06 September 2008

Trip to Babel (2)

Belitung, Surga yang Ditinggalkan

Belitung tidak jauh dari Jakarta! Ya, betul, tidak jauh. Hanya 45 menit penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Waktu tempuh menuju Belitung jauh lebih singkat dibanding perjalanan saya pulang kantor dari Palmerah menuju Bekasi yang harus ditempuh selama 90 menit.

Pukul 08.00 wib saya sudah tiba di Belitung. Mata saya masih terkantuk ketika roda Sriwijaya Air yang membawa 30 anggota rombongan tour kuliner Jalansutra mendarat mulus di Bandara HAS Hanandjoeddin, Belitung. Di luar cuaca cerah menyambut kedatangan kami. Sejumput awan kelabu menggantung di ufuk barat menutup langit biru. Selamat datang di Belitung.

Belitung adalah kabupaten kepulauan dengan 189 pulau besar dan kecil yang mengelilinginya. Wilayah seluas 34.496 km persegi ini terdiri dari 4.800 km persegi luas daratan dan 29.606 km persegi luas perairan. Secara geografis Kepulauan Belitung berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara dan Laut Jawa di selatan. Sementara di sebelah timur terdapat Selat Karimata yang memisahkan Belitung dengan Pulau Kalimantan dan di barat terdapat Selat Gaspar yang memisahkan Belitung dengan Pulau Bangka.

Bandara Hanandjoeddin adalah bandara kecil yang sepi. Kesibukan di bandara ini hanya terjadi di pagi hari. Sebab, lalulintas penerbangan menuju dan dari Belitung hanya ada pagi hari. Ada dua maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Belitung yaitu Sriwijaya dan Batavia Air. Setibanya dari Jakarta kedua maskapai ini langsung melayani penerbangan Belitung-Jakarta. Selepas itu bandara kecil ini kembali sepi.

Suasana bandara ini jauh berbeda dibanding dulu pada masa kejayaan timah Belitung di era tahun 80an. Hanandjoeddin tidak sesepi ini. Pada masa itu setidaknya ada empat maskapai penerbangan, Merpati, Deraya, Sempati, termasuk Garuda, hilir mudik di langit Belitung. Hanya berselang satu dekade lalu keriuhan Hanandjoeddin memudar seiring berlalunya kejayaan timah di wilayah ini.

Hanandjoeddin yang namanya diabadikan sebagai nama bandara adalah seorang penerbang yang menjadi bupati Belitung beberapa puluh tahun lalu. Sebelum Bangka dan Belitung melepaskan diri dari Sumatera Selatan Bupati Hanandjoeddin sudah mencetuskan gagasan tersebut. Ketika akhirnya Bangka Belitung menjadi provinsi pada 4 Desember 2000 Hananjoeddin sudah meninggal dunia. Karena jasanya dalam mengembangkan kota Belitung namanya diabadikan menggantikan nama bandara sebelumnya Buluh Tumbang.

Dari bandara kami langsung menuju Kota Tanjung Pandan yang jaraknya 14 km. Jalanan sepi. Minibus yang kami tumpangi melaju sendiri di jalan aspal yang mulus. Di kiri kanan jalan tampak rumah-rumah penduduk khas melayu berdinding kayu dengan panggung pendek dari semen. Seperti layaknya rumah-rumah di desa rumah-rumah di sana berdiri di tengah halaman luas dikelilingi pohon-pohon tinggi. Masing-masing rumah berjarak belasan meter.

Sepanjang perjalanan satu hal yang menarik perhatian saya adalah tanah di sana tertutup pasir putih. Saya tidak tahu persis, apakah pasir putih menutupi tanah atau memang tanahnya berwarna putih. Irvan Kartawiria, teman saya di Komunitas Jalansutra menjelaskan, warnah putih menandakan bahwa bumi Belitung kaya akan kandungan mineral.

Kurang lebih 30 menit kami memasuki kota Tanjung Pandan. Rumah-rumah penduduk tampak lebih rapat satu sama lain. Tanjung Pandan adalah kota yang lengang. Tidak banyak aktivitas kendaraan hilir mudik di jalan kota ini. Memasuki kota saya merasa aura kota yang kelabu. Kota ini begitu bersahaja untuk tidak menyebutnya tertinggal. Gedung-gedung di sepanjang jalan kota terkesan kumuh. Sukabumi jauh lebih modern dan bersih.

Kami berhenti di pusat kota di tengah pertokoan di kiri kanan jalan. Turun dari bis saya tercenung. Sulit membayangkan kekayaan isi perut bumi kota ini hanya menyisakan rumah-rumah beratap seng karatan berwarna coklat kemerahan.

“Sepi ya, Bang. Beda dengan Jakarta,” sapaan Kusumah, pemandu wisata kami dari agen perjalanan setempat, membuyarkan lamunan saya
“PT Timah sudah lama pergi. Jadi kotanya sepi,” lanjutnya seolah mengerti isi kepala saya.

Timah pernah menjadi primadona di kota berpenduduk 200 ribu jiwa ini. Penambangan timah di Belitung telah dimulai sejak tahun 1852 oleh perusahaan swasta Belanda Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton (GMB). Bersama Bangka isi perut Belitung menjadi gudang uang pemerintah Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Belitung seperti surga. Konon, timah di Belitung berserakan di atas tanah. Para penambang cukup mengayak tanah di permukaan untuk mendapatkan timah. Selama lebih dari satu abad industri timah merupakan penggerak utama perekonomian Belitung.

Tahun 1985 harga pasaran timah dunia mulai merosot. Kejayaan timah lambat laun memudar. Keadaan ini memaksa PT Timah, badan usaha milik negara yang bergerak dalam industri pertambangan timah di Indonesia mengadakan restrukturisasi. Salah satu langkah yang ditempuh adalah membubarkan Unit Penambangan Timah Belitung (UPT-Bel) pada 29 April 1991.

Saya ingat dalam perjalanan dari bandara saya kerap melihat gundukan tanah bekas galian. Tidak ada aktivitas di bekas galian-galian itu. “Kami menyebutnya kolong. Itu lubang bekas galian timah oleh para penambang liar. Ada banyak kolong di Belitung maupun di Bangka. Lubang-lubang itu ditinggalkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang,” jelas Kusumah sambil tersenyum.

Tapi, Belitung masih beruntung. Selain timah, pada wilayah seluas 550 hektar terdapat kandungan 85 juta ton kaolin. Mineral galian ini antara lain digunakan untuk bahan baku keramik, bahan pemutih kertas dan bahan pencampur pembuatan cat. Selain itu, juga sebagai bahan pencampur dalam industri bata tahan api.

Selain kaolin juga masih ada pasir kuarsa, pasir bangunan, dan tanah liat. Tetapi, mineral galian ini adalah bahan tambang yang sifatnya tidak bisa diperbarui. Setali tiga uang dengan timah, jika dikuras terus-menerus dikhawatirkan akan habis. Jika semua kekayaan tambang habis bisa jadi Belitung akan sepenuhnya ditinggalkan.

“Kita sarapan Mie Belitung! Coba cari warung Mie-nya yang mana,” tiba-tiba suara Andrew Mulianto membuyarkan lamunan saya. Jam di pergelangan tangan saya menunjuk pukul 08.38 wib. Mendengar suara Andrew saya mendadak lapar. Waktunya sarapan. Nah, ini surga yang lain di Belitung.

(Bersambung)

No comments: