12 April 2013

Obat Generik Berlogo, Sehat dengan Cara Hemat

Suatu malam di pos satpam kompleks rumah saya terjadi perbincangan seru di antara bapak-bapak yang asyik nongkrong di situ. Temanya adalah soal obat. Diskusi hangat ini  bermula dari "curhatan" seorang bapak yang komplain pada kami karena isterinya diberi obat murah saat periksa di rumah sakit umum pemerintah.


"Resepnya obat generik semua. Gimana mau sembuh. Di rumah sakit "X" (sensor) saya selalu dapat obat paten," katanya kesal.
"Lha, dikasih obat murah bukannya senang, malah komplain," seorang bapak lain menyahut.
"Kita ke rumah sakit kan mau sehat Pak. Buat saya harga enggak soal lah. Saya mau obat yang paling baik yang penting sehat," jawab Bapak tadi.
"Memangnya kalau kalau obat murah sudah pasti enggak bikin sehat, Pak," seorang Bapak lain ikut menimpali.
"Kita ini kan enggak tahu apa-apa soal obat. Kita percaya saja pada dokter. Logika saja Pak, ada harga ada barang. Setiap barang kenapa mahal, pasti karena barang itu bagus. Buat saya sama saja, obat juga begitu.  Yang penting kita sehat," jawab Bapak itu panjang lebar.

Tercerahkan

Kelanjutan obrolan malam itu panjang. Dari diskusi obat, merembet hingga pelayanan rumah sakit dan pemilukada walikota. Yang menarik buat saya adalah diskusi soal obat. Benarkah obat murah, utamanya obat generik, adalah obat tidak mujarab?

Saya punya langganan dokter anak di sebuah rumah sakit dekat rumah saya yang selalu memberi obat dengan harga murah. Saya pernah ke dokter lain dan selalu mendapat obat dengan harga jauh lebih mahal. Dokter anak langganan saya ini bergelar profesor dan antreannya selalu panjang. Selama ini resep obatnya selalu mujarab. Saya tidak pernah ngeh obat jenis apa yang diberikan profesor itu. Saya percaya begitu saja. Tapi, sejak obrolan malam itu saya lalu tergelitik untuk mencari tahu  soal obat murah dan obat mahal.

Nah, rupanya menarik juga menelusuri lebih dalam soal aneka jenis obat yang beredar di pasaran. Selama ini saya selalu berpikir bahwa obat itu  hanya satu macamnya yang dijual dengan tujuan mulia membuat orang sehat. Saya cenderung sepikiran dengan bapak tetangga saya di atas bahwa semakin mahal obat artinya semakin tokcer. Saya lupa bahwa obat adalah produk industri komersil yang memiliki kepentingan untuk mencari keuntungan di balik perdagangannya.

Ternyata, selama ini saya keliru dan terlalu lugu dalam memahami soal obat.  Obrolan seru di pos satpam malam itu membawa saya pada pencerahan: obat mahal tidak berarti lebih ampuh, sebaliknya obat murah tidak berarti tidak mujarab.

Menelusuri ragam obat yang beredar di pasaran, ada tiga macam jenis obat yaitu obat paten, obat generik bermerek, dan obat generik berlogo. Apa bedanya? Mari kita tengok satu per satu. 

Obat paten

Pertama, obat paten.  Semua obat mulanya adalah obat paten, yaitu obat yang dilindungi oleh hak paten. Sebuah obat awalnya adalah hasil penelitian para peneliti untuk mengobati suatu penyakit tertentu. Proses penelitian untuk menemukan obat itu panjang sekali dan membutuhkan biaya yang banyak. 

Oleh karena itu, penemu obat tertentu mendapatkan penghargaan intelektual atas temuannya dalam bentuk perlindungan hak paten. Produsen yang hendak memproduksi obat tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang hak paten. 

Bolehlah dibilang, obat paten merupakan obat ekslusif. Tak heran jika obat paten harganya paling mahal dibanding jenis obat lainnya. Di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, masa berlaku paten adalah 20 tahun. 

Contoh obat paten yang pernah ada adalah amlodipine besylate, obat untuk hipertensi. Pemilik hak paten obat ini adalah  industri farmasi X. Sampai dengan 2007 (masa akhir berlakunya hak paten), hanya perusahaan X yang boleh memproduksi dan memasarkan obat ini. Perusahan X ini  tak punya saingan. Ia pemain tunggal, bebas menentukan harga sesuai dengan biaya riset, biaya produksi, biaya promosi, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan. Biaya-biaya itu dibebankan kepada pasien dalam bentuk harga obat yang sangat mahal. 

