23 December 2003

la vita e bela

but sometimes we can’t see…




“Aku capek harus sendiri lagi Mbonk, dan tampaknya harus begitu…”


Ini bukan kali pertama dia mengeluh seperti itu. Pikiranku buntu, kenapa kesendirian begitu menakutkan baginya. Aku berpikir barangkali bukan kesendiriannya yang ditakutkan, tapi rasa kehilangannya itu. Menurutku, wajar saja bukan bahwa orang akan limbung ketika bertemu dengan pengalaman kehilangan itu.


“Apa artinya kata-kata cinta yang pernah dia katakan padaku. Dia bilang aku begitu berarti baginya. Dia juga bilang bahwa dia tidak pernah merasakan cinta seperti yang dia alami bersamaku.”


Lepas dari apakah kata-kata cinta itu suatu ungkapan tulus atau rayuan gombal belaka, aku belajar bahwa cinta bukan segala-galanya. Pada akhirnya orang juga menempatkan rasio sebagai variabel utama lain, selain cinta, dalam pilihan yang mereka ambil tentang siapa yang bakal mereka pilih menjadi pasangan hidup mereka. Ketika seseorang akhirnya memilih salah satu dari dua pilihan yang ada di hadapannya, bukan berarti bahwa dia tidak mencintai orang yang tidak dipilihnya itu.

Terlintas tiba-tiba di benakku sebuah ungkapan yang aku baca dari sebuah majalah remaja saat aku SMA: cinta sejati adalah cinta pertama, karena cinta berikutnya memakai logika. Aku tertawa sendiri sekarang, teringat cinta pertamaku yang memang tanpa logika itu….hahhahaha….


“Dia lelaki berkuda putih yang aku impikan sejak masa kecilku. He is my some one out there that I am waiting for….”


Oooo….romantis sekali. Adakah orang yang tidak menjadi romantis sekaligus melankolis saat ia jatuh cinta? Temanku tidak habis pikir bagaimana ia pernah bisa menulis puisi sedemikian indahnya. Ia tertegun saat membuka-buka kembali buku hariannya kala SMA. Ia tak pernah lagi menulis puisi sejak memilih hidup membiara selepas SMA. Novita, gadis manis adik kelas, itu jawabnya.


“Rasanya mau mati saja…Jangan kamu bicara tentang harapan, Mbonk, aku sudah gak punya tenaga….aku letih…”


Hari-hari pertama, minggu-minggu pertama, juga bulan-bulan pertama dadamu pasti terasa sesak. Letih dan pedih itu manusiawi. Tapi, berpikir bahwa kepedihan dan keletihan karena kehilangan adalah akhir dari segalanya, dan karena itu hidup ini harus diakhiri, menurutku, itu ketololan yang paling sempurna.

Gak peduli apakah kamu hanya akan melihat langit biru sebagai awam hitam, hidup akan terus berjalan. Apakah kamu ingin mengerangkeng dirimu dalam kepedihan? Apakah bagimu persoalan pasangan hidup cuma satu hal yang bisa memberi warna pada hidupmu? Apakah orang setalent dan secerdas kamu cuma berpikir segera menikah dan punya anak? Omaigat. Life is richer than it.

Kasihan sekali dimensi kehidupan kamu yang lain: bakat-bakat kamu, hobi-hobi kamu, teman-teman kamu, keluarga kamu. Mereka ternyata gak lebih dari sekedar sampah di pojok ruang hatimu. Kalau mereka memang gak lebih dari sekadar onggokan busuk yang gak bisa menggoreskan sedikitpun warna pada hidupmu, ambil saja Baygon dan katakan selamat tinggal pada kehidupan yang ternyata telah salah memilih kamu untuk memelihara dan mengembangkanya. Tapi, sebaiknya jangan Baygon. Temanku punya ide lebih cemerlang. Cari orang untuk kamu ajak bercinta, mintalah kepadanya untuk mencekik kamu saat kamu orgasme.


“Kamu gak mengerti Mbonk. Kamu gak mengerti apa yang aku rasakan. Sama seperti yang lain, kamu selalu menganggap bahwa aku akan kuat menghadapi ini….”


Kamu selalu berpikir bahwa kamu harus mendapatkan apa yang kamu inginkan. Untuk itulah kamu menghabiskan seluruh energimu pada hasrat keharusan itu. Persoalannya, kita acapkali tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Hidup sering tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita itu. Ada kenyataan-kenyataan yang tidak bisa kita ubah. Bagian itu memang bukan wilayah kita. Selalu ada garis demarkasi atas kemanusiaan kita. Saat kita bertemu dengan situasi dimana kita tidak bisa mengubah kenyataan itu, satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengubah harapan kita.


“Aku sudah katakan kalau aku tidak lagi punya harapan. Apa lagi yang harus aku ubah?”


Bulshit! Kamu masih mematok ekspektasi kamu setinggi langit. Kamu tidak rela menurunkannya barang seinci. Kamu menutup ruang keikhlasan di hatimu. Untuk keduakalinya kamu membohongi diri kamu sendiri.

………
………
………
………

la vita e bela,
but sometimes we can’t see…

No comments: