun ikan-ikan itu boleh ditangkap.

Kawasan Pha Kak Liang ditandai dengan gerbang berupa gapura raksasa tak berpintu. Melihat gapura raksasa itu saya teringat biara shaolin dalam film-film kung fu. Suasana di tempat itu sangat tenang. Tempat ini dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Angin berhembus semilir. Daun-daun cemara dan akasia bergesekan membuat lagu alam di siang yang terasa teduh.

Kalau berkunjung ke sini jangan lupa membawa bekal makan siang. Tidak ada pedagang berjualan di sini. Siang itu di pinggir danau telah disediakan sejumlah makanan kecil pengganjal perut. Ada lakso, hidangan khas bangka berupa mie yang terbuat dari tepung beras dengan kuah kari berwarna kuning. Kali ini saya tidak tertarik sedikitpun dengan makanan. Seketika saya terobsesi dengan keheningan di Pha Kak Liang.

Beberapa teman tampak pula bergegas melintasi jembatan menuju gazebo di tengah danau. Kita bisa membeli makanan ikan berupa dedak yang dijual Rp 2000 per kantung plastik kecil. Tapi, ikan-ikan di Pha Kak Liang juga suka dengan nasi putih atau roti. Berbagi makanan dengan ikan-ikan itu sungguh menyenangkan. Mereka berebutan muncul di permukaan menimbulkan suara kecipak air.

Jika Anda tidak suka kesunyian Anda akan membenci tempat ini. Laiknya sebuah rumah doa Pha Kak Liang adalah tempat peristirahatan jiwa. Kesunyian di tempat itu memudahkan kita bertemu dengan diri sendiri. Konon, kata orang-orang suci, Tuhan hanya bisa ditemukan dalam kesunyian batin. Saya mengenang Pha Kak Liang sebagai kesunyian yang memikat.

(Bersambung)

_________________
Pha Kak Liang
Desa Kuto Panji
Kecamatan Belinyu
Kabupaten Bangka.

Trip to Babel (8)

Kampung Gedong, Diorama Hidup Kaum Migran Tiongkok

Sekitar 51 km dari kota Sungai Liat atau 90 km sebelah utara Kota Pangkal Pinang ada perkampungan tua yang dihuni masyarakat asli Cina. Kampung Gedong namanya. Sebanyak 50 kepala keluarga tinggal di kampung itu. Sejak tahun 2000 pemerintah daerah setempat menetapkan kampung tersebut sebagai desa wisata.

Selain Kampung Gedong, perkampungan asli masyrakat Cina juga ada di Parit Tiga Jebus, Kecamatan Jebus, Kabupatan Bangka, sekitar 124 km dari Kota Sungai Liat. Pemukiman yang sama juga ada di daerah Kuto Panji, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, sekitar 54 km dari Kota Sungai Liat. Perkampungan Cina dan kebudayaan Cina yang berserakan di Bangka adalah catatan hidup dari sejarah eksplorasi timah di pulau itu.

Pada hari ketiga, sebelum kembali ke Jakarta, kami menyempatkan diri mengunjungi Kampung Gedong. Sekitar setengah jam perjalanan dari Kota Sungai Liat kami tiba di depan sebuah gapura sederhana terbuat dari besi bercat biru muda. Di bagian atasnya terdapat tulisan “Selamat Datang di Desa Wisata Desa Gedong – Kec Belinyu”.

Di depan desa dekat gapura ada kuil kecil tempat pemujaan. Warnanya khas, merah menyala dengan ornamen kuning keemasan. Rumah-rumah tua dari kayu berdiri di kiri kanan jalan desa. Setiap rumah memiliki semacam meja kecil sesaji dengan wadah dupa di tiang pintu depan rumah. Di dalam rumah, di bagian depan yang menghadap ke pintu selalu ada meja sembahyang.

Suasana perkampungan itu sangat sepi dan tenang. Satu dua penghuni kampung tampak duduk di depan rumah menatap kami dengan pandangan menyelidik begitu rombongan kami beriringan masuk kampung.

Kampung Gedong adalah diorama hidup dari sejarah etnis Tionghoa di Bangka. Kehidupan di kampung ini mengambarkan kehidupan yang sama seabad silam ketika kaum migran dari Cina daratan berdatangan mengadu peruntungan sebagai penambang timah.

“Disebut Kampung Gedong karena di kampung ini ada rumah besar. Rumah gedong gitulah. Nanti kita melewati rumah itu,” jelas Elise, pemandu kami dari agen perjalanan setempat.

Yang disebut rumah gedong bukanlah rumah bertingkat dengan desain modern melainkan rumah besar berdinding kayu yang terlihat aus ditempa hujan dan panas matahari. Rumah itu memang paling besar di antara rumah yang lain. Di depan rumah ada plang bertuliskan “Dilarang Masuk”.

“Dulu kita boleh masuk melihat-lihat ke dalam rumah itu. Tapi, belum lama ada pengunjung yang main selonong masuk-masuk ke rumah tanpa permisi. Yang punya rumah marah dan tidak mau lagi rumahnya dimasuki orang luar,” jelas Elise lagi.

Masyarakat Tionghoa di Bangka Belitung adalah keturunan suku Ke Jia atau sering disebut orang Khe. Pada awal abad 18 mereka bermigrasi bedol desa dari Provinsi Guang Dong, Tiongkok. Kala itu orang-orang Suku Ke Jia terkenal sebagai penambang ahli. Sultan Palembang penguasa Bangka sengaja mendatangkan mereka untuk mengolah cadangan timah.

Mulanya yang datang ke Bangka Belitung hanyalah kaum lelaki pekerja. Mereka seperti kaum urban di Jakarta yang secara berkala mudik ke kampung halaman di Tiongkok sana. Banyak pula yang kemudian menetap dan menikah dengan gadis melayu. Keadaan ini terus berlangsung hingga abad ke-20.

Perlahan namun pasti jumlah migran Tionkok terus bertambah. Tidak lagi hanya kaum lelaki kaum wanita juga mulai berdatangan. Lama kelamaan terciptalah pola perkampungan yang unik. Masyarakat Bangka-Melayu yang sehari-hari hidup dari berkebun tinggal dekat sungai. Sementara warga Tionghoa selalu tinggal di sekitar lubang tambang timah.

Masyarakat di Kampung Gedong adalah keturunan enam bos timah yang dahulu menguasai penambangan di Parit 6. Kegemilangan para bos migran itu telah berlalu dimakan jaman. Kini kampung itu tidak lagi dikenal sebagai kampung penambang melainkan kampung penghasil kemplang.

Kemplang adalah sejenis kerupuk ikan yang banyak dibuat di Palembang dan tempat lain di Sumatera Selatan. Kemplang dibuat dari tapioka, ikan berdaging putih, dan bumbu-bumbu lainnya. Cara pembuatan kemplang cukup sederhana. Daging putih dari ikan digiling, dicampur dengan sedikit air dan bumbu, kemudian diaduk sampai rata dan khalis. Adonan yang dihasilkan dicetak, dikukus, dijemur dan dipanggang atau dijemur.

Entah bagaimana asal mulanya masyarakat di kampung ini beralih profesi menjadi pengrajin kemplang. Kami berjalan terus menuju belakang kampung. Kami memasuki salah satu rumah. Dari luar rumah itu tampak sepi. Rupanya aktivitas penghuninya terjadi di belakang rumah. Ada ruangan besar di bagian belakang yang terhubung dengan rumah induk. Dua orang perempuan setengah baya tampak menggiling tepung tapioka. Di sudut lain dua orang perempuan muda tengah membersihkan ikan.

“Jangan foto. Jangan foto,” salah seorang perempuan muda yang membersihkan ikan berkata sambil memberi tanda dengan tangannya ketika seorang anggota rombongan ingin mengambil gambar mereka. Elise berbisik pada saya yang juga membawa kamera. “Mereka tidak mau difoto. Jangan difoto ya. Nanti mereka marah.”

Saya urung megambil gambar. Saya hanya hilir mudik di dalam rumah tua itu. Ruang depan selain sebagai ruang tamu juga berfungsi sebagai ruang sembahyang. Ada televisi 14 inch di situ. Beberapa orang bocah terkikik menonton tayangan tivi. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Baru saya tahu kemudian dari Elise, masyarakat Kampung Gedong masih berbicara dalam bahasa Khe.

Beberapa teman, terutama para perempuan, berkerumun di ruang tengah yang berfungsi sebagai gudang. Jual beli kemplang berlangsung di ruang itu. Kami tidak lama di Kampung Gedong. Selesai urusan belanja oleh-oleh kami beranjak meninggalkan kampung.

Ketika berjalan keluar kampung ada yang menarik perhatian saya. Di beberapa rumah ada kain merah yang diselempangkan di atas daun pintu.
“Elise, kain merah itu ada artinyakah?” tanya saya.
“O, iya. Itu artinya ada anak gadis di rumah itu,” bisik Elise.

Ooo…Saya berusaha mencuri pandang tiap kali melewati rumah berselempang kain merah. Tapi, tidak pernah berhasil melihat anak gadis pemilik rumah. Ah, mungkin mereka malu dan bersembunyi di dalam kamar.

(Bersambung)

Trip to Babel (7)

Top of the Top: Buntut Ikan Tenggiri, Gangan dan Lempah

Sinar matahari Bangka begitu menyengat kulit ketika kami tiba di Pelabuhan Pangkalan Balam, Pangkal Pinang, Bangka. Hari sudah lewat tengah hari. Perut sudah mulai keroncongan.

Di pintu pelabuhan kami melihat tiga orang perempuan muda cantik membawa kertas putih bertuliskan “Tour Jalansutra”. Aha, rupanya mereka pemandu kami selama di Bangka dari agen perjalanan setempat. Pintar nian Andrew mencari partner lokal.

“Kita ke Asui makan siang!” Andrew berteriak saat kami berjalan menuju mobil. Yup! Semua anggota rombongan sudah kelaparan siang itu.

RM Mr Asui terletak di tengah kota Pangkal Pinang, tepatnya di Jalan Kampung Bintang. Kami sempat bingung ketika minibus berhenti di ujung jalan di sebuah persimpangan. Elise, pemandu kami dari agen perjalanan lokal, memberitahu bahwa kami sudah tiba di RM Mr Asui. Kami turun dan melihat plang besar bertulis RM Mr Asui di ujung persimpangan. Namun rumah toko di bawah plang itu tutup.

Rupanya Mr Asui tidak terletak di pinggir jalan. Di sisi ruko yang tutup itu ada jalan kecil berupa gang. RM Mr Asui terletak di dalam gang itu. Ada tiga rumah makan dalam satu deret rumah yang saling berhubungan. Rumah-rumah itu beratap tinggi. Rumah pertama menjual babi panggang, rumah kedua seafood, rumah ketiga mie bangka. Tujuan kami adalah rumah makan yang di tengah, seafood. Mr Asui terkenal dengan seafoodnya.

Menurut Andrew menu makan siang kami sudah disiapkan. Betul saja, sebuah meja panjang sudah tersusun rapi dan lengkap dengan peralatan makan di atas meja. Kami segera memilih posisi. Tidak lama satu persatu makanan keluar. Tiga menu yang perlu dicatat: buntut ikan tenggiri bakar, kepiting saus padang dan tiram serta lempah kuning dan nanas.

Andrew menjelaskan, buntut ikan tenggiri Mr Asui sengaja dipilih sebagai santap siang di hari kedua karena menu ini dipandang sebagai top of the top menu sepanjang wisata kuliner kami. Hidangan ini diolah dengan sangat sederhana, tapi disajikan secara provokatif. Buntut ikan tenggiri sepanjang kurang lebih 30 sentimeter berdaging tebal disajikan utuh lengkap dengan sirip di bagian ekor. Bagian tengahnya disayat lalu dipanggang begitu saja. Dagingnya fresh. Gurih sekali. Dicocol dengan sambal terasi khas bangka, hmmm…yummy….

Olahan kepitingnya juga unik. Seperti lazimnya, potongan-potongan kepiting ditaruh di atas piring besar ditaburi saus. Yang agak berbeda adalah racikan bumbu sausnya. Bumbu saus tiram dan padangnya berbeda dengan Jakarta. Mr Asui lebih manis. Ini yang khas dari Bangka Belitung, olahan bumbu rempahnya selalu diwarnai rasa manis yang dominan dengan pedas di belakang.