Obat generik bermerek

Setelah masa patennya habis lalu bagaimana nasib obat itu? Jadilah ia jenis obat kedua yaitu obat generik. Artinya, bisa diproduksi secara umum oleh setiap industri farmasi. Menyambung contoh di atas, setelah 2007 setiap produsen farmasi diizinkan untuk memproduksi dan memasarkan amlodipine besylate.  Yang terjadi kemudian, produsen-produsen farmasi memberi merk dagang atas obat tersebut untuk membedakannya dengan merek yang diproduksi farmasi lain. 

Obat generik bermerek dapat kita temukan di apotek atau diperdagangkan secara bebas di warung-warung kelontong. Di apotek, misalnya, kita menemukan ada beragam merek obat batuk, obat sakit kepala, obat penurun panas, dan sebagainya. kalau kita sedikit jeli memperhatikan kandungannya, setiap obat yang beragam mereknya itu mengadung zat aktif yang sama.  Di beberapa obat bermerek biasanya terdapat kandungan bahan tambahan untuk mengurangi reaksi alergi tubuh terhadap zat aktif. Namun, tidak semua orang cocok dengan kandungan tambahan ini. 

Coba deh Anda pergi ke apotek dan meminta pelayan untuk mengambilkan semua obat penurun panas untuk anak. Semua obat itu pasti mengandung parasetamol. Yang membuatnya berbeda, misalnya, obat penurun panas yang satu tidak ada rasa buahnya, sementara merek lain membubuhinya dengan rasa buah-buahan seperti anggur, jeruk, atau strawberry. 

Nah, obat yang diproduksi industri farmasi tertentu dan diberi merek dengan nama berbeda dari zat kimia aktif populernya disebut obat generik bermerek. Harganya tentu lebih murah dibanding obat paten karena tidak ada lagi biaya paten yang harus dibayarkan industri kepada pemegang hak paten. Di pasar terjadi kompetisi harga. Tapi, obat jenis ini bukan jenis yang paling murah harganya. Ada lagi jenis obat lain yang harganya paling murah.

Obat generik berlogo

Lantas, adakah obat generik yang tidak diberi merek? Ada. Namanya obat generik berlogo.  Obat ini dijual tanpa merek tertentu, hanya disebut nama kimia populer zat aktifnya saja. Seperti contoh di atas, nama kimia populer zat aktif penurun panas  adalah parasetamol. Maka, nama obat generik berlogonya ya parasetamol. Selain parasetamol, ada banyak obat generik berlogo yang beredar di pasaran. Misalnya,  antalgin, asam mefenamat, amoxycillin, cefadroxyl, loratadine, ketoconazole, acyclovir, dan lain-lain.  

Untuk membedakan dengan obat generik bermerek, pemerintah memberi logo khusus pada kemasan obat generik yang hanya mengandung nama kimia populer zat aktifnya.  Obat generik berlogo mudah dikenali dari logonya yang berbentuk lingkaran berwarna hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "GENERIK" di bagian tengah. Itulah kenapa obat jenis ini disebut "obat generik berlogo atau biasa juga disebut OGB".

Harga OGB paling murah

Nah, dibanding dua jenis obat di atas, OGB harganya paling murah. Kenapa begitu? Setidaknya ada empat alasan kenapa obat generik berlogo harganya paling murah. 

Pertama, harga OGB ditetapkan pemerintah, sementara harga obat paten dan obat generik bermerek ditetapkan oleh perusahaan farmasi yang memproduksi obat itu. Penetapan harga oleh pemerintah dimaksudkan agar OGB dapat dijangkau masyarakat luas, utamanya kelompok menengah ke bawah. Spiritnya, setiap warga negara berhak mendapat layanan kesehatan yang memadai. Pemerintah memenuhi hak warga negara itu dengan "menyediakan" obat dengan harga terjangkau.

Kedua, OGB diproduksi dalam jumlah besar. Dalam setiap proses produksi, jumlah barang yang diproduksi dalam skala banyak pasti harganya satuannya lebih murah. 

Ketiga, dibanding dengan obat paten, OGB tidak terikat pada biaya paten. Jadi, tidak ada biaya hak paten yang harus dikeluarkan untuk memproduksi OGB.

Keempat, dibanding obat generik bermerek, OGB tidak terikat biaya promosi, rantai perdagangan, dan aneka biaya siluman dalam pertarungani industri komersil. Penjelasannya begini, obat generik bermerek diproduksi oleh perusahaan farmasi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, segala strategi marketing diterapkan dalam perdagangan obat generik bermerek. Misalnya, diberi merek yang bagus dan menjual, kemasan harus menarik, promosi harus gencar, terjadi persaingan dalam sistem distribusi antara perusahaan farmasi, belum lagi adanya biaya "siluman" di negeri ini untuk kepentingan ini dan itu. Semua itu membutuhkan biaya yang ujung-ujungnya bermuara pada harga satuan obat.

Nah, OGB tidak dibebani oleh semua biaya itu. Kemasan OGB tampak sederhana. Harga OGB ditetapkan oleh pemerintah. OGB tidak membutuhkan biaya promosi seperti iklan di televisi, iklan outdoor, spanduk, papan reklame, dan aneka aktivitas promosi lainnya. 

Perbandingan harga obat generik bermerek dan OGB seringkali terlalu jauh. Amoxycillin tablet 500mg, misalnya, harga generik berlogonya hanya Rp 40 ribuan, sementara harga generik bermereknya ada yang mencapai Rp 300 ribuan. Contoh lain, cefadroxil tablet 500 mg. Harga generik berlogonya Rp 190 ribuan, sementara harga generik bermerek ada yang mencapai Rp 1,3 jutaan.

Salah anggapan

Karena harganya yang murah, banyak masyarakat menganggap OGB adalah obat kelas dua, bukan obat bagus, tidak manjur, sebagaimana diungkapkan tetangga saya di atas. Di pihak lain, kita harus pahami, dokter dan rumah sakit merupakan salah satu jalur rantai distribusi perdagangan obat. Tak sedikit, tentu tidak semua, dokter dan rumah sakit yang berkelindan dengan kepentingan industri sehingga tidak memprioritaskan pemberian OGB kepada pasiennya. Jadilah, OGB tidak populer di masyarakat meski sudah dikenalkan oleh pemerintaah selama 22 tahun sejak 1991.

Sejatinya, OGB, obat paten dan obat generik bermerek sama ampuhnya. Lha, wong, isinya sama, cuma kulitnya aja yang beda. Kalau diibaratkan, perdagangan obat itu sama dengan aneka perdagangan produk tertentu yang mengedepankan merek. Misalnya, perdagangan sepatu. Sepatu-sepatu bermerek atau dengan brand luar negeri, sebut saja N**e, Adi**s, R**bok, adalah buatan Indonesia yang diproduksi di pabrik-pabrik sepatu di Tangerang.  Harganya mahal semata-mata karena brandnya. Coba sepatu-sepatu itu diberi label merek dalam negeri misalnya "spatuku" pasti enggak laku atau setidaknya enggak semahal itu. 

Saya pernah menemukan sebuah jaket kulit merek "Tom**y Hilf***er" di salah satu bandara di Jerman. Harganya terpampang 2.500 euro atau sekitar Rp 30 juta. Wow.  Bagus memang jaket itu. Saya terkejut bukan main ketika melihat informasi produk yang tertera di sebuah kain kecil di bagian punuk jaket itu: "made in Indonesia". Saya enggak yakin harganya akan semahal itu kalau mereknya bukan brand ternama. Saya pesan jaket kulit di Garut, langsung pada pembuatnya, harganya cuma Rp 750 ribu saja.

Sama halnya dengan obat. Obat paten dan obat generik bermerek harganya bisa berkali-kali lipat dibanding OGB. Padahal, isi dan kemujarabannya sama.

OGB, Sehat dan Hemat

Pertanyaannya kemudian, kalau substansi khasiatnya sama, kenapa kita harus mengonsumsi obat generik bermerek atau obat paten yang harganya lebih mahal daripada obat generik berlogo yang harganya lebih murah? Biasanya, pasien tunduk patuh pada rekomendasi dokter. Minimnya informasi, pengetahuan, salah anggapan selalu merupakan alasan kenapa pasien tidak mengajukan haknya untuk mendapat resep obat generik berlogo. Padahal, pasien punya hak lho untuk meminta resep obat generik berlogo. 

Sebagai pasien, sudah saatnya kita  bersikap lebih cerdas dan kritis. Informasi soal obat generik berlogo mudah ditemukan di internet.  Jadi, kita bisa tetap sehat dengan cara yang hemat. Caranya,  pilih obat generik berlogo. Mintalah resep obat generik berlogo pada dokter Anda. Kita bisa hidup sehat dengan cara hemat.


www.dexa-medica.com
 

No comments: