13 March 2009

Gegar Otak

Manusia itu beragam isi kepalanya. Keanekaragaman isi kepala manusia dibentuk oleh sesuatu yang tidak kelihatan -norma, adat istiadat, keyakinan- yang kemudian membentuk cara pandang orang itu melihat dunia di luar dirinya. Di dunia ini ada banyak norma, adat istiadat, dan keyakinan.

Repotnya, acapkali batok kepala manusia terlalu sempit untuk mampu keluar dari cara pandangnya dan mencoba memahami cara pandang orang lain. Manusia-manusia yang otaknya sempit ini selalu menilai orang lain yang berasal dari lingkungan dan adat istiadat berbeda berdasarkan perspektifnya. Jadi, orang-orang macam ini mencoba memaksakan ukuran bajunya pada orang lain yang memiliki ukuran berbeda. Cilaka!!!



Itulah yang terjadi di sini, di kelas internasional di Berlin, dalam interaksi 15 orang dari sejumlah negara plus sejumlah pendamping yang notabene adalah orang lokal. Benturan budaya menimbulkan gesekan di sana-sini dan membuat kepala saya pening. Batok kepala saya juga terlalu kecil untuk bisa memahami semua dinamika ini. Daripada pusing dengan segala benturan yang terjadi saya lebih senang mengamati tingkah laku masing-masing orang. Pilihan ini kadang-kadang cukup efektif menghilangkan rasa sakit di kepala saya.

Kawan-kawan saya tentunya berasal dari sejumlah negara berkembang yang dianggap nan miskin sehingga dipandang layak untuk mendapat uluran tangan pemerintah negeri ini. Selain dari Indonesia mereka berasal dari Filipina, Vietnam, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Tanzania, Kenya, Uganda, dan Ghana. Macam-macam polahnya.

Ke-15 orang ini mengalami guncangan atau gegar mekanis yang cukup serius di otaknya karena berjumpa dengan hal-hal yang membuatnya terperangah. Secara garis besar, mereka bisa dikelompokan dalam empat kategori.

Gegar teknologi

Kategori pertama adalah mereka yang mengalami gegar teknologi. Jenis mahluk di kategori ini ciri-cirinya seolah-olah tahu padahal tidak tahu. Mungkin mereka malu bertanya atau tidak tahu apa yang harus ditanya. Salah satu dari mereka, misalnya, membeli CD musik yang harganya lumayanlah dan membiarkan CD itu berhari-hari tergeletak di mejanya.

”CD apa ini kawan?,” tanya saya.
”Jazz,” jawabnya.
”Gimana, lagunya asyikkah?”
”Itu dia masalahnya. Saya berhari-hari berusaha mencari tahu gimana caranya nyetel CD ini, tapi belum berhasil.”

Masya Allah, batin saya. Saya ambil CD itu lalu saya masukkan ke dalam CD room komputer kawan saya itu. Dan, dia terpana ketika alunan musik Jazz mengalun dari komputernya.

”Oooo...jadi tinggal dimasukkan saja ke situ. Eh, gimana tadi bukanya, jangan cepat-cepat biar saya paham.....” kata teman saya itu sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang tanggal.

Dari ketegori ini juga ada yang begitu euforia dengan teknologi sampai-sampai pemahaman fungsional tidak lagi penting baginya. Teman saya yang euforia itu tiba-tiba membeli kamera DSLR yang total harganya sekitar 500 Euro. Dia hidup lumayan irit sehingga bisa ngumpulin duit sebesar itu dari uang sakunya. Dia begitu gembira dengan kamera barunya yang disebutnya sebagai kamera profesional. Dengan energik dia lompat sana sini memotret ini itu dan bingung kok gambarnya gelap semua. Cilaka 13!!! Teman saya itu sama sekali gak ngerti apa itu shutter speed dan aperture.

Gegar budaya

Kategori kedua adalah mereka yang mengalami gegar budaya. Orang-orang di kelompok ini sungguh-sungguh terpesona dengan budaya barat dan betul-betul terperangah melihat banyak hal yang selama ini tidak pernah mungkin bisa dilihatnya di negaranya sendiri. Ciri-ciri orang di kategori ini adalah sering cengar-cengir sendiri.

Suatu hari di kereta api dalam perjalanan menuju kampus, teman saya di kategori ini (seperti biasa) cengar-cengir sendiri di pojok gerbong.

”Woi, kenapa lo cengar-cengir?” tanya saya bingung.
”Ssstt...tuh lihat, mereka mesra banget,” bisik teman saya sambil tetap cengar-cengir. Dia menunjuk sepasang kekasih yang berdiri sambil berpelukan di kereta api.
”Di negara saya itu gak mungkin. Mereka bisa mati dirajam,” bisik dia lagi dan masih tetap cengar-cengir. Mungkin dia membayangkan sepasang kekasih itu dilempari batu.

Di kesempatan lain, teman ini selalu bangga kalo difoto duduk jejer sama perempuan. Dia tunjukkan fotonya ke semua orang. Mulanya saya bingung, apa bagusnya foto itu. Sumpah gak ada yang istimewa dari sudut fotografi manapun, malah kadang ada yang overlight karena flash. Akhirnya toh saya mengerti, ini bukan soal fotografi tapi soal posisinya duduk jejer sama perempuan.

”It’s a dangerous picture man. It is impossible in my country,” katanya sambil (biasaaaa) cengegesan…

Gegar di otaknya terus meluas hingga ke pusat perbelanjaan. Betul-betul merepotkan ngajak mahluk satu ini ke shopping area. Suatu hari dia menyeret tangan saya masuk ke toko pakaian dalam wanita.

”Eh, ngapain lo ke sini. Mo beli BH buat cewek lo?” tanya saya bingung.
“Enggaklah. Gw cuma suka aja sama suasananya. Puuanassss....” jelasnya bisik-bisik sambil lagi-lagi cengegesan...
”Eh, tolong potoin gw di tengah BH-BH ini donk.....”
“Eh, bos lo tuh kayaknya sakit deh….” kata saya sambil ngeloyor keluar.

Akhirnya toh, saya berbaik hati juga memotretnya jejer dengan dua buah mannequin berbikini yang dipajang di etalase depan toko itu.

”It’s a dangerous picture man...” katanya sambil tertawa girang.

Gegar perasaan

Nah, ini kategori ketiga, gegar perasaan. Orang-orang di kelompok ini sungguh memusingkan. Sebab, mereka sering meracau sendiri dan memvonis segala sesuatu dari perspektif mereka. Tindakan yang sangat tidak adil. Mereka selalu menganggap diri mereka yang paling benar. Segala sesuatu yang berbeda dengan cara pandang mereka adalah salah. Mahluk yang hidup dalam kategori ini ciri-cirinya adalah selalu senewen, mengeluh, dan marah-marah terus. Mereka juga kerap kali penuh dengan syak wasangka di kepalanya.

”Kok begini sih, kok begitu sih, kan seharusnya...bla...bla...” suara mereka kompak bagaikan paduan suara.

Orang-orang di kelompok ini bertikai satu sama lain, pertikaian di bawah selimut. Misalnya saja, mereka bertikai soal waktu. Buat orang Jerman urusan tepat waktu adalah hal yang sangat penting, sepenting orang yang mau melahirkan. Maka, sesuatu yang tidak tepat waktu adalah dosa besar, setara dengan pelanggaran hawa yang memakan buah terlarang.

Sementara, orang-orang yang gegar perasaan selalu marah-marah sama urusan tepat waktu.

”Di negara gw terlambat itu biasa, ngapain sih semuanya serba terburu-buru,” keluh seorang yang mengalami guncangan hebat di hatinya. Teman ini betul-betul lupa ingatan bahwa ia sedang tidak berada di negaranya.

Lain waktu ceritanya lebih konyol lagi. Kami mengunjungi Koln, kota terbesar keempat di Jerman setelah Berlin, Hamburg, dan Munich. Orang-orang Jerman itu, seperti orang-orang Eropa pada umumnya, sangat mencintai seni dan sejarah. Aneka cagar budaya bersejarah dijaga sedemikian rupa untuk bisa terus mereka nikmati. Nah, mereka lantas berpikir, aktivitas yang paling menarik tentu saja aktivitas budaya menikmati simbol kota Koln yaitu Katedral Koln. Gereja yang dibangun tahun 1248 ini sangat besar dan masuk dalam daftar world heritage UNESCO. Mereka berasumsi semua orang bisa menikmati seni dan sejarah seperti mereka.

Tapi, tidak semua dari kami suka sejarah. Mereka hanya senang foto-foto di depan tempat-tempat bersejarah tanpa mau pusing memahami apa arti penting tempat bersejarah itu. Repotnya, mereka yang tidak beragama nasrani plus tidak suka sejarah lantas berpikir bahwa aktivitas ini adalah syiar agama nasrani. Muka mereka masam saat pemandu wisata kami dengan penuh semangat menerangkan setiap detail bangunan gereja.

Ada satu bagian di dalam gereja itu yang sangat dibanggakan oleh ibu pemandu wisata kami, sebuah salib besar dari kayu yang tergantung di salah satu sisi gereja. Semua ukuran salib itu dibuat dalam ukuran asli manusia. Jadi patung Yesus yang disalib besarnya sebesar tubuh manusia. Umur salib itu 1000 tahun. Tidak diketahui siapa yang membuat salib itu.

Sekilas salib besar itu jauh dari menarik. Bahkan agak janggal, karena perut Yesus membuncit. Tapi, terang Si Ibu pemandu wisata, salib itu dibuat dengan pemahaman yang berbeda dari biasanya. Di situlah istimewanya. Lazimnya, pada aneka figur penyaliban di golgota, apakah lukisan atau salib, Yesus digambarkan terkulai tanpa perut membuncit dan ada tetes darah di tangan, kaki, dan lambungnya.

Pada figur-figur yang lazim itu yang ditonjolkan adalah sosok Yesus yang menderita di salib. Di salib besar ini bukan penderitaan yang ditonjolkan. Tidak ada darah. Perut buncit adalah penggambaran detail secara anatomis tentang orang sudah meninggal. Otot-otonya melemas dan mengumpul di perut. Jadi, salib itu menggambarkan keparipurnaan wafat Yesus. Tidak ada lagi penderitaan, yang ada adalah keselamatan.

Rasanya patung itu lalu menjadi berarti ketika kita memahami ide di belakangnya. Patung itu bukan lagi seonggok kayu, tapi karya seni yang menyimpan perspektif keyakinan pembuatnya pada jamannya.

”Maaf-maaf aja nih, omongan pemandu wisata itu sama sekali gak gw denger. Sori-sori aja gw punya keyakinan sendiri yang beda dengan keyakinan dia. Gw punya ayat-ayat dalam agama gw yang bisa membantah semua keterangan dia......” seorang teman dari kelompok ini berkata penuh kesal pada saya. Saya cuma bisa bengong dengan tatapan mata bego (ini ciri orang di kelompok gegar keempat).

MASYA ALLAH!!!!! Emangnya siapa yang lagi syiar, batin saya. Pemandu wisata itu nerangin arti penting bangunan gereja dalam konteks sejarahnya. Karena ini gereja maka konteks sejarahnya tentu saja paham teologi kristiani. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati aneka cagar budaya tanpa memahami konteks sejarahnya. Tembok Berlin tanpa konteks sejarah hanyalah puing tanpa arti. Borobudur tanpa konteks sejarah hanyalah onggokan batu. Kepala saya berdenyut keras. Pening bukan main.

Gegar Otak

Dari semuanya, yang paling menderita adalah kelompok keempat. Mereka tiap kali cuma bisa bengong, melongo dengan wajah bego, tanpa tahu harus berkata apa. Semuanya terlihat ajaib sekaligus mengharukan. Wajah mereka sering meringis menahan rasa sakit yang hebat di kepalanya. Mereka ditarik ke sana-sini oleh berbagai kepentingan yang mereka tidak paham apa maunya. Mereka kena gegar otak. Saya adalah bagian dari kelompok ini.

1 comment:

demi hidup sehari-hari said...

hahahaaaa yang sabar ya, mbonk. keep writing, i enjoy it so much