Berikutnya lempah kuning dan nanas. Nah, ini dia yang spesial dari Bangka Belitung. Pernah dengar gangan? Apa beda lempah dan gangan? Saya berjanji menuliskannya untuk Anda. Gangan dan lempah adalah sebutan yang berbeda untuk sup ikan khas Bangka Belitung. Gangan populer di Belitung sementara lempah di Bangka. Tampilan keduanya mirip gulai tapi tidak bersantan. Kuahnya agak bening. Rasanya asam manis pedas.

Di RM Mabai, Tanjung Tinggi, kami mencicipi gangan. Isinya kepala ikan ketarap yang berlemak. Gangan khas Belitung dimasak dengan nanas dengan bumbu kemiri, kunyit, lengkuas, cabe dan asam. Sementara di RM Mr Asui kami disajikan dua pilihan lempah kuning dan nanas. Lempah kuning dimasak tanpa nanas berisi ikan pari yang dipotong kotak-kotak. Sementara, lempah nanas dimasak dengan nanas dengan potongan ikan bawal di dalamnya. Lempah nanas lebih manis dibanding lempah kuning. Mungkin Mr Asui menggunakan nanas madu.

Lantas apa bedanya gangan dan lempah? Setelah mencicipi keduanya, menurut saya, gangan di Belitung lebih berani bumbunya. Strong spicy. Kuahnya lebih kental. Sementara lempah lebih lembut dengan kuah lebih bening. Menyantap gangan dan lempah samar-samar saya teringat rasa sayur asam sunda.

Mana yang lebih enak? Tergantung selera. Sebagian suka lempah kuning, sebagian lagi suka lempah nanas. Saya sendiri sangat terkesan dengan gangan di RM Mabai Tanjung Tinggi. Rasanya lebih gahar!

Bermalam di Sungai Liat

Usai menandaskan seafood Mr Asui kami menghabiskan siang dengan mengunjungi penjual babi panggang khas bangka di depan Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka. Ada beberapa penjual di sana. Yang unik mereka berjualan di atas motor. Di sadel belakang motor ada kotak besar tempat gelondongan babi panggang. Tutup kotaknya berfungsi sebagai talenan untuk memotong-motong gelondongan babi sesuai pesanan. Babi panggang khas belitung memang juara. Kulitnya garing sementara dagingnya empuk dengan bumbu yang meresap jauh ke dalam daging.

Dari sana kami langsung menuju pusat penjualan oleh-oleh di belitung. Toko LCK di Jl Jend Sudirman, pusat kota Pangkal Pinang. Toko ini menjual macam-macam oleh-oleh khas Bangka. Sebagian besar adalah kerupuk bangka yang khas terbuat dari ikan. Yang lain daripada yang lain adalah rusip, teri mentah yang difermentasikan. Biasanya rusip digunakan untuk bumbu tapi juga bisa langsung dimakan. Toko ini juga menjual teripang yang sudah dikeringkan. Harganya bisa menjebol kantong. Di almari khusus tempat memajang teripang tertera keterangan enam sampai delapan ekor teripang harganya Rp 2.400.000. Wow!

Selanjutnya setelah memesan oleh-oleh kami meluncur ke Sungai Liat. Kami bermalam di Hotel Parai. Hotel Parai terletak persis di tepi pantai. Kalau pantai Tanjung Tinggi terbuka untuk umum, Pantai Parai hanya bisa dinikmati oleh mereka yang menginap di hotel itu. Pantai ini tak kalah indahnya dengan Tanjung Tinggi. Namun saya merasa tidak ada yang istimewa di sini. Mungkin karena terlalu banyak orang. Saya terus terkenang kesunyian di Tanjung Tinggi.

(Bersambung)

________________________
RM Asui
Jl Kampung Bintang
Kel. Bintang Dalam RT 12/93
Pangkal Pinang, Bangka
Telp: (0717) 423772

RM Mabai
Jl. Pantai Tanjung Tinggi
Belitung
Telp : (0719) 24338

Toko Oleh-oleh LCK
Jl Jend Sudirman No. 30
Pangkal Pinang, Bangka
Tel: (0717) 424163

Hotel Parai Indah
Jl. Pantai Parai Tenggiri
Sungailiat - Bangka
Telp. (0717) 9488, 9401

Trip to Babel (6)

Menyeberang Selat Gaspar

Kami hanya semalam menginap di Lor-In. Setelah puas mencumbui sunyi di Tanjung Tinggi pagi-pagi benar kami segera meluncur ke pelabuhan Tanjung Pandan untuk menyeberang Selat Gaspar menuju Pulau Bangka.

Ada catatan yang tersisa di Belitung tentang gangan. Kami menikmatinya sebagai santap malam di RM Mabai. Ijinkan saya menyimpan ceritanya sampai saya bertemu lempah di Bangka. Gangan dan lempah serupa tapi tak sama. Keduanya adalah yang khas dari Belitung dan Bangka.

Pukul 06.00 wib. Matahari belum sepenuhnya muncul. Sinarnya di ufuk timur membias menembus gumpalan awan kelabu di langit. Kabut masih menyelimuti dedaunan ketika minibus kami meluncur kembali ke Tanjung Pandan melintasi jalan yang sepi. Kami memang harus bergegas mengejar Kapal Express Bahari yang berangkat pk 07.00 wib melintasi Selat Gaspar menuju Bangka.

Kami tidak boleh terlambat. Jika kami ketinggalan kapal kami harus bermalam kembali di Belitung menunggu kapal esok pagi. Ya, pelayaran pagi Express Bahari menuju Bangka adalah satu-satunya jasa penyeberangan.

Kami tiba di pelabuhan pukul 06.45 wib. Kapal cepat berkapasitas kurang lebih 200 orang sudah menunggu. Tidak banyak penumpang pagi itu. Hampir separuh bangku kosong. Wah, jadwal keberangkatan ternyata molor. Kapal baru melepas sauh pukul 07.30 wib. Di atas kapal kami sempat menikmati lemper bakar sambal lingkung. Seorang ibu menjajakannya. Andrew membelinya sebagai bagian dari paket santapan yang kami nikmati dalam wisata ini. Lemper bakar ini rasanya gurih. Aroma bakar dari daun pisang yang membungkus lemper bercampur gurih sambal lingkung menjadi citarasa yang khas.

Perlahan kapal keluar dari teluk pelabuhan. Setelah keluar dari teluk seketika kapal menambah kecepatan. Udara cerah meski lagi-lagi langit di atas kami berwarna kelabu. Sampai hari kedua kami tidak berjumpa langit biru. Laut juga tenang pagi itu. Riak-riak putih berlompatan membuih di belakang kapal yang melaju cepat membelah laut. Hampir semua anggota rombongan tertidur di dalam kabin penumpang yang berpendingin udara. Hitung-hitung balas dendam karena harus bangun pagi-pagi.

Ada catatan penting yang harus Andan ingat jika melintas Selat Gaspar dengan kapal cepat ini. Rencanakanlah aktivitas yang ingin Anda kerjakan di atas kapal karena waktu yang harus ditempuh melintas selat ini adalah empat jam. Membawa bahan bacaan adalah pilihan yang baik.

Saya sempat tertidur satu jam. Selebihnya saya memilih duduk di dek menikmati laut lepas. Angin berhembus sangat kencang. Matahari terus meninggi dan panasnya makin menyengat. Di tengah laut kami menjumpai beberapa kapal nelayan mencari ikan.

Bajak laut

Di masa silam perairan ini adalah wilayah rawan. Banyak bajak laut berkeliaran. Potongan-potongan film Pirates of The Carribean timbul tenggelam dalam benak saya.

Selat Gaspar adalah bagian dari wilayah perairan Sumatera yang sejak dulu kala menjadi pusat lalu lintas perdagangan dunia. Pada masa itu perairan ini adalah jalur penghubung antara negeri di atas angin (sub benua India, Persia dan Arab) dengan negeri di bawah angin (nusantara) dan Asia Timur (Cina).

Tidak ada catatan yang mengungkapkan kerajaan tertentu di pulau ini. Catatan yang ada selalu menyebutkan bahwa kepulauan Bangka Belitung silih berganti dikuasai oleh kerajaan-kerajaan nusantara juga komplotan bajak laut. Kerajaan yang pernah menguasai Bangka Belitung adalah Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Johor, Mataram, Banten dan Kesultanan Palembang. Kerajaan-kerajaan itu berkepentingan menguasai perairan ini karena keberadaan bajak laut sangat mengganggu aktivitas perdagangan.

Sriwijaya adalah kerajaan pertama yang menguasai kepulauan ini. Hal ini ditunjukkan oleh prasasti Kota Kapur yang ditemukan oleh JK Van der Meulen di dekat Sungai Mendo, Dusun Kota Kapur, Desa Pernagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Desember 1892. Prasasti di atas tunggul batu itu berisi kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada Raja Sriwijaya.

Setelah kekuasaan Sriwijaya melemah, Sultan Johor dan sekutunya, Raja Alam Harimau Garang, menyerang Bangka untuk membasmi bajak laut. Kesempatan ini juga digunakan untuk menyebarkan agama Islam di kepulauan ini. Perlahan peradaban Islam menggantikan peradaban Hindu di kepulauan ini.

Seiring melemahnya Kerajaan Johor bajak laut kembali bersarang di kepulauan ini. Kapal-kapal saudagar yang membawa barang-barang niaga dirampas dan dirampok. Begitu mengganggunya keberadaan bajak laut di kepulauan ini sampai-sampai Sultan Banten mengirim pasukannya ke Bangka membasmi bajak laut.

Untunglah saya melintasi selat ini di abad 21. Tidak ada lagi bajak laut. Ah, tidak terasa pelabuhan Pangkalan Balam, Pangkal Pinang, Bangka, sudah terlihat di depan mata. Banyak perahu-perahu besar bersandar di sana. Saya bergegas turun ke ruang penumpang mengemasi bawaan.

(Bersambung)

Trip to Babel (5)

Waktu Berhenti di Tanjung Tinggi

Usai melihat pabrik sambal lingkung Freddy Boen, kami menikmati santap siang di RM Pribumi di kota Tanjung Pandan. Ini rumah makan melayu dengan hindangan khas bersantan. Menunya udang berbumbu merah dengan tomat-tomat kecil utuh, cumi bersantan berwarna kuning, orek tempe, krecek bersantan kental, tongkol goreng. Melihat fisiknya saya mengira udang dan cuminya pasti pedas. Ternyata tidak! Kedua menu tersebut rasanya manis. Menu unggulan rumah makan ini adalah kepiting telur. Olahannya sederhana saja: cangkang kepiting dimasukan ke dalam telur yang sudah diaduk lalu digoreng. Rasanya pun sederhana, gurih sedikit asin. Menu ini cuma ada di RM Pribumi.

Usai santap siang kami meluncur ke Tanjung Tinggi. Di sana kami akan bermalam. Menurut cerita pantai Tanjung Tinggi amatlah elok seelok Dian Sastro yang selebritis itu. Dalam salah satu artikelnya di kolom Jalansutra Pak Bondan pernah menulis “Ke Belitung Tanpa Dian Sastro”. Pengambilan gambar untuk iklan sebuah sabun kecantikan yang dibintangi Dian Sastro diambil di pantai ini. Sabun kecantikan yang dibintangi bintang cantik diambil di tempat yang cantik. Alamak! Saya tidak ingin mengamini semua “provokasi” itu sebelum datang dan melihatnya sendiri.

Tanjung Tinggi terletak di bagian Utara Pulau Belitung. Jaraknya sekitar 24 km dari Tanjung Pandan dengan waktu tempuh kurang dari satu jam. Hujan deras menemani perjalanan kami ke sana.

Untunglah menjelang Tanjung Tinggi hujan berhenti. Kalau tidak bagaimana kami bisa menikmati pantai sebelum hari gelap. Jalanan lengang. Minibus kami meluncur deras menyusuri pinggir pantai. Dari jendela minibus saya bisa melihat bibir pantai berpasir putih di sela-sela rerimbunan semak di kiri jalan.

Kami tiba di Bungalow The Villa Lor-In sekitar pk 15.00 wib. Ini adalah satu-satunya resort terbaik di sini. Beberapa bagian bangunannya kurang terawat. Di sejumlah tempat alang-alang tumbuh tinggi tidak terpotong. Vila Lor-In terletak persis di depan pantai yang dipisahkan oleh jalan raya. Ada belasan cottage di tempat peristirahatan tanpa pagar ini.

Tempat ini sepi. Sunyi. Kita bisa mendengar suara serangga di siang hari. Selesai membereskan barang bawaan di kamar, kami segera meluncur ke Pantai Tanjung Tinggi yang jaraknya sekitar dua kilometer dari Lor-In.

Wow! Pantai yang perawan. Rombongan kami adalah satu-satunya kerumunan di tempat itu. Pasirnya putih halus. Andrew tidak menipu saya ketika bercerita tentang pasirnya yang sehalus tepung terigu. Pantai ini tenang sekali seperti puteri yang sedang lelap tertidur. Tidak ada debur ombak di airnya yang jernih memantulkan biru langit. Sungguh, Tanjung Tinggi adalah keindahan yang tersembunyi. Saya bisa mengerti kenapa Dian Sastro dipadukan dengan pantai ini.

Di sepanjang sisi pantai ada banyak sekali batu granit besar-besar. Saya membayangkan betapa ajaibnya tangan-tangan besar yang menyusun batu-batu ini. Sejumlah tumpukan batu membentuk tebing kecil. Di bawahnya terdapat celah-celah serupa lorong yang bisa dilewati orang. Kami menyusuri celah-celah batu yang terendam air laut. Gerombolan ikan-ikan kecil sebesar ibu jari mencandai kaki kami.

Beberapa teman segera menceburkan diri ke dalam laut. Snorkeling. Lor-In menyewakan peralatannya. Tidak mahal. Hanya Rp 10 ribu. Saya memilih duduk di atas sebuah batu besar menikmati pemandangan lepas ke laut luas. Di tengah laut tampak beberapa perahu nelayan hilir mudik perlahan. Di bawah terdengar derai tawa teman-teman ditingkahi kecipak air.

Entah berapa lama saya duduk terdiam di atas batu besar itu. Ketika saya sadar saya tidak lagi mendengar kegaduhan. Pantai ini tiba-tiba sunyi. Saya melihat ke bawah. Teman-teman membentuk kelompok-kelompok kecil duduk di atas batu-batu besar. Di salah satu batu besar Irvan dan Andrew tampak tidur telentang.

Hari menjelang senja. Matahari turun di depan pandangan kami. Ah, sayang sekali, awan tebal menutup langit di ufuk barat yang mulai menguning. Sekelompok camar terbang di langit menari ditiup angin. Saya terus terdiam…kembali hilang… dan waktu berhenti di Tanjung Tinggi…

(Bersambung)

_____________________
The Villa Lor-In
Resor Belitung Indah - Tanjung Tinggi
Belitung 33451
Telp: (0719) 24100

Trip to Babel (4)

Sambal Lingkung, Sambal Tanpa Cabe

Di tengah jalan, saat hendak menuju Warung Kopi Ake, seorang enci tua menjajakan roti kepada rombongan kami. “Roti isi sambal lingkung,” jajanya. Hah! Roti isi sambal?! Ini yang khas dari Bangka Belitung. Sambal lingkung. Di sini sambal bukanlah ulekan cabe seperti di Jawa. Sambal lingkung adalah abon ikan. Namun, sulit bagi saya mempersepsikan kata sambal tanpa mengaitkannya dengan cabe. Roti isi sambal lingkung bukanlah roti berisi sambal ulekan cabe tapi berisi abon ikan.

Selepas meneguk kopi di Warung Kopi Ake kami melanjutkan perjalanan ke salah satu pabrik pembuat sambal lingkung di Belitung. Kami mengunjungi pabrik milik Freddy Boen di kawasan Pelempang Timur.

Laiknya kawasan pantai, tangkapan ikan di kawasan Bangka Belitung kadang tidak habis terjual. Aneka penganan lantas berkembang dengan ikan sebagai bahan dasar olahan. Di Palembang kita mengenal pempek sebagai salah satu makanan khas daerah itu yang diolah dengan bahan dasar ikan. Di Bangka dan Belitung ikan juga diolah menjadi terasi dan kerupuk. Nah, sambal lingkung adalah salah satu makanan hasil kreativitas olahan ikan.

Pabrik sambal lingkung Freddy Boen terletak di pinggir kota Tanjung Pandan. Yang disebut pabrik hanyalah bangunan persegi panjang dengan tiga tungku kayu bakar besar di dalamnya. Di atas masing-masing tungku terdapat dua wajan besar. Diperlukan sebuah dayung untuk mengaduk tumbukan ikan yang kelak matang menjadi sambal lingkung. Wangi ikan sudah tercium saat kami memasuki areal pabrik ini.

Membuat sambal lingkung ternyata tidak sulit. Ikan kakap atau tenggiri dibersihkan lalu dikukus sampai matang. Setelah itu tulang-tulangnya dibuang kemudian ditumbuk sampai halus. Bumbu yang disiapkan adalah santan kental yang digodok bersama bumbu-bumbu yang sudah digerus halus, kecuali serainya yang hanya pecah. Setelah mendidih masukkan daging ikan yang sudah ditumbuk halus tadi. Aduk terus sampai kering.

Di pabrik sambal lingkung Freddy satu wajan besar membutuhkan waktu pengadukan empat jam. Satu kilogram ikan hanya menghasilkan lima ons sambal lingkung. Sambal lingkung yang sudah matang akan berwarna coklat. Sambal lingkung sangat cocok untuk pelengkap makan roti pengganti selai atau dimakan sebagai lauk dengan nasi. Baunya wangi. Rasanya gurih. Nah, ini ada oleh-oleh resep sambal lingkung.

Bahan:
1. 1 kg ikan kakap/ tenggiri yang masih segar
2. 2 butir kelapa
3. 10 bungkul bawang merah
4. 2 bungkul bawang putih
5. 5 gr terasi
6. 10 butir kemiri
7. 2 batang serai
8. 5 lembar daun jeruk purut
9. 20 gr laos
10. 1 sendok makan gula
11. 1 sendok makan garame


Cara membuat:
1. Bersihkan ikan, buang sisik dan isi perutnya.
2. Kukus ikan sampai matang.
3. Setelah matang buang tulangnya dan tumbuk daging ikan sampai halus.
4. Parut kelapa lalu tambahkan air sedikit demi sedikit untuk menghasilkan santan kental sampai kira-kira 5 gelas.
5. Cuci bersih bumbu seperti bawang merah, bawang putih, terasi, dan lain-lain lalu tumbuk sampai halus. Serai cukup digepyak saja.
6. Masukkan bumbu yang sudah halus ke dalam wajan yang berisi santan kental, godok sampai mendidih. Aduk sesekali supaya santannya tidak pecah.
7. Campur daging ikan halus ke dalam santan berisi bumbu. Aduk terus sampai adonan kering berwarna coklat.


(Bersambung)

Trip to Babel (3)

Mie Belitung dan Secangkir Kopi Ake

Di Belitung ada dua kedai mie yang sering disebut-sebut: Kedai Mie Acu dan Atep. Tour Kuliner Jalansutra memilih Mie Atep sebagai santapan pagi kami. Andrew tidak sedang bercanda ketika meminta kami menebak yang manakah Kedai Mie Atep.

Ada banyak ruko di sepanjang Jl Sriwijaya, Tanjung Pandan, Belitung. Tapi, kami tidak menemukan tulisan “Atep” di ruko-ruko itu. Andrew menunjuk satu ruko yang di depannya terpampang beberapa kain spanduk voucher telepon seluler. Setelah menghampiri ruko itu kami baru yakin bahwa itu memang kedai mie bukan kios penjual voucher.

Begitu menemukan kedai mie rombongan langsung menyerbu masuk. Melihat ada pelanggan berbondong-bondong si Enci penjual mie tergopoh-gopoh menyiapkan piring. Selain menjual mie kedai ini juga menyajikan nasi tim ayam.

Mie Belitung berbeda dengan Mie Bangka. Meski sama-sama masakah peranakan Mie Belitung tidak menggunakan babi. Bentuk mie-nya tebal disajikan bersama tauge, irisan tahu, irisan kentang, irisan bakwan dan ketimun dengan toping emping melinjo. Di atas mie disiramkan kuah kental rebusan udang berwarna coklat. Rasanya…hmmm….manis, asam, gurih, dengan wangi udang.

Ada minuman khas Bangka Belitung yang hampir selalu ada di setiap kedai makanan. Minuman ini begitu lazimnya seperti es jeruk di Jakarta. Namanya jeruk kunci. Jeruk kunci adalah jeruk kecil sebesar jeruk nipis. Rasanya asam. Biasanya 4-6 jeruk kunci dipadu dengan gula putih. Di tambah es minuman ini segar sekali untuk hawa Tanjung Pandan yang panas.

Tidak lama-lama kami di sana. Sepiring Mie Belitung Atep menjadi pembuka rangkaian tour kuliner kami. Good! Menu pembuka yang nikmat.

Secangkir Kopi Ake

Setelah menandaskan sepiring mie kami melanjutkan pagi di Tanjung Pandan dengan mengunjungi kedai kopi Ake. Letaknya tidak jauh dari kedai mie Atep. Kami berjalan beberapa ratus meter melingkar ke belakang deretan ruko. Di belakang ruko itu terdapat Pasar Tanjung Pandan. Warung kopi Ake terletak di tengah pertokoan di pasar itu.

Di antara bangunan toko berdinding kusam yang sebagian catnya megelupas ada sepetak pelataran. Di salah satu sisinya ada dua warung kopi. Cirinya khas. Ada banyak gelas di depan warung itu. Bangunannya jauh dari bagus. Beberapa bagian dinding warung itu gompal. Sementara atapnya dari seng yang sebagian sudah berkarat berwarna coklat tua kehitaman.

Di depan warung itu ada meja-meja kecil. Sebagian meja kayu sebagian lagi meja bundar dari semen. Jika ingin duduk di dalam juga ada meja panjang yang menempel di dinding.

Di Belitung, seperti halnya kebudayaan pesisir di Sumatera, orang minum kopi bukan sekadar menikmati kopinya. Jauh lebih penting dari rasa secangkir kopi adalah interaksi sosial dalam momen minum kopi itu. Maka minum kopi di kedai kopi akan kehilangan makna kalau kita menikmatinya sendirian. Berbeda dengan kedai kopi ala Starbucks di Jakarta dimana orang datang sendiri lalu membuka laptop.

Dalam tradisi Melayu pesisir minum kopi adalah momen berbagi cerita dan informasi. Juga momen untuk diskusi. Tak heran kalau menghabiskan secangkir kopi bisa mamakan waktu berjam-jam.

“Kalau Anda mau tahu ada apa di Belitung hari ini, tidak perlu membeli koran. Datang saja ke kedai kopi. Semua informasi akan Anda dapatkan di sana,”jelas Kusumah, pemandu perjalanan kami dari agen perjalanan setempat.

Kawasan warung kopi Ake dikenal dengan sebutan Kafe Senang. Entah darimana asal-usul itu. Dari dulu sudah disebut demikian. Warung kopi Ake sendiri sudah ada di tempat itu selama empat generasi. Warung itu kini dijaga oleh Akiong (53) anak Ake (75) yang sekarang tinggal di Jakarta. Warung kopi ini pertamakali didirikan oleh kakek Ake. Akiong tidak tahu tahun berapa persisnya warung kopi ini berdiri.

Baik di Bangka maupun Belitung secangkir kopi disajikan dengan cara yang khas. Bubuk kopi tidak dituang satu-satu ke masing-masing gelas melainkan diaduk dalam sebuah gelas besar. Dari gelas besar itu kopi dituangkan ke dalam gelas dengan saringan berbentuk seperti kaos kaki. Dengan cara ini ampas kopi tidak ikut dalam gelas yang disajikan kepada pelanggan.

Saya pernah minum kopi di beberapa kedai kopi di Jambi, Palembang, Medan dan Lhokseumawe. Dengan kadar kekentalan yang berbeda citarasa kopinya sama. Robusta. Di warung Ake kopi yang disajikan tidak terlalu pekat, meski warnanya hitam. Selain panas kopi di sana juga lazim disajikan dingin dengan es atau dicampur susu kental manis.

(Bersambung)

_______________
Mie Belitung Atep
Jl Sriwijaya 27, Tanjung Pandan, Belitung

Warung Kopi Ake
Di tengah Pasar Tanjung Pandan, Belitung
(tanya saja Warung Kopi Ake, semua orang di sana tahu)

Trip to Babel (2)

Belitung, Surga yang Ditinggalkan

Belitung tidak jauh dari Jakarta! Ya, betul, tidak jauh. Hanya 45 menit penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Waktu tempuh menuju Belitung jauh lebih singkat dibanding perjalanan saya pulang kantor dari Palmerah menuju Bekasi yang harus ditempuh selama 90 menit.

Pukul 08.00 wib saya sudah tiba di Belitung. Mata saya masih terkantuk ketika roda Sriwijaya Air yang membawa 30 anggota rombongan tour kuliner Jalansutra mendarat mulus di Bandara HAS Hanandjoeddin, Belitung. Di luar cuaca cerah menyambut kedatangan kami. Sejumput awan kelabu menggantung di ufuk barat menutup langit biru. Selamat datang di Belitung.

Belitung adalah kabupaten kepulauan dengan 189 pulau besar dan kecil yang mengelilinginya. Wilayah seluas 34.496 km persegi ini terdiri dari 4.800 km persegi luas daratan dan 29.606 km persegi luas perairan. Secara geografis Kepulauan Belitung berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara dan Laut Jawa di selatan. Sementara di sebelah timur terdapat Selat Karimata yang memisahkan Belitung dengan Pulau Kalimantan dan di barat terdapat Selat Gaspar yang memisahkan Belitung dengan Pulau Bangka.

Bandara Hanandjoeddin adalah bandara kecil yang sepi. Kesibukan di bandara ini hanya terjadi di pagi hari. Sebab, lalulintas penerbangan menuju dan dari Belitung hanya ada pagi hari. Ada dua maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Belitung yaitu Sriwijaya dan Batavia Air. Setibanya dari Jakarta kedua maskapai ini langsung melayani penerbangan Belitung-Jakarta. Selepas itu bandara kecil ini kembali sepi.

Suasana bandara ini jauh berbeda dibanding dulu pada masa kejayaan timah Belitung di era tahun 80an. Hanandjoeddin tidak sesepi ini. Pada masa itu setidaknya ada empat maskapai penerbangan, Merpati, Deraya, Sempati, termasuk Garuda, hilir mudik di langit Belitung. Hanya berselang satu dekade lalu keriuhan Hanandjoeddin memudar seiring berlalunya kejayaan timah di wilayah ini.

Hanandjoeddin yang namanya diabadikan sebagai nama bandara adalah seorang penerbang yang menjadi bupati Belitung beberapa puluh tahun lalu. Sebelum Bangka dan Belitung melepaskan diri dari Sumatera Selatan Bupati Hanandjoeddin sudah mencetuskan gagasan tersebut. Ketika akhirnya Bangka Belitung menjadi provinsi pada 4 Desember 2000 Hananjoeddin sudah meninggal dunia. Karena jasanya dalam mengembangkan kota Belitung namanya diabadikan menggantikan nama bandara sebelumnya Buluh Tumbang.

Dari bandara kami langsung menuju Kota Tanjung Pandan yang jaraknya 14 km. Jalanan sepi. Minibus yang kami tumpangi melaju sendiri di jalan aspal yang mulus. Di kiri kanan jalan tampak rumah-rumah penduduk khas melayu berdinding kayu dengan panggung pendek dari semen. Seperti layaknya rumah-rumah di desa rumah-rumah di sana berdiri di tengah halaman luas dikelilingi pohon-pohon tinggi. Masing-masing rumah berjarak belasan meter.

Sepanjang perjalanan satu hal yang menarik perhatian saya adalah tanah di sana tertutup pasir putih. Saya tidak tahu persis, apakah pasir putih menutupi tanah atau memang tanahnya berwarna putih. Irvan Kartawiria, teman saya di Komunitas Jalansutra menjelaskan, warnah putih menandakan bahwa bumi Belitung kaya akan kandungan mineral.

Kurang lebih 30 menit kami memasuki kota Tanjung Pandan. Rumah-rumah penduduk tampak lebih rapat satu sama lain. Tanjung Pandan adalah kota yang lengang. Tidak banyak aktivitas kendaraan hilir mudik di jalan kota ini. Memasuki kota saya merasa aura kota yang kelabu. Kota ini begitu bersahaja untuk tidak menyebutnya tertinggal. Gedung-gedung di sepanjang jalan kota terkesan kumuh. Sukabumi jauh lebih modern dan bersih.

Kami berhenti di pusat kota di tengah pertokoan di kiri kanan jalan. Turun dari bis saya tercenung. Sulit membayangkan kekayaan isi perut bumi kota ini hanya menyisakan rumah-rumah beratap seng karatan berwarna coklat kemerahan.

“Sepi ya, Bang. Beda dengan Jakarta,” sapaan Kusumah, pemandu wisata kami dari agen perjalanan setempat, membuyarkan lamunan saya
“PT Timah sudah lama pergi. Jadi kotanya sepi,” lanjutnya seolah mengerti isi kepala saya.

Timah pernah menjadi primadona di kota berpenduduk 200 ribu jiwa ini. Penambangan timah di Belitung telah dimulai sejak tahun 1852 oleh perusahaan swasta Belanda Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton (GMB). Bersama Bangka isi perut Belitung menjadi gudang uang pemerintah Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Belitung seperti surga. Konon, timah di Belitung berserakan di atas tanah. Para penambang cukup mengayak tanah di permukaan untuk mendapatkan timah. Selama lebih dari satu abad industri timah merupakan penggerak utama perekonomian Belitung.

Tahun 1985 harga pasaran timah dunia mulai merosot. Kejayaan timah lambat laun memudar. Keadaan ini memaksa PT Timah, badan usaha milik negara yang bergerak dalam industri pertambangan timah di Indonesia mengadakan restrukturisasi. Salah satu langkah yang ditempuh adalah membubarkan Unit Penambangan Timah Belitung (UPT-Bel) pada 29 April 1991.

Saya ingat dalam perjalanan dari bandara saya kerap melihat gundukan tanah bekas galian. Tidak ada aktivitas di bekas galian-galian itu. “Kami menyebutnya kolong. Itu lubang bekas galian timah oleh para penambang liar. Ada banyak kolong di Belitung maupun di Bangka. Lubang-lubang itu ditinggalkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang,” jelas Kusumah sambil tersenyum.

Tapi, Belitung masih beruntung. Selain timah, pada wilayah seluas 550 hektar terdapat kandungan 85 juta ton kaolin. Mineral galian ini antara lain digunakan untuk bahan baku keramik, bahan pemutih kertas dan bahan pencampur pembuatan cat. Selain itu, juga sebagai bahan pencampur dalam industri bata tahan api.

Selain kaolin juga masih ada pasir kuarsa, pasir bangunan, dan tanah liat. Tetapi, mineral galian ini adalah bahan tambang yang sifatnya tidak bisa diperbarui. Setali tiga uang dengan timah, jika dikuras terus-menerus dikhawatirkan akan habis. Jika semua kekayaan tambang habis bisa jadi Belitung akan sepenuhnya ditinggalkan.

“Kita sarapan Mie Belitung! Coba cari warung Mie-nya yang mana,” tiba-tiba suara Andrew Mulianto membuyarkan lamunan saya. Jam di pergelangan tangan saya menunjuk pukul 08.38 wib. Mendengar suara Andrew saya mendadak lapar. Waktunya sarapan. Nah, ini surga yang lain di Belitung.

(Bersambung)

Trip to Babel (1)

Apa yang menarik dari Bangka Belitung? Babel (Bangka-Belitung) Mendengar nama itu, yang ada di kepala saya hanya tempat penambangan timah yang gersang, panas dan kotor.

“Eit, jangan salah! Daerah itu adalah salah satu tempat terindah di Indonesia yang tidak pernah terkeskspos,” Andrew Mulianto, teman saya dari komunitas Jalansutra menjelaskan.
“Pantainya,” lanjut Andrew, “wuiiiihhhhh,” dia mengangkat dua jempol tangannya.
“Pasirnya putih, halus seperti terigu,” promo dia.

Terus terang, Babel tidak pernah masuk dalam list tempat yang harus saya kunjungi. Tentang makanannya saya hanya tahu Martabak Bangka. Selebihnya yang saya tahu tentang Babel adalah timah dan lada putih. Dalam buku pintar yang isinya wajib dihapal ketika saya di sekolah dasar disebutkan, Pulau Bangka adalah penghasil timah terbesar di Indonesia. Selain itu, pulau tersebut juga dikenal sebagai pulau lada putih. Lada asal Bangka mashyur hingga mancanegara.

Menurut sejarah, nama Bangka berasal dari kata “wangka” yang artinya timah. Entah kapan pulai ini disebut Bangka, yang pasti kata “wangka” tertoreh pada prasasti Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di dekat Kota Kapur, Bangkat Barat, bertarikh 686 masehi. Biji timah sendiri baru ditemukan pertama kali di pulau itu sekitar tahun 1709 oleh orang-orang Jahore yang melakukan penambangan pertama di tepi Sungai Olin, Toboali.

Pada masa jayanya, tiga perempat cadangan timah di Indonesia berada di Pulau Bangka. Kini kejayaan timah akan menjadi masa lalu karena potensi yang tersisa makin menipis. Jangan kaget, di Pulau Bangka dan Belitung lubang-lubang bekas penggalian timah mencapai lebih dari 20 ribu hektar luasnya.

Pada tahun 2000 Bangka bersama Belitung dan beberapa kepulauan kecil di sekitarnya melepaskan diri dari Sumatera Selatan dan menetapkan diri sebagai provinsi sendiri. Selat Bangka memisahkan Sumatra dan Bangka, sedangkan Selat Gampar memisahkan Bangka dan Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Tiongkok Selatan. Sementara di selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Belitung oleh Selat Karimata.

Usai kejayaan timah, nampaknya Provinsi muda ini perlu mempromosikan diri lebih gencar tentang keelokan dirinya. Tentang Belitung, Bondan Winarno dalam salah satu artikel Jalansutra pernah menulis, konon pulau ini adalah patahan Pulau Bali, Balitong. Seorang ahli geografi Belanda menyebut Biliton. Lafal lidah Melayu kemudian mengucapkannya sebagai Belitung.

Andrew tidak berlebihan ketika mempromosikan pantai di kepulauan Babel ini. Beberapa referensi yang saya baca juga menyebutkan Babel terkenal dengan 3S: Sea (laut), Sand (pasir pantai), dan Sun (matahari). Pantai-pantai di Babel elok nian dengan pasir putih berhias taburan batu granit.

Ada lagi yang unik di sana. Di Bangka dan Belitung lubang-lubang sisa penambangan timah disebut kolong. Setidaknya ada lebih dari 1.000 kolong di Pulau Bangka dan Belitung. Luasnya beragam, dua hingga 50 hektar. Ada satu kolong yang terkenal di Pulau Bangka. Namanya Phak Kak Liang. Lubang besar bekas penambangan timah seluas kurang lebih dua hektar diubah menjadi tempat wisata. Dari Gazebo yang ada di tengah kolong kita bisa melihat ikan-ikan air tawar yang besar-besar hilir mudik. Panjang ikan-ikan itu banyak yang mencapai satu meter. Ikan-ikan itu tidak boleh dipancing.

“Kalau ingin makan ikan ada Seafood yang jempolan. Nanti saya beritahu,” janji Andrew. Banyak makanan enak jugakah di Provinsi muda ini? Soal makanan ternyata tidak hanya martabak Bangka. Ada lempah dan gangan. Untuk selera Belitung ada dodol agar, panpi goreng, sambelingkung, gangan ikan, kue rintak, mie rebus, terasi, tauco, rusip, dan genjer.

Jadi, adakah yang menarik di Bangka Belitung? Sssstttt....nanti saya ceritakan komplit. Saya harus berangkat dulu ke sana. Tidak jauh. Hanya 45 menit penerbangan dari Jakarta. Jangan kemana-mana, stay tune di MakPles